Ketua MUI Kota Medan. (Analisadaily/Istimewa)
Oleh: Dr. Hasan Matsum, M.Ag.*
QURBAN dalam istilah fikih dikenal dengan sebutan udhiyyah yang berarti menyembelih hewan ternak (unta, sapi, kerbau, kambing) yang memenuhi syarat tertentu dilakukan pada hari raya Idul Adha dan hari tasyriq yakni tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah semata-mata untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai hukum berqurban bagi orang yang mampu. Jumhur ulama, selain Imam Hanafi, mengatakan bahwa berqurban bagi orang yang mampu hukumnya sunnah mu’akkad. Dalil fikih yang mereka gunakan adalah surat al-kausar ayat 2, “maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan sembelihlah qurban”. Menurut jumhur ulama, perintah berqurban dalam surat al-kausar tersebut bersifat umum. Keumuman perintah berqurban ini telah ditakhsis oleh hadis Rasullah Saw., yaitu “Dari Ibnu Abbas dia berkata ; aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda ; ada tiga hal bagiku fardhu dan bagi kalian (umatku) sunnah, yaitu shalat witir, menyembelih qurban, dan shalat dhuha (HR. Ahmad).”
Dalam mazhab Syafi’i sifat kesunnahan ini dibagi dua. untuk masing-masing orang hukumnya sunnah ‘ain, bagi kepala keluarga hukumnya sunnah kifayah, artinya apabila kemampuan berqurban dalam keluarga/rumah tangga hanya satu ekor kambing, maka kepala keluarga yang berqurban dan itu memadai untuk satu keluarga tersebut. Dalam kitab i’anat at-thalibin, Muhammad Syatha menjelaskan “Jika salah seorang dalam satu keluarga melaksanakan penyembelihan qurban, maka hal itu memadai untuk mereka semua meskipun disunnahkan untuk masing-masing mereka, dan makruh hukumnya jika tidak ada diantara mereka yang berqurban. Hal ini apabila dalam satu keluaga ada beberapa orang, jika hanya satu orang maka hukumnya sunnah ‘ain. Berkata penulis kitab Tuhfah maksud sunnah kifayah di sini yaitu sunnah untuk masing-masing orang, namun gugur tuntutan hukum sunnah tersebut karena ada orang lain yang mengerjakannya. Adapun pahalanya tidak meliputi orang yang tidak melaksanakan kesunnahan tersebut (pahala sunnah hanya didapat oleh mereka yang mengerjakannya).
Menurut Imam Hanafi, hukum berqurban bagi orang yang mampu adalah wajib. Takaran mampu apabila seseorang memiliki harta sebanyak 200 dirham (600 gram perak), yaitu jumlah harta yang telah mencapai nisab zakat dan telah memenuhi kebutuhan pokok untuk dirinya dan orang-orang yang wajib ditanggung nafkahnya. Dalil yang digunakan Imam Hanafi sama dengan yang digunakan oleh jumhur ulama yaitu surat al-kausar ayat 2. Menurutnya perintah yang ada pada surat al-kausar tersebut menunjukkan wajib, perintah wajib di sini tidak dapat ditakhsis oleh hadis ahad di atas yang bersifat zhanni. Selain itu, Imam Hanafi memperkuat argumennya bahwa perintah berqurban dalam surat al-kausar diiringi ancaman bagi mereka yang enggan untuk berqurban melalui hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda ; “barangsiapa memiliki kelapangan rizki namun tidak mau berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami (HR. Ibnu Majah).”
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa menurut jumhur ulama fikih hukum asal berqurban bagi orang yang mampu adalah sunnah mu’akkad. Hukum berqurban dapat berubah menjadi wajib karena dua sebab, yaitu sebab nazar dan penentuan (ta’yin). Mustafa al-Khin dalam al-fiqh al-manhaji menjelaskan yang dimaksud dengan nazar yaitu seseorang mewajibkan pada dirinya suatu bentuk ketaatan yang menurut hukum asalnya tidak wajib berdasarkan syari’at, baik secara mutlak maupun digantungkan dengan sesuatu. Mustafa Dib al-Bugha dalam kitab at-Tabhij memberikan penjelasan tentang nazar mutlak seperti seseorang mengatakan ; demi Allah wajib atasku puasa atau haji atau ibadah selain itu, maka tetaplah kewajiban itu atas dirinya. Sedangkan nazar yang digantungkan dengan sesuatu, yaitu seseorang mewajibkan pada dirinya suatu perbutan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. jika mendapat suatu nikmat atau terlepas dari suatu kesulitan/kesengsaraan. Jika makna nazar seperti ini terjadi pada seseorang yang berqurban, maka wajiblah baginya berqurban sesuai dengan nazar tersebut.
