FORJAK Kecam Perintangan dan Represifitas Satpol PP Pemprov Sumut

FORJAK Kecam Perintangan dan Represifitas Satpol PP Pemprov Sumut
FORJAK Kecam Perintangan dan Represifitas Satpol PP Pemprov Sumut (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan – Forum Jurnalis Anti Kekerasan (FORJAK ) mengecam perintangan disertai dugaan represifitas yang dilakukan oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di Kantor Gubernur Sumatra Utara, Selasa (5/9).

Aksi dugaan kekerasan dan intimidasi itu dilakukan di tengah acara serah terima memori jabatan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi kepada Penjabat Gubernur Hassanudin.

Terhitung, ada 12 jurnalis yang menjadi korban perintangan peliputan. Bermula saat sejumlah jurnalis hendak masuk ke dalam Aula Raja Inal Siregar di Lantai II Kantor Gubernur Sumut, di mana acara digelar. Di akses masuk Aula, sejumlah anggota Satpol PP berjaga.

Saat itu juga, para ASN, warga dan jurnalis berdesak-desakan hendak masuk ke dalam aula. Namun saat giliran para jurnalis hendak masuk, petugas Satpol PP melakukan penghadangan.

Seorang anggota Satpol PP bernama EA Lubis tiba-tiba menarik Jurnalis IDN Times Prayugo Utomo yang hendak masuk ke dalam aula. Satpol PP sempat menanyakan soal identitas Prayugo. Setelah dijelaskan, Satpol PP itu malah menyebut jika IDN Times bukan merupakan media resmi.

"Apa itu IDN Times. Enggak resmi itu," kata EA Lubis.

Petugas Satpol PP itu juga sempat mendorong dan menarik badan jurnalis IDN Times yang hendak masuk. Begitu juga dengan para jurnalis lainnya. Petugas Satpol PP mendorong mereka menjauh dari pintu masuk aula.

“Kita juga heran, kenapa malah dibilang tidak resmi. Saya juga melakukan peliputan dengan menjalankan prosedur. Menggunakan tanda pengenal atau ID Press. Saya juga sudah menjelaskan dengan baik-baik, tetapi petugas Satpol PP malah menarik saya, dan tetap mengatakan bahwa saya bukan media yang resmi dan tidak bisa melakukan peliputan di acara itu,” kata Prayugo yang juga menjabat sebagai Koordinator Divisi Advokasi dan Hukum Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan. Akibat perintangan itu, Yugo mengalami kerugian. Dia tidak bisa melakukan peliputan.

Korban lainnya, Danil Siregar dari Tribun Medan juga menyayangkan tindakan pelarangan itu. Apalagi sampai dibarengi dengan aksi kekerasan.

“Kita juga heran kenapa sampai main fisik. Apa mereka tidak memahami jika kerja-kerja jurnalistik dilindungi oleh Undang-undang,” kata Danil.

Para awak media kemudian kembali menanyakan kepada EA Lubis ihwal pelarangan yang dilakukannya. Namun dia malah berupaya memutarbalikkan fakta. Dia justru mengatakan bahwa pintu yang hendak dimasuki awak media adalah akses untuk pejabat.

"Tadi abang mau masuk ke pintu untuk pejabat," katanya.

Jawaban Satpol PP ini justru membuat bingung. Lantaran pintu yang dimaksud merupakan akses satu-satunya ke dalam aula.

FORJAK yang diinisiasi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumut, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan dan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menyampaikan pernyataan sikap pada aksi perintangan dan dugaan represifitas itu.

Sekretaris PFI Medan, Arifin, menyayangkan dugaan represifitas yang dilakukan Satpol PP terhadap para jurnalis.

“Padahal ini momen baik untuk Gubernur Edy Rahmayadi di akhir masa jabatan, mengapa malah dinodai oleh aksi tidak terpuji Satpol PP yang merupakan bawahan Edy Rahmayadi," ujar Arifin.

PFI Medan mendesak pimpinan Satpol PP Sumut Mahfullah Daulay mengambil tindakan tegas terhadap anggotanya yang melakukan perintangan dan dugaan represifitas terhadap jurnalis.

"PFI Medan mendesak pelaku ditindak oleh instansinya. Aksi perintangan ini memiliki konsekuensi pidana. Kepala Satpol PP Pemprov Sumut juga harus memberikan pemahaman tentang Undang- undang Pers terhadap anak buahnya,” ujarnya.

Ketua FJPI Sumut, Nurni Sulaiman mengatakan, aksi yang dilakukan Satpol PP itu sudah mencoreng nama Pemprov Sumut.

“Perbuatan ini melawan hukum harus segera ditindak tegas. Kita harus melawan segala tindakan yang mengerdilkan kebebasan pers,” kata Nurni.

Ketua AJI Medan Cristison Sondang Pane juga mengecam tindakan Satpol PP itu. Kata Christison, apa yang dilakukan petugas Satpol PP itu bertentangan dengan Pasal 4 ayat (3) menyangkut kemerdekaan pers.

“Dalam beleid tersebut dijelaskan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi,” katanya.

Bahwa dalam menjalankan tugasnya, pers nasional memiliki peran sebagaimana Pasal 6 poin d dan e dalam UU No 40 tahun 1999 Tentang Pers.

AJI Medan juga menilai, tindakan itu bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Bahwa dalam pasal tersebut tegas dijelaskan, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta).

“AJI Medan mendesak agar Pj Gubernur Sumut, ataupun Kasatpol PP menindak anggotanya yang melakukan tindakan represif dan upaya penghalangan liputan tersebut,” pungkasnya.

Kasus perintangan jurnalis bukan hanya kali ini saja terjadi di Kota Medan. Sebelumnya, dua jurnalis menjadi korban perintangan oleh petugas Satpol PP dan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) pengawal Wali Kota Medan Muhammad Bobby Afif Nasution, pada Rabu (14/4/2021) petang.

Saat itu dua awak media Rechtin Hani Ritonga (Harian Tribun Medan) dan Ilham Pradilla (Suara Pakar) hendak melakukan metode wawancara cegat pintu (doorstop) kepada Bobby di lingkungan kantor Pemkot Medan.

Di saat sedang menunggu, mereka didatangi Satpol PP yang mengatakan tidak boleh mewawancarai Bobby. Setelah memberikan penjelasan, petugas Satpol PP itu kembali. Tak lama, petugas pengamanan dari kepolisian dan Paspampres mengusir dua wartawan tersebut.

Petugas mengatakan wawancara yang dilakukan bukan saat jam kerja. Bahkan, disebutkan dua petugas tersebut, bahwa kedatangan jurnalis dituding mengganggu kenyamanan dan ketertiban.

Catatan AJI Medan, sepanjang 2021 hingga 2023, ada 16 kasus yang membuat jurnalis menjadi korban. Kasus-kasus ini terdiri dari perintangan, teror dan kekerasan fisik.

Aksi perintangan, intimidasi hingga kekerasan masih menjadi ancaman serius bagi profesi jurnalis. Ini merupakan upaya menghempang kemerdekaan pers di Indonesia.

(REL/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi