Sungai Deli meluap berdampak pada permukiman Kampung Aur, Medan, terendam banjir hingga ketinggian satu meter. Banjir tersebut merendam ratusan rumah warga pada Kamis (18/4/2024) lalu. (Analisadaily/Cristison Sondang Pane)
Analisadaily.com, Medan - Arsini, tanpa rasa ragu mengeluarkan unek-unek terhadap Pemerintah Kota Medan karena berpuluh-puluh tahun merasa was-was tinggal di rumahnya, terutama saat musim hujan tiba. Pergantian pemimpin juga ternyata tidak menjamin perubahan atau pun kenyamanan diri dan warga lainnya.
Tercatat, 2 dekade terakhir Kota Medan telah 4 kali berganti pemimpin, namun sampai sekarang pergumulan perempuan berusia 51 tahun itu tidak berubah. Masalah banjir yang melanda tak kunjung bisa diatasi oleh mereka yang berkuasa. Ini bisa memperpanjang kekhawatiran bahkan penderitaan Arsini, keluarga dan warga yang berdomisili di Kampung Aur, Kecamatan Medan Maimun, Kota Medan.
“Wali kota sudah berganti-ganti. Kalau kita bilang dia datang hanya sekadar memberi janji, tidak memberi bukti, janjinya akan mengatasi kebanjiran, banyak, setiap calon bilang, nanti kami upayakan supaya kampung ini tidak kena banjir,” tutur Arsini sembari menunjuk rumah-rumah warga yang ada di tepi aliran Sungai Deli.
Menurut ibu 4 orang anak ini, saat kampanye mereka menjanjikan tidak banjir, termasuk di Kampung Aur, tetapi setelah terpilih banjir tetap terjadi.
“Katanya tidak akan banjir lagi, itu yang tidak pernah terjadi. Kemarin, Pak Bobby (Wali Kota Medan 2021-2024) bilang Medan akan bebas banjir, tapi kenyataannya tetap banjir,” ucap Arsini, yang tinggal bersama anaknya tidak jauh dari tepi aliran Sungai Deli.
Dia sama sekali tidak bisa menghitung berapa kali kampungnya terkena banjir, karena sejak kecil sudah merasakan bagaimana pedihnya saat tamu “tak diundang” itu memasuki rumah.
Namun Arsini hanya mengingat bahwa banjir besar melanda Kampung Aur terjadi tahun 2000, 2011 dan 2020. Saat itu, debit air sangat besar, masuk ke rumah yang tingginya sedada orang dewasa. Ada rumah yang hanyut, walaupun tidak ada korban jiwa.
“Tahun 2000, isi rumah terbawa banjir, karena saya tidak punya loteng. Semua barang saya keluar. Waktu itu kita selamatkan diri terlebih dahulu. Hal yang paling menyakitkan lagi bagi saya itu tahun 2020, tiga malam berturut-turut mengungsi karena rumah sewa saya tergenang air,” ucap Arsini dengan nada rendah.
Menurut Analisis Pemetaan Daerah Rawan Banjir di Kota Medan Tahun 2020 yang ditulis Nabila Anggraini dkk di Jurnal Kajian Ilmu dan Pendidikan Geografi, disebutkan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan Kota Medan rawan banjir. Banjir di Kota Medan hampir rata-rata 10-12 kali/tahun yang sangat dipengaruhi oleh keadaan Sungai Deli dan Belawan di daerah hulu.
Mencakup Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang, dan Kota Medan, bencana banjir di Kota Medan diakibat oleh adanya kiriman dari sungai daerah hulu dan kondisi drainase kota yang sangat buruk (poor drainage).
Berdasarkan peta tingkat kerawanan banjir di Kota Medan dibagi dalam 4 kelas, yaitu kelas dengan tingkat kerawanan sangat rendah, rendah, sedang, dan tinggi. Luas wilayah pada kelas dengan tingkat kerawanan banjir yang sangat rendah yaitu 248 Ha.
Untuk kelas rendah seluas 1817 Ha, pada kelas kerawanan banjir sedang mencapai 11.465 Ha, dan untuk kelas tinggi seluas 14.307 Ha. Kecamatan Medan Belawan dan Medan Labuhan merupakan daerah dengan tingkat kerawanan banjir yang tinggi. Sedangkan Medan Johor dan Medan Tuntungan merupakan daerah dengan kelas kerawanan banjir sedang.
Berkaca pada hasil riset itu, banjir di Kota Medan seharusnya menjadi perhatian serius untuk cepat dapat ditangani, namun hingga pergantian beberapa wali kota pun masalah ini tak teratasi, sekalipun sudah menjalankan berbagai program.
Program yang belum menjawab masalah
Anak-anak bermain saat permukiman padat penduduk di Kampung Aur, Medan, Kamis (18/4/2024) lalu terendam banjit. Banjir merendam ratusan rumah warga karena meluapnya Sungai Deli akibat hujan deras (Cristison Sondang Pane)
Wali Kota Medan periode 2010-2015 menjalankan program untuk menyelesaikan masalah banjir, namun solusi tersebut tak juga menjawab masalah.