Kedua, ta’yin. Sebagaimana nazar, ta’yin atau penentuan hewan qurban juga menyebabkan qurban menjadi wajib. Hal ini dapat ditemui di berbagai kitab mazhab Syafi’i diantaranya kitab Is’ad al-Bariyyah fi Ahkam al-Udhiyah karya Hisyam Kamil Hamid Musa asy-Syafi’i, dia berkata “Qurban menjadi wajib karena dua sebab : pertama karena ta’yin, seperti seseorang mengatakan ini adalah qurbanku atau aku akan berqurban dengan kambing ini, maka wajiblah ketika itu ia berqurban dengan kambing tersebut.” Mustafa al-Khin dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji menjelaskan “Yang pertama ; bahwa seseorang menunjuk kepada hewan ternak miliknya yang dapat dijadikan qurban, lalu ia mengatakan ; ini adalah qurbanku, atau aku akan berqurban dengan kambing ini misalnya, maka wajiblah baginya ketika itu berqurban dengan kambing tersebut.”
Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfah al-muhtaj menjelaskan bahwa tidak termasuk ta’yin apabila dimaksudkan hanya untuk memberi kabar atau menjelaskan tentang status hewan qurban, hal ini sebagaimana kata beliau “Perkataan Imam Nawawi : atau udhiyah ini), Seyogianya letak status nazar itu ialah selagi tidak bermaksud memberi kabar/menjelaskan. Kemudian jika memang bermaksud memberi kabar, dengan ucapan “kambing ini yang saya maksudkan untuk qurban”, maka tidak ada hukum penentuan, yang berlaku adalah hukum jawaban. Oleh karena itu sebaiknya orang yang akan berqurban mengiringi niat dan ucapannya dengan kata insya Allah, seperti “insya Allah saya akan berqurban dengan kambing ini” agar terhindar dari hukum ta’yin.
Selanjutnya, para ulama fikih juga berbeda pendapat tentang kebolehan memakan daging qurban wajib oleh pequrban. Jumbur ulama, selain mazhab Maliki dan sebagian mazhab Hanbali mengatakan bahwa memakan daging qurban wajib (karena nazar dan ta’yin) oleh pequrban hukumnya haram. Abu Zakaria Yahya binSyarf an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab menyatakan “Pasal, tentang pendapat para ulama mengenai hukum makan hewan qurban dan hadyu yang wajib, telah kami tegaskan bahwa mazhab kami (Syafi’i) berpendapat, tidak boleh makan daging kurban dan hadyu yang wajib, baik karena jubranan (qurban dam karena tidak melaksanakan wajib haji atau melanggar larangan haji) atau karena nadzar. Demikian pula yang menjadi pendapat al-Auza’i, Daud Ad-Dzahiri, tidak boleh makan daging qurban wajib.
Sementara Ibnu Qudamah yang menganut mazhab Hanbali mengatakan, “Jika ada orang yang nazar untuk qurban, kemudian dia menyembelih qurban, maka dia boleh memakannya. Sementara al-Qodhi Abu Ya’la mengatakan: Diantara ulama mazhab kami (Hanbali) ada yang melarang memakannya, dan itu yang nampak dari perkataan Imam Ahmad.
Menurut mazhab Maliki memakan daging qurban wajib (karena nazar dan ta’yin) hukumnya mubah. Abu Muhammad bin Abdullah al-Maliki dalam kitab An-Nawadir wa az-Ziyadat ‘ala Ma fi al-Mudawwanah min Ghairiha min al-Ummahat menjelaskan “Berkata Imam Malik ; pemilik hadyu nazar boleh makan daging hadyu tersebut demikian pula badanah (unta) nazar, kecuali apabila dinazarkan hadyu atau badanah tersebut untuk orang-orang miskin. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Isami wa Adillatuhu menegaskan “Adapun menurut mazhab Maliki dan Hanbali boleh makan daging qurban (al-udhiyah) yang dinazarkan seperti halnya qurban sunnah. Dasar hukum yang mereka gunakan adalah Al-Qur’an surat al-Hajj ayat 28 dan 36 ; “Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan-Nya kepada mereka berupa hewan ternak, maka makanlah sebagian darinya dan sebagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.
*Penulis adalah Ketua MUI Kota Medan.(BR)