Rapat Koordinasi daring Forum Belajar Capacity Building (FBCB), forum 15 LSM Perempuan se Sumatra untuk Pendidikan Pemilih Kritis Perempuan Perdesaan, Disabilitas dan Marginal Menyongsong Pemilu/Pilkada 2024 (FBCB)
Analisadaily.com, Medan - Meski UU Pemilu mensyaratkan jumlah minimum perempuan 30% dalam tahap pencalonan, tetapi faktanya dalam seluruh periode Pemilu sejak 1999, persentase perempuan yang terpilih tidak pernah beranjak dari sekitar 20%. Hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI. Sementara dalam Pemilihan Kepala Daerah yang diselenggarakan secara serentak di 270 daerah di Indonesia pada 2020, hanya 5 perempuan menjadi calon gubernur, sedangkan calon laki-laki berjumlah 45 orang.
Di tingkat kabupaten/kota, hanya 26 orang perempuan yang maju dalam pemilihan wali kota, sementara laki-laki berjumlah 126 orang. Pada pemilihan bupati ada128 orang perempuan, sementara laki-laki berjumlah 1.102 orang.
Di Perdesaan Makin Rendah Lagi
“Kami yakin kesenjangan jumlah perempuan dan laki-laki akan lebih buruk lagi bila masuk ke level pemilihan di perdesaan dan kelurahan,” ujar Koordinator Forum Belajar
Capacity Building (FBCB), Eva Khovivah, dalam siaran pers yang diterima Analisadaily.com, Rabu (1/2).
FBCB merupakan forum penguatan kapasitas bagi anggota yang terdiri dari 15 LSM di Sumatera. Mereka berkomitmen untuk memastikan seluruh anggota dan kelompok dampingan bersatu melawan politik identitas dan patriarki dalam PEMILU 2024.
FBCB bekerja untuk penguatan perempuan akar rumput dan memberi layanan untuk perempuan korban kekerasan berbasis identitas gender dan seksualitas. Forum LSM ini juga melakukan pendampingan terhadap pengusaha mikro dan usaha kecil, petani, kelompok minoritas dan marginal (disabilitas, lansia, perempuan muda & anak perempuan, miskin kota dan perempuan pedesaan).
Diskriminasi Budaya Patriarkhi dan politik identitas
“Pengalaman kami selama ini, menunjukkan masih minimnya perhatian dan komitmen kepada kepentingan dan kebutuhan mereka,” kata Eva Khovivah. Secara sosial, posisi perempuan, kelompok minoritas dan marginal masih dianggap lebih rendah dari yang lain.
Menurut Eva, akses perempuan ke kepemimpinan juga makin terpuruk dari pemilu ke pemilu. Semua itu akibat adanya praktik diskriminasi yang bersumber dari budaya patriarki yang meyakini laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin dibanding perempuan.
Hal itu diperburuk lagi dengan maraknya politik identitas dengan menggunakan interpretasi ajaran agama, dan aturan-aturan adat dari beragam suku. Belum lagi realitas keterbatasan akses perempuan, kelompok minoritas dan marginal terhadap sumberdaya ekonomi, informasi dan terutama teknologi informasi digital lewat media sosial.
“Semua sengkarut itu telah membuat akses perempuan ke kepemimpinan semakin terpuruk, terutama jelang pemilu dan Pilkada 2024 ,” kata Eva.
Pendidikan Politik Kritis
Situasi itu mendorong FBCB mengundang semua pihak, agar berkontribusi untuk: (1) melakukan pendidikan politik bagi perempuan akar rumput, agar memastikan diri menjadi wakil rakyat maupun Pemimpin dalam Pemilu dan Pilkada 2024, serta menjadi pemilih cerdas yang bebas dari politik uang, (2) mengkampanyekan dan menyuarakan agenda politik perempuan dan kelompok minoritas, (3) melaksanakan peningkatan kapasitas bagi pemimpin perempuan di akar rumput dan bagi lembaga anggota FBCB, khususnya bagi lembaga yang baru melakukan regenerasi kepemimpinan, (4) menjaga agar gerakan/aktivis tidak terpecah karena pilihan politik dan meminimalisir kerentanan konflik politik identitas antar aktivis dan Gerakan.
Eva mengatakan, secara secara internal FBCB akan terus memperkuat keorganisasian mereka.
“Kami juga akan melakukan kolaborasi dengan semua pihak yang percaya dengan keadilan gender, demokrasi dan keberagaman untuk memperkuat gerakan perempuan akar rumput dan kelompok minoritas bersatu melalui pendidikan politik khususnya pendidikan pemilih,“ katanya (ja).
(JA)