Gerbang Tani: Pemerintah Gagal Wujudkan Kemandirian dan Kedaulatan Pangan (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan impor beras 500 ribu ton dengan alasan menjaga cadangan nasional serta rencana mengimpor gula putih kristal hampir 1 juta ton tahun depan, dan impor pangan komoditi lainnya dikritik DPN Gerbang Tani.
Ketua Umum DPN Gerbang Tani, Idham Arsyad mengatakan, hal tersebut sesungguhnya memberikan gambaran kepada rakyat Indonesia bahwa selama kekuasaan pemerintahan saat ini, kemandirian dan kedaulatan pangan tidaklah menjadi prioritas.
“Meskipun kedaulatan pangan tercantum dalam program kerja pemerintahan, akan tetapi dalam praktiknya semakin menjauhkan kita untuk mencapai kemandirian dan kedaulatan pangan,” kata Idham, Sabtu (7/1).
Disebutkannya, jika melihat beberapa kejadian besar dunia belakangan ini, sesungguhnya bisa diarik palajaran penting. Pertama, Covid-19 telah mengakibatkan gangguan terhadap pangan secara global, baik dari sisi produksi dan ketersediaan pangan secara global dan terutama sekali dari sisi distribusi yang mengalami hambatan sehingga krisis pangan global menjadi ancaman bagi negara-negara di dunia.
Kedua, krisis politik akibat perang Rusia dan Ukraina mengakibatkan pupuk jadi persoalan global yang memicu harga pangan seca global meningkat. Ketiga, dampak dari perubahan iklim juga sangat berpengaruh terhadap produksi pangan global dan termasuk Indonesia.
Bagi negara-negara yang mengandalkan impor, kejadian besar tersebut seharusnya menyadarkan para pemimpin kebijakan negara bahwa ketergantungan terhadap impor sangat berbahaya dan berdampak serius terhadap stabilitas ekonomi politik. Cara pandang terhadap pangan hanya ditempatkan sebagai produk yang harus tetap ada di pasar untuk menjaga agar produk tidak langka.
“Dengan cara pandang seperti itu, lahan pertanian kita semakin menyusut, industri ekstraktif terus menggila dan ketersediaan pangan kita diselesaikan dengan impor,” sebutnya.
Evaluasi DPN Gerbang Tani terhadap kegagalan pemerintahan saat ini dalam mengelola pangan dapat terlihat dari indikasi berikut:
1. Kehadiran UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa rezim pemerintahan Jokowi adalah rezim yang mengandalkan impor sebagai tumpuan dari ketahanan pangan. Sebab UU Cipta Kerja menjadikan impor pangan menjadi prioritas ketersediaan pangan nasional. Padahal dalam UU Pangan, impor adalah pilihan terakhir jika produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak cukup. Sehingga tidak mengherankan jika impor selalu menjadi kebijakan untuk menjaga ketersediaan pangan.
2. Indonesia sebagai negara agraris tidak mampu melakukan pemetaan, konsolidasi lahan dan peta produksi secara nasional. Pemerintah selalu gagap jika berkaitan dengan berapa jumlah produksi pangan nasional, di antara pemangku kepentingan selalu berbeda cara hitungnya dan tidak ada kepastian data yang jelas sehingga berdampak pada pengambilan keputusan yang salah.
3. Food Estate sampai saat ini terbengkalai dan tidak jelas bagaimana program food estate memenuhi kebutuhan pangan nasional, program-program skala nasional hanya menghabiskan anggaran negara, dan tidak berkontribusi secara nyata terhadap ketersediaan pangan apalagi kedaulatan pangan. Beberapa indikator yang menujukkan bahwa food estate gagal sebagai program lumbungan pangan nasional, antara lain: produktivitas lahan-lahan food estate yang sangat kurang, keterlibatan petani semakin hari semakin berkurang, produksi yang tersentral sangat rentan dari sisi suply dan distribusi di tempat lain. Karenanya food estate ini perlu evaluasi mengingat jumlah anggaran yang besar tidak berbanding lurus dengan produktivitas.
4. Pupuk bersubsidi bermasalah menyebabkan petani kesulitan menanam. Setiap tahun masalah pakan ternak dan kedelai terus muncul dengan persoalan sama, naik harga karena beban kenaikan harga impor bahan baku.
5. Pemerintah masih lebih mengutamakan dan tunduk terhadap mafia/kartel pangan sehingga keputusan-keputusan selalu merugikan petani dan pertanian nasional.
6. BUMN Pangan gagal membangun transformasi ekosistem pangan sebagaimana yang dicita-citakan saat dilakukan penggabungan. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan dalam mengantisipasi gejolak harga pangan, kelangkaan minyak goreng, kelangkaan pupuk, dan sebagainya.
7. Tidak ada road map nasional sehingga ketahanan pangan dan kedaulatan pangan nasional jelas arah kebijakannya.
(REL/RZD)