Praktisi hukum asal Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Roni Prima Panggabean (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Praktisi hukum asal Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Roni Prima Panggabean, menyoroti kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Menurutnya, kebijakan itu sangat kontroversial di tengah terpuruknya ekonomi masyarakat belakangan ini.
"Mau dibawa kemana Tapera. Apakah sudah sesuai dengan namanya 'Tabungan Perumahan Rakyat'? Atau hanya omong-omong?" kata Roni, Selasa (11/6).
Apalagi, lanjut Roni, kebijakan yang kontroversial terhadap masyarakat Bernama Tapera itu ujungnya menyasar hingga ke urat nadi.
"Masyarakat, baik itu karyawan swasta hingga pekerja mandiri, penghasilannya dipotong 2,5 sampai 3 persen setiap bulannya. Pada 2021 silam, sebenarnya pemerintah telah menerapkan iuran wajib terhadap PNS/ASN. Namun belakangan, ini akan diberlakukan terhadap pekerja swasta, bahkan pekerja mandiri yang tidak berpenghasilan tetap. Itulah yang sangat disayangkan," sebutnya.
Ditegaskan Roni, jika pemerintah tetap memaksakan, hal ini akan sangat memengaruhi iklim perekonomian dan investasi yang tentunya membebankan sektor swasta dan pekerja mandiri.
"Hal ini disebabkan peserta Tapera yang sudah berjalan tidak memiliki kepastian untuk memperoleh program tabungan perumahan rakyat. Emang rumahnya di mana? Lahannya di mana? Kenapa dibebankan kepada masyarakat?" tegas pengacara muda yang konsen terhadap perbaikan kebijakan publik tersebut.
Lantas, kata Roni, bagaimana dengan sektor swasta dan pekerja mandiri yang bahkan Upah Minimum Regional (UMR) saja tidak terpenuhi.
"Konon lagi ditambah dan dibebankan lagi dengan Tapera," katanya.
Memang, ungkapnya, BP Tapera dalam pengelolaannya telah memberikan dukungan Fasilitas Likuiditas Pembangunan Perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk pembiayaan perumahan.
"Namun, bedasarkan infobanknews.com, perlu diketahui juga pada 4 Juni 2024 BPK telah merilis sebanyak 124.960 peserta Tapera belum menerima pengelolaan pengembalian dana sebesar Rp 567,45 miliar, dan peserta pensiun ganda 40.266 orang sebesar Rp 130,25 miliar. Yang mau saya sampaikan di sini, untuk memperoleh pengembalian uang yang ditabung saja sebagai peserta tidak semudah menyetorkan kewajibannya. Padahal ini sudah menjadi hak mutlak peserta Tapera," ungkap Roni.
Menurutnya, pengelolaan keuangan yang dikelola pemerintah saat ini sebenarnya sudah sangat sulit untuk dipercaya, ada beberapa poin kritis dan fakta hukum yang telah terjadi ibarat pisau sudah di ujung leher.
"Dari peristiwa yang kita lihat secara terang benderang, artinya pengelolaan keuangan negara perlu dievaluasi kembali! Kenapa pemerintah tidak mengambil langkah solutif, yaitu segera recovery asset akibat tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara," imbuhnya.
Apalagi, kata Roni, belakangan ini mega korupsi di PT Timah yang sudah diumumkan Kejaksaan Agung yaitu dugaan kerugian negara ternyata mencapai Rp 300 triliun.
Karenanya, Roni Panggabean sebagai advokat & Co.Founder Roni Prima & Partners yang berkantor di Jakarta Selatan, menyampaikan jika memang program Tapera tersebut untuk menyejahterakan rakyat, ada langkah alternatif dan solutif untuk yang harus dilakukan pemerintah.
Pertama, segera lakukan 'Recovery Asset', untuk asset yang belum disita negara, segera sita dan lakukan pemulihan, hasilnya dapat disetor ke kas negara.
Kedua, perkuat lembaga penegakkan hukum: kepolisian, kejaksaan, KPK & kehakiman untuk melakukan percepatan pengembalian kerugian negara tentunya bersinergi dengan Kementerian Keuangan dan dikomandoi oleh Menkopolhulkam.
Ketiga, pemerintah perlu menggandeng pihak swasta seperti akuntan publik, firma hukum, dan sektor swasta lainnya yang berkaitan untuk mempercepat realisasi pemulihan keuangan negara.
"Hal ini dapat dijangkau dengan waktu yang lebih cepat dan terukur dengan adanya eskalasi recovery asset dibandingkan membebankan masyarakat melalui kebijakan Tapera yang saat ini belum tepat untuk diimplementasikan, karena tidak ada kepastian bagi peserta tapera itu sendiri,” bebernya.
“Sementara masih banyak institusi yang secara terang benderang melakukan korupsi yang seharusnya negara mampu merampas assetnya dan disetor ke kas negara, bahkan dapat mendukung program FLPP dengan tidak menyiksa masyarakat berpenghasilan rendah/MBA dengan iuran wajib 2,5-3 persen," pungkasnya.
(RZD)