Opini Eko Maulijar

Meningkatkan Partisipasi Pemilih Pemula Melalui Pendekatan Media Sosial, Jelang Pemilu 2024

Meningkatkan Partisipasi Pemilih Pemula Melalui Pendekatan Media Sosial, Jelang Pemilu 2024
Eko Maulijar. (Analisadaily/Istimewa)

INDONESIA bakal menggelar pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu), pada 14 Februari 2024 mendatang. Warga Negara yang sudah berusia minimal 17 tahun akan menggunakan hak pilihnya untuk menentukan siapa yang nanti menjadi anggota legislatif (DPR, DPRD, DPD), serta Presiden dan Wakil Presiden ke depan. Keberlangsungan ajang itu tentunya mesti didukung oleh semua pihak, termasuk komponen pemilih pemula. Dari beberapa kali perhelatan Pemilu digelar, masalah keterlibatan pemilih pemula selalu menjadi momok dalam pentas demokrasi itu.

?Seolah menjadi indikator kesuksesan dalam sebuahpenyelenggaraan Pemilu, berbagai kebijakan terus dibuat. Baik oleh instansi penyelenggara, maupun Pemerintah untuk meningkatkan partisipasi pemilih pemula. Acap kali Warga Negara yang baru menyandang predikat pemilih pemula (baru berusia 17 tahun) terkesan masa bodoh dan tidak mau tahu untuk menggunakan hak pilihnya. Padahal, kontribusi anak-anak muda Tanah Air dalam ajang lima tahunan itu sangat menentukan era demokrasi Indonesia ke depannya. Terlebih dengan kemajuan teknologi yang diterima generasi milenial saat ini.

?Pada Pemilu serentak 2024 mendatang, diprediksi jumlah pemilih pemula akan mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari KPU pada Pemilu sebelumnya, jumlah pemilih pemula sudah mencapai 70 hingga 80 juta jiwa dari total 193 juta pemilih. Artinya, 35 hingga 40 persen pemilih pemula sudah mempunyai kekuatan dan memiliki pengaruh besar terhadap hasil Pemilu. Sudah barang tentu, hal itu juga bakal mempengaruhi kwalitas demokrasi Indonesia ke depannya. Persoalan lain juga bisa saja terjadi, apa lagi dengan jumlah pemilih pemula yang cukup besar. Mereka bisa saja menjadi penyumbang golput dalam Pemilu 2024 nanti.

Kepekaan generasi milenial terhadap perkembangan dan kemajuan teknologi seharusnya bisa menjadi stimulan peningkatan partisipasi pemilih pemula. Hanya saja, jika tidak tepat sasaran, kebijakan itu akan berdampak sebagai media penghambat pemilih pemula untuk menggunakan hak pilihnya. Untuk mengatasi persoalan ini, sejatinya semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Pemilu, mesti menyesuaikan apa yang menjadi kebiasaan pemilih pemula. Misalnya, kemasan agenda sosialisasi atau tahapan Pemilu dibuat tidak terlalu kaku dan terlalu formal. Pelaksanaannya bisa saja dibuat dengan memadukan kreatifitas di mediasosial, layaknya seorang influencer.

?Persoalan rendahnya tingkat partisipatif pemilih pemula yang akan dikhawatirkan menjadi penyumbang golput juga bisa diatasi dengan memahami karakter pemilih pemula. Terlebih dengan keberadaan media digital saat ini. Selain mengemas pelaksanaan tahapan Pemilu yang tidak kaku, pemerintah dan penyelenggara juga bisa memanfaatkan keberadaan media sosial seperti Facebook, Instagram, Tiktok, Youtube, dan Twitter sebagai sarana untuk menjangkau pemilih pemula dalam hal menjalankan dan mengawasi kepemiluan. Tentu, hal itu juga mesti dibuat batasannya agar cita-cita demookrasi tetap tercapai.

?Lebih jauh, setiap pihak termasuk masyarakat dan pemilih pemula, mesti sadar akan Pemilu yang berintegritas, mulai dari proses hingga keputusan hasilnya. Idealnya sebuah pelaksanaan Pemilu bakal menghasilkan wakil rakyat, Presiden dan Wakil Presiden yang amanah dan berpengaruh terhadap keberlangsungan penyelenggaraan negara dan masyarakat. Hal itu sesuai dengan cita-cita demokrasi di dalam UU Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Apa lagi, pemilih pemula merupakan bagian dari generasi penerus bangsa yang akan menjaga keutuhan dan kedaulatan negara.

Penulis: Eko Maulijar (Anggota PPS Kelurahan Teladan, Kecamatan Kisaran Timur, Kabupaten Asahan).

(BR)

Baca Juga

Rekomendasi