Media rilis hasil investigasi kecelekaan beruntun truk trailer tangki di jalan Transyogi, Cibubur, Bekasi, Jawa Barat, kantor KNKT Jakarta, Selasa (18/10) (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) meminta Kemterian Perhubungan (Kemenhub) untuk melakukan evaluasi pengunaan klakson “telolet” pada truk dan bus, karena dapat mengganggu sistem pengereman kendaraan.
Rekomendasi tersebut disampaikan Plt Kasubkom Inspektur Kecelakaan Lalu Lintas Angkutan dan Jalan (IK LLAJ) KNKT, Wildan, dalam media rilis hasil investigasi kecelekaan beruntun truk trailer tangki di Jalan Transyogi, Cibubur, Bekasi, Jawa Barat, Kantor KNKT Jakarta, Selasa (18/10).
Wildan mengatakan, penggunaan klakson “telolet” oleh pengemudi truk dan bus merupakan sebuah fenomena yang marak terjadi di jalan. "Bagi pengemudi penggunaan klakson telolet sebagai tanda kepada pengemudi lain agar bisa mendengar karena di jalan terlalu bising berbagai suara," ungkap Wildan.
Padahal menurut Wildan, modifikasi klakson telolet itu sangat berbahaya karena pemasangan perangkat klakson telolet menggunakan tekanan udara pada tabung udara yang digunakan untuk kinerja sistem pengereman.
"Jika ini dilakukan tekanan udara ke sistem pengereman, sehingga sangat riskan terhadap sistem pengereman," ungkap Wildan.
Karena itu, ia meminta Kemenhub menghentikan penggunaan klakson modifikasi. "Jika evaluasi menghasilkan penggunaan klakson telolet banyak resikonya, lebih baik dihentikan," katanya.
Dengan menghentikan penggunaan klakson tolilet di seluruh Indonesia, maka tim penguji kendaraan bermotor memiliki landasan hukum untuk melarang penggunaan klakson yang dimodifikasi.
Meskipun penggunaan klakson modifikasi belum ada larangan dari pemerintah, namun Pemprop DKI Jakarta sudah melarang penggunaan klakson modifikasi.
Gagal Pengereman
Mengenai penyebab kecelakaan truk tangki di Cibubur, Wildan memaparkan, dari hasil investigasi KNKT kecelakaan tersebut disebabkan kegagalan sistem pengereman pada truk tangki.
"Berdasarkan temuan di lapangan, KNKT menyatakan bahwa tidak ditemukan jejak pengereman (skidmark) di permukanan jalan lokasi tabrakan beruntun. Adanya perbedaan tinggi 20 meter pada jarak ± 1 km menjadi risiko gagal nanjak dan kegagalan pengereman karena faktor jalan relatif sangat kecil," ujar Wildan.
Wildan menjelaskan, terjadinya tabrakan beruntun yang melibatkan 4 mobil penumpang dan 10 sepeda motor disebabkan truk trailer tangki mengalami kegagalan pengereman karena persediaan udara tekan di tabung berada di bawah ambang batas, sehingga tidak cukup kuat untuk melakukan pengereman.
"Penurunan udara tekan dipicu oleh dua hal, pertama adanya kebocoran pada solenoid valve klakson tambahan dan ke dua adalah travel stroke kampas rem yang tidak standar. Resultante dua hal ini memaksa pengemudi melakukan pengereman berulang kali saat menghadapi gangguan lalu lintas karena rem tidak pakem," jelasnya.
Wildan menambahkan, fatalitas korban terjadi karena pengemudi mengalami kepanikan luar biasa disebabkan di depan ada beberapa kendaraan sementara muatan yang dibawanya adalah bahan yang mudah terbakar.
Kondisi truk trailer tangki saat itu berada di lajur lambat, dan di sisi kiri terdapat trotoar yang cukup tinggi. Pada akhirnya pengemudi tidak mampu lagi menguasai truk trailer tangki dan menabrak beberapa kendaraan roda empat yang ada di depannya.
"Pengemudi secara refleks membelokkan kemudi ke arah kanan untuk terlepas dari kendaraan yang ditabraknya, namun ternyata di lajur kanan terdapat kerumunan kendaraan yang berhenti di APILL CBD sehingga tabrakan dengan kendaraan-kendaraan itu tak terelakkan lagi," tambah Wildan.
Guna mencegah terjadinya kasus kecelakaan dengan penyebab yang sama dikemudian hari, KNKT memberikan sebanyak 2 rekomendasi yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 3 rekomendasi kepada Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), dan 2 rekomendasi kepada Manajemen PT Pertamina Patra Niaga.
(TRY/RZD)