Penayangan perdana dan diskusi film dokumenter 'Lara Aspal' diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatra Utara dengan Voice of Forest (VoF) di Gedung Magister FISIP USU, Rabu (8/11) (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Dampak pencemaran aspal setelah kandasnya kapal MT AASHI menjadi topik yang serius dibahas para narasumber usai menyaksikan film dokumenter berjudul 'Lara Aspal', yang diproduksi lewat kolaborasi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatra Utara dengan Voice of Forest (VoF).
Dalam penayangan perdana ini, hadir para akademisi seperti Dekan FISIP USU Dr. Hatta Ridho, Ketua Prodi Magister Studi Pembangunan USU, Prof Subhilhar, Prof Hamdani Harahap, Direktur WALHI Sumut, Rianda Purba, dan Sutradara 'Lara Aspal', Prayugo Utomo.
Selain itu, ada pakar Oseanografi FISIKA UNSYIAH, Haekal A Haridhi, Manajer Kampanye Pesisir dan Kelautan WALHI Nasional, Parid Ridwanul, Kasubdit PSLH – LP, Dit. PSLH, Ditjen PHLHK - KLHK, Dr. Eko Novi Setiawan, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Nias Utara, Sabar Jaya Telaumbanua dan juga masyarakat yang terdampak, Yanuarman Gulo.
Rianda mengatakan, kerusakan terjadi mulai dari terumbu karang, konservasi mangrove dan pesisir pantai. Mereka juga menyorot kerugian sosial dan ekonomi yang dialami nelayan. Kata Rianda, hasil tangkapan ikan turun drastis, harus melaut lebih jauh dan itu tentu merogoh kanton lebih dalam untuk bahan bakar minyak (BBM).
“Nelayan sudah tidak mendapat hasil tangkapan seperti sebelum kapal kandas. Mereka juga harus menghabiskan modal lebih banyak untuk BBM,” kata Rianda di usai menonton 'Lara Aspal' di di Gedung Magister FISIP USU, Rabu (8/11) kemarin.
Dalam persoalan ini, dia mendesak perusahaan dan pemerintah segera evakuasi kapal.
"jika tidak, maka kita tinggal menunggu kehancuran laut Nias dan perairan Samudera Indonesia," tutur Rianda.
Dokumenter 'Lara Aspal' menyajikan hasil investigasi WALHI Sumut yang dilakukan pada Juni 2023. Memotret bagaimana dampak buruk pencemaran, baik terhadap masyarakat pesisir dan ekosistemnya.
Pada 11 Februari 2023, kapal tanker MT ASSHI berbendera Gabon yang berlayar dari Uni Emirat Arab mengangkut ±3600 metrik ton aspal kandas di perairan laut Desa Humene Siheneasi, Kecamatan Tugala Oyo, Kecamatan Nias Utara.
Hingga November 2023, bangkai kapal belum juga dievakuasi. Aspal yang terdapat di dalamnya masih ke luar dan menyebar di perairan Nias. Hasil investigasi WALHI Sumut menunjukkan, pencemaran lingkungan akibat aspal masif terjadi.
Menurut Hamdani, pemerintah cenderung lambat dalam menangani masalah pencemaran aspal di perairan Nias Utara.
"Pemerintah hendaknya fokus untuk segera mengevakuasi kapal dari laut. Terlebih dampak pencemaran terhadap masyarakat," ujar Hamdani.
Kendati begitu, Eko, mengklaim pihaknya sudah melakukan verifikasi di lapangan.
"Kami sudah mendorong upaya pembersihan," kata Kasubdit PSLH KLHK, yang hadir dalam diskusi melalui aplikasi Zoom.
Tangkap Nelayan Menurun
Namun, kondisi ini jauh berbeda dengan yang dirasakan oleh masyarakat setempat, termasuk Yanuarman. Dia menguraikan sejumlah fakta, bahwa saat ini bangkai kapal MT AASHI semakin tenggelam dan terus mengeluarkan cairan aspal. Dia menilai, kegiatan clean up tidak efektif. Masyarakat juga tidak dilibatkan aktif di dalamnya.
"Kita mendesak pemerintah memberikan solusi ekonomi alternatif untuk masyarakat terdampak. Hingga saat ini, kami masyarakat akan mau berganti berprofesi, karena tidak lagi yakin dengan profesi nelayan," ujarnya.
Dia meminta Pemerintah pusat, Kementrian Perhubungan, Kemenhumkam, seluruh instansi yang terkait untuk segera evakuasi pengangkatan bangkai kapal.
Pada kesempatan ini, Haekal, menawarkan sejumlah solusi yang dapat dilakukan dalam menangani pencemaran. Pemerintah hendaknya fokus untuk mengangkut material aspal sesegera mungkin, mengingat kondisi perairan pada musim ini yang cenderung tenang dan dapat memudahkan kegiatan pengangkutan material aspal.
Kemudian, Sabar, mengatakan insiden pencemaran aspal di Nias Utara sangat berdampak dan merugikan kehidupan para nelayan. Hasil tangkapan nelayan semakin hari menurun. Padahal, sebelum adanya pencemaran aspal ini, para nelayan mendapat hasil tangkapan ikan dapat mencapai 25 kg per hari, tetapi saat ini hanya 2 kg saja.
"Bahkan kadang nelayan harus pulang dengan tangan kosong," tutur Sabar Jaya.
Prayugo Utomo mengatakan, diskusi dan pemutaran film ini sendiri bertujuan untuk memperkuat kampanye dan atensi publik atas kasus pencemaran aspal. Melalui film ini, WALHI Sumut dan VoF mendesak pemerintah dan perusahaan kapal bertanggungjawab. Melakukan penanganan serius terhadap dampak pencemaran.
“Lewat film ini, kami ingin menggerakkan kesadaran masyarakat, khususnya mahasiswa. Bagaimana kita bisa memperkuat gerakan dan sama-sama melakukan advokasi terhadap masyarakat terdampak pencemaran. Mendesak pemerintah untuk segera melakukan penanganan dan mendesak perusahaan atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aspal di kapal mereka,” tambah Yugo.
(CSP)