Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief (kiri) dalam diskusi bersama media di Jakarta, Rabu (24/4/2024). (ANTARA/HO-Remotivi)
Analisadaily.com, Jakarta - Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, dapat mengancam kreativitas di ruang digital.
Direktur Eksekutif Remotivi, Yovantra Arief, mengatakan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran 2 Oktober 2023, meluaskan cakupan wilayah penyiaran menjadi bukan hanya penyiaran konvensional seperti TV dan radio, melainkan juga mencakup penyiaran digital.
“Memasukkan platform digital dalam definisi penyiaran, membuat konten digital harus patuh pada aturan-aturan yang sama dengan aturan TV konvensional, padahal medium dan teknologinya berbeda. Ini tidak tepat karena platform digital memiliki logika teknologi yang berbeda dengan TV atau radio terestrial," kata Yovantra dilansir dari Antara, Rabu (24/4).
Dia menjelaskan dalam pasal 48 ayat 4 di UU Penyiaran, pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran (SIS) yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan, rasa hormat terhadap pandangan keagamaan, rasa hormat terhadap hal pribadi, kesopanan dan kesusilaan, pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme, perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan.
Kemudian, penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak, penyiaran program dalam bahasa asing, ketepatan dan kenetralan program berita, siaran langsung, dan siaran iklan.
Sementara dalam pasal 56 ayat 2, pada RUU Penyiaran menyatakan selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai isi siaran dan konten siaran terkait narkotika, psikotropika, zat adiktif, alkohol, dan perjudian, rokok, penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, penayangan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat.
Kemudian, penayangan aksi kekerasan dan/atau korban kekerasan. Konten yang mengandung unsur mistik. Konten yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender. Konten pengobatan supranatural, dan beberapa larangan lain.
“Larangan-larangan ini berpotensi mengekang hak publik, untuk mendapat konten yang beragam. Padahal di platform digital publik, memiliki agensi lebih besar untuk memilih dan menyaring tontonan, berbeda dengan penyiaran konvensional," tuturnya.
Lanjut dia, sebagai konsekuensi dari perluasan kewenangan KPI, maka platform digital seperti Netflix, Amazon Prime, Vidio, dan platform lainnya harus tunduk pada UU Penyiaran yang baru serta diatur oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
Sebelumnya, Komisi I telah mengirimkan draft RUU Penyiaran kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR, untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Selanjutnya, jika disetujui, RUU itu akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk ditetapkan menjadi RUU usul inisiatif DPR RI.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari mengatakan isu sentral dari Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ialah menyangkut isi siaran.
"Apa isu sentral-nya? ya, isi siaran. Isi siaran tentunya akan menyangkut peraturan terhadap seluruh bentuk siaran menggunakan media apa pun," kata Abdul Kharis dalam diskusi dengan tema "Menuju Era Baru, RUU Penyiaran Perlu Ikuti Kemajuan Teknologi" di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (19/3).
(CSP)