Analisadaily.com, Medan - Susilawati, pengusaha Ceker Ayam turut membantu para pegawainya yang sudah sangat cekatan saat mencetak hingga memasukkan Ceker Ayam ke wadah plastik, yang siap untuk dipasarkan.
Perempuan berusia 50 tahun tersebut merupakan generasi ketiga yang menekuni usaha rumahan ini, setelah nenek dan ayahnya. Dia juga sangat bersyukur bisa meneruskan warisan itu, sekalipun banyak tantangan yang harus dilalui, terutama penjualan yang tidak menentu.
“Usaha ini dikerjakan sejak 1960 an, dari nenek dan ayah saya. Nenek saya dulu hanya mencoba-coba untuk dibawa sebagai oleh-oleh ke kampung di Rantau Prapat. Setelah dicoba ternyata bisa, dan dari situ lah usaha ini dilanjutkan hingga saat ini,” tutur Susi saat ditemui di rumah pembuatan Ceker Ayam di Jalan Menteng VII, Gang Seroja, Lingkungan XI, Kelurahan Medan Tenggara, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan, awal Oktober kemarin.
Susi mengatakan makanan ini sebetulnya pertama dari Rantau Prapat dan neneknya melakukan percobaan di Kota Medan. Namun sekarang, di sana sudah tidak ada, dan masyarakat di Rantau Prapat justru membeli ke sini. Seterusnya, makanan Ceker Ayam dipasarkan sampai ke luar Sumatera Utara.
“Sudah dijual ke berbagai daerah. Hanya saja kami sebagai penyedia. Pembeli lah yang memasarkannya, termasuk ke Swalayan dan pusat perbelanjaan. Akan tetapi, orang yang ingin pulang ke Jakarta sering membeli Ceker Ayam untuk oleh-oleh,” kata Susi.
Kata dia, produksi Ceker Ayam setiap hari tergantung pesanan, sudah tidak ramai seperti dulu, yang bekerja sampai malam hari mulai pagi.
“Sekarang, kalau gak ada pesanan yang enggak buat. Rata-rata yang diproduksi 100 bungkus per hari. Plastik besar isinya 20 Ceker Ayam, plastik kecil 10, dan masing-masing harganya Rp 23 ribu dan Rp 18 ribu,” ucapnya sambil menyebutkan bahan-bahan yang digunakan membuat Ceker Ayam, yaitu ubi jalar, gula merah, minyak makan dan alatnya sebuah besi stainles, yang mirip Ceker Ayam.
Susi menambahkan, usahanya bisa bertahan sampai sekarang karena bahan-bahannya alami, seperti gula aren. Tanpa pemanis buatan. Dia percaya, bahan tersebut menghasilkan kualitas baik bagi produksi makanan Ceker Ayam.
“Itu lah yang membuat usaha saya tetap bertahan dan disukai pembeli sampai sekarang,” tambah Susi sembari menunjukkan dapur penggorengan ubi kayu.