Pengendara yang jalannya dialihkan karena nonton bareng Pemko Medan di Jalan Kesawan. (Analisadaily/Bambang Riyanto)
PERHELATAN nonton bareng yang difasilitasi Pemerintah Kota Medan di jalan utama daerah Kesawan menyisakan persoalan. Pasalnya, nonton bareng penuh euforia itu sarat dengan arogansi dari pemerintah kota yang abai akan hak-hak pengendara dan pejalan kaki serta para pelaku usaha di sekitar lokasi acara.
Sejak pagi, para pejabat dinas di Medan wara-wiri di sekitar Kelurahan Kesawan, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan tepatnya mulai dari Simpang Jalan Gwangju sampai Simpang Lampu Merah Lonsum. Layar videotron disusun berikut dengan perangkat sound system. Jalan pun diailhkan oleh Dinas Perhubungan Kota Medan, akibatnya Jalan Gwangju menjadi padat oleh kendaraan dan membuat daerah Kesawan macat sepanjang hari.
Para pengusaha yang buka di sekitar jalan Kesawan pun harus gigit jari karena tak ada satupun orang yang singgah akibat padatnya badan jalan. Hal itu sangat disayangkan, padahal Pemko Medan dengan segala “kuasanya” harusnya bisa memilih tempat yang lebih rasional, nyaman dan tak merugikan banyak orang. Bukan justru memilih tempat nonton bareng di pusat perekonomian yang padat aktivitas jual beli.
Walikota Bobby Nasution harusnya tidak hanya mementingkan euforia kegembiraan semata, namun perlu arif bijaksana dalam memilih lokasi “pesta”. Di antara tempat yang ada di kota metropolis ini tentu Kesawan bukan satu-satunya ruang publik yang bisa digunakan. Lebih representatif bila Pemko Medan membuatnya di Lapangan Benteng. Parkir mudah, konsentrasi massa bisa lebih terarah dan yang terpenting tak merugikan orang lain.
Cara Pemko Medan dalam “merayakan” keberhasilan Timnas U23 yang tembus semifinal AFC usai menumbangkan Korea Selatan dengan menggelar nonton bareng bagi masyarakat sejatinya patut diapresiasi. "Sense of nasionalism” bisa bangkit kembali usai pertarungan Pilpres 2024 yang sengit. Kebersamaan kembali terajut, persatuan tak lagi surut.
Namun sayang, lokasi yang tak tepat membuat sebagian warga mengumpat. Khususnya para pelaku ekonomi di sekitar lokasi. Dapurnya harus “padam” sementara akibat kesemerawutan arus lalu lintas. Padahal mereka juga penyumbang pajak, yang tak boleh diabaikan hak-haknya untuk berjualan dan memproleh akses yang aman dan nyaman.
Pun begitu dengan para pengendara. Para sopir ojek online harus tertahan di sepanjang jalan Kesawan, omset harian pun menurun. Dari pantauan arus lalu lintas memang padat merayap, bukan hanya di Kesawan namun juga di seputar Pajak Ikan Lama. Keluhan-keluhan dari mereka yang diabaikan hak-haknya barangkali tak terdengar nyaring oleh penguasa, kalah oleh hegemoni euforia sesaat.
Parahnya, mereka yang protes acap dianggap tak nasionalis karena berarti tak mendukung tim nasional. Ah, padahal itu adalah dua hal yang berbeda. Dan semoga penguasa kota ini bisa lebih peka. Serta tentu saja, Indonesia juara!
Penulis: Bambang Riyanto
Editor: Bambang Riyanto