Seekor Echidna berjalan di tengah vegetasi di Pegunungan Cyclops, Papua, Indonesia 22 Juli 2023. (Expedition Cyclops/Handout via Reuters/File Photo)
Analisadaily.com, London - Para ilmuwan telah menemukan kembali spesies mamalia yang telah lama hilang dan digambarkan memiliki duri landak, moncong trenggiling, dan kaki tahi lalat, di Pegunungan Cyclops, Indonesia, lebih dari 60 tahun setelah keberadaannya terakhir direkam.
Echidna berparuh panjang Attenborough, dinamai menurut nama naturalis Inggris David Attenborough, difoto untuk pertama kalinya dengan kamera jejak pada hari terakhir ekspedisi empat minggu yang dipimpin oleh para ilmuwan Universitas Oxford.
Setelah turun dari pegunungan di akhir perjalanan, ahli biologi James Kempton menemukan gambar makhluk kecil yang berjalan melalui semak-semak hutan pada kartu memori terakhir yang diambil dari lebih dari 80 kamera jarak jauh.
“Ada rasa euforia yang luar biasa, dan juga rasa lega setelah sekian lama berada di lapangan tanpa imbalan apa pun hingga hari terakhir,” kata Kempton dilansir dari Reuters, Jumat (10/11), menggambarkan momen pertama kali ia melihat rekaman tersebut bersama kolaborator dari kelompok konservasi Indonesia YAPPENDA.
"Saya berteriak kepada rekan-rekan saya yang masih tersisa dan berkata 'kami menemukannya, kami menemukannya', saya berlari dari meja saya ke ruang tamu dan memeluk mereka," kata dia.
Echidna memiliki nama yang sama dengan makhluk mitologi Yunani setengah wanita dan setengah ular, dan digambarkan oleh tim sebagai makhluk pemalu, penghuni liang di malam hari yang terkenal sulit ditemukan.
“Alasan mengapa mamalia ini tampak berbeda dari mamalia lain adalah karena mereka merupakan anggota monotremata, kelompok bertelur yang terpisah dari mamalia lainnya sekitar 200 juta tahun yang lalu,” kata Kempton.
Spesies ini hanya tercatat satu kali secara ilmiah sebelumnya, oleh seorang ahli botani Belanda pada tahun 1961. Spesies echidna yang berbeda ditemukan di seluruh Australia dan dataran rendah New Guinea.
Tim Kempton selamat dari gempa bumi, malaria, dan bahkan lintah yang menempel di bola mata selama perjalanan mereka. Mereka bekerja sama dengan desa setempat Yongsu Sapari untuk menavigasi dan menjelajahi daerah terpencil di timur laut Papua.
Echidna tertanam dalam budaya lokal, termasuk tradisi yang menyatakan bahwa konflik diselesaikan dengan mengirim salah satu pihak yang berselisih ke hutan untuk mencari mamalia dan pihak lainnya ke laut untuk mencari ikan marlin, menurut tetua Yongsu Sapari yang dikutip oleh Universitas.
Kedua makhluk tersebut dianggap sangat sulit ditemukan sehingga memerlukan waktu puluhan tahun atau satu generasi untuk menemukannya. Namun, setelah ditemukan, hewan tersebut melambangkan berakhirnya konflik dan kembalinya hubungan harmonis.
(CSP)