Bahaya BPA dalam Air Kemasan: Risiko Kesehatan Reproduksi Pria dan Wanita

Bahaya BPA dalam Air Kemasan: Risiko Kesehatan Reproduksi Pria dan Wanita
Bahaya BPA dalam Air Kemasan: Risiko Kesehatan Reproduksi Pria dan Wanita (Ilustrasi/freepik.com)

Analisadaily.com, Medan - Praktik industri air minum dalam kemasan (AMDK) dalam penggunaan galon guna ulang boleh dibilang sangat memprihatinkan. Galon-galon ini sering kali didistribusikan menggunakan truk-truk terbuka, yang berarti terpapar langsung pada suhu ekstrem, terutama panas matahari yang menyengat.

Paparan ini dapat memicu pelepasan senyawa Bisfenol A (BPA) dari dinding kemasan galon ke dalam air yang diwadahinya. Proses pencucian galon yang dilakukan secara berulang juga meningkatkan risiko ini.

“Galon ini menjadi masalah pada waktu akan ditransport atau didistribusikan, mulai dari yang kosong mau diisi, maupun yang sudah diisi dan (dikirim) ke distributor-distributornya, itu saya lihat dan beberapa data menyebutkan bahwa walaupun mereka tidak panas, tapi dalam distribusinya bisa terpapar panas, karena ditaruh di truk-truk terbuka,” kata dr. I Made Oka Negara dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, di sela Seminar “BPA Free” bertema: “Perilaku Sehat, Reproduksi Sehat, Keluarga Sejahtera”, di Jakarta, belum lama ini.

“Jadi paparan panas dan paparan sinar ultraviolet (UV), akan menyebabkan BPA-nya terlepas,” katanya menambahkan.

“Kalau bisa, saran saya, truk-truk pengangkutnya berataplah, jadi tidak ada pengaktifan BPA-nya jadi tergelontor lepas,” bilangnya.

“Dalam konteks kandungan senyawa kimia BPA, beberapa penelitian sudah sangat masif menjelaskan bahwa BPA berbahaya secara akumulatif untuk kesehatan,” katanya lagi.

Dr. Oka Negara yang dikenal kompetensinya di bidang kesehatan seksual dan reproduksi, dan saat ini aktif di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali, juga menegaskan bahwa paparan senyawa Bisfenol A (BPA), terutama saat janin masih dalam kandungan, bisa menyebabkan kelainan pada organ reproduksi pria, termasuk micropenis, yaitu kondisi di mana ukuran penis lebih kecil dari biasanya.

Bila, “(BPA) Dikonsumsi terus menerus, (bisa menimbulkan) Gangguan estrogen, dan pada laki-laki berpotensi mengalami micropenis, berpotensi mengalami gangguan kesuburan. Kalau pada perempuan, cenderung mengalami debut seksual lebih awal, payudaranya dan panggulnya lebih besar lebih awal,” katanya melanjutkan.

Kontaminasi BPA pada AMDK galon polikarbonat ini sudah dibuktikan dari penelitian lapangan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mengungkapkan, bahwa air kemasan dari galon polikarbonat di enam daerah di Indonesia menunjukkan tingkat kontaminasi BPA yang mengkhawatirkan. Hasil studi ini mengidentifikasi kadar BPA dalam air kemasan yang melebihi batas aman, sehingga memicu revisi regulasi BPOM.

Itu sebabnya, dalam forum yang sama, Yeni Restiani, Direktorat Standardisasi Pangan Olahan BPOM menekankan kembali tentang urgensi regulasi pelabelan dan kemasan bahan plastik yang perlu diketahui oleh keluarga dan masyarakat di Indonesia.

“Sejak 5 April 2024, semua AMDK yang beredar di Indonesia wajib mengikuti ketentuan dalam Peraturan BPOM No. 6 tahun 2024,” kata Yeni.

Yeni menyebut dua poin penting perubahan kedua atas peraturan BPOM No 31 tahun 2018 sebelumnya tentang Label Pangan Olahan, yang kini mendapat tambahan pasal 61A yang tegas mengatakan, “AMDK yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat, pada labelnya wajib mencantumkan tulisan: ‘Dalam kondisi tertentu kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada AMDK’.”

Menurutnya, proses migrasi atau perpindahan BPA dari kemasan ke dalam pangan bisa terjadi karena beberapa hal.

Proses pencucian yang tidak tepat, penggunaan air pada suhu tinggi di atas 75 derajat celcius, terdapat residu detergen, dilakukannya pembersihan yang mengakibatkan goresan, penyimpanan tidak tepat, hingga paparan sinar matahari langsung atau karena lamanya terpapar sinar matahari,” bebernya.

Regulasi pelabelan pada kemasan AMDK polikarbonat kini sudah sah diberlakukan dengan tenggat waktu empat tahun kepada produsen untuk berbenah. BPOM mendasari urgensi pelabelan ini berkat temuan lapangan yang menemukan adanya kandungan BPA pada air minum kemasan galon polikarbonat di enam daerah di Indonesia.

BPOM menemukan zat BPA dalam kadar melebihi ambang batas (0,9 ppm per liter) pada air minum dalam kemasan galon, pada periode 2021-2022. Padahal ambang batas yang ditentukan adalah sebesar 0,6 bagian per sejuta (ppm) per liter. Keenam daerah yang AMDK galonnya diduga tercemar paparan BPA, di antaranya Medan, Bandung, Jakarta, Manado, Banda Aceh, dan Aceh Tenggara.

Berdasar temuan BPOM, tingginya kadar BPA ini sebanyak 3,4 persen ditemukan pada sarana distribusi dan peredaran. Sedangkan hasil uji migrasi BPA yang mengkhawatirkan, 0,05-0,6 ppm, menyebutkan 46,97 persen ditemukan di sarana distribusi dan peredaran, serta 30,19 persen ditemukan di sarana produksi. Sementara, uji kandungan BPA pada AMDK yang melebihi 0,01 ppm, 5 persen ditemukan di sarana produksi serta 8,6 persen ditemukan di sarana distribusi dan peredarannya.

BPOM membuktikan, terkontaminasinya AMDK galon dengan BPA yang berlebih ini akibat proses pasca produksi. Proses perjalanan transportasi dan penyimpanan AMDK galon, dari pabrik menuju konsumen melalui berbagai media dan ruang ini, diduga tidak sesuai prosedur. Misalkan, galon yang terkena paparan panas matahari atau dibanting-banting saat diturunkan, diyakini menjadi penyebab kandungan BPA dalam kemasan galon bermigrasi dalam air.

“Nah, sekarang kita lihat apakah (semua bukti ini) mau dianggap nggak apa-apa?” kata dr. Oka Negara.

“Atau kita mau lihat generasi berikutnya adalah generasi yang benar-benar lebih sehat,” pungkasnya.

(DEL)

Baca Juga

Rekomendasi