Dia melakukan pengerukan drainase, menertibkan pedagang kaki lima yang berjualan di atas trotoar, bahkan menerbitkan Peraturan Wali Kota Nomor 9 Tahun 2009 tentang Larangan Mendirikan Bangunan di Atas Saluran Drainase, Bahu Jalan, Trotoar, Tanggul Sungai dan Garis Sempadan Sungai Serta Larangan Menutup Saluran Drainase Secara Menerus.
Namun, upaya itu juga jauh dari harapan. Tercatat, pada 2011 terjadi banjir besar setidaknya merendam 7 dari 21 kecamatan, ratusan rumah dan ribuan warga terkena dampak.
Tidak jauh berbeda, Wali Kota Dzulmi Eldin, juga terus mengelola, menata dan melakukan normalisasi drainase, tapi masalah banjir masih menghantui penduduk. Pada 2018, ada 3 kecamatan terendam banjir, diantaranya Kecamatan Polonia, Kecamatan Medan Maimun dan Kecamatan Medan Baru.
Wali Kota Akhyar Nasution kemudian melanjutkan pembenahan drainase dengan melakukan pelebaran, dan banjir masih sulit diatasi. Demikian juga Wali Kota Bobby Nasution, yang membenahi drainase di Kota Medan, tak juga membuat banjir, genangan air, berakhir.
Masih menurut riset di atas, faktor dominan yang menjadi penyebab kerawanan banjir di Kota Medan adalah kemiringan lereng. Selain memiliki bobot yang besar yaitu dengan nilai 50, sebaran kemiringan 0-8% (datar) hampir terdapat diseluruh wilayah Kota Medan yang mempunyai kategori sedang dan tinggi terjadinya banjir.
Pelaksana Harian Kepala Dinas Sumber Daya Air Bina Marga dan Bina Konstruksi (SDABMBK) Pemerintah Kota Medan, Gibson Panjaitan mengatakan, hampir tidak bisa memaksimalkan kemiringan itu, apalagi sudah berhubungan ke sungai. Bisa dibuat miring, sangat miring pun bisa, tapi hanya dengan debit tertentu air sungainya. Tidak bisa mengatasi secara menyeluruh.
Sampai saat ini, Pemerintah Kota Medan berjibaku mengejar target supaya banjir tidak lagi menjadi masalah yang belum kelar. Upaya normalisasi sedimen, pembangunan drainase, dan sampah menjadi program jangka pendek yang masih diandalkan. Sembari mengerjakan pembangunan kolam retensi, safe drain untuk simpanan air di jalan-jalan strategis, membuat sodetan-sodetan yang dialirkan ke sungai-sungai.
“Ini program jangka panjang,” kata Gibson.
Dia menyebutkan, orang banyak bilang drainase yang dibangun Pemerintah tidak bermanfaat, elevasinya salah. Namun dia menjelaskan, drainase yang dibangun di Medan keluarnya ke sungai atau anak sungai. Ada Sungai Deli, Sungai Belawan, Sungai Percut, dan ada anak sungai Sei Sikambing, Sei Kera, Selayang, Sei Putih dan Sei Babura. Rata-rata drainase ini koneknya ke sungai itu, karena belum ada drainase langsung ke laut.
Mengandalkan Sungai
Warga membantu pengendara sepeda motor yang mogok saat melewati banjir di Jalan Sei Batang Hari, Medan, Jumat (29/9/2024) lalu. Hujan deras mengguyur Kota Medan menyebabkan sejumlah ruas jalan terendam banjir (Cristison Sondang Pane)
Di saat sungai dan anaknya keadaannya normal, maka bisa dipastikan drainase yang dibangun itu tadi mengalir dengan lancar, pasti tidak ada yang tergenang. Misalnya, sungai dengan debit airnya tinggi, dan kalau sudah normal dapat dipastikan drainase yang dibangun bisa mengalirkan genangan.
Seperti, dia mencontohkan, di Jalan Abdullah Lubis. Ketika air di Sei Putih itu meluap, air keluar, air di drainase kita gak bisa masuk, tapi begitu air di Sei Putih turun, enggak sampai setengah jam pasti hilang airnya di jalan itu.
Sebenarnya seperti banjir baru-baru ini di Medan Perjuangan dan di Jalan Gatot Subroto, kalau hanya dari drainase, banjirnya tidak besar. Kenapa itu bisa terjadi? Karena air yang berada di Sei Kambing sudah 40 Cm di atas tanggul atau meluap.
“Sungai itu sebagai drainase primer menangkap air dari drainase sekunder yang kita dibangun. Bagaimana menangkap air dari drainase di sungai itu saja sudah meluap. Begitu dia meluap, otomatis air di drainase yang kami bangun ini menunggu dulu sampai turun. Begitu juga di Sei Putih, Sei Selayang. Tapi bukan berarti karena sungai ini belum bisa menerima secara maksimal,” papar Gibson.
Jika ini tidak dibangun, Gibson memprediksi akan lebih parah lagi banjirnya. Namun begitu, mantan Kepala Bidang Sumber Daya Air dan Drainase ini mengatakan, menunggu sungai-sungai tadi selesai dibenahi oleh yang berwenang, dalam hal ini Balai Wilayah Sungai Sumatera II Medan, Kementerian Pekerjaan Umum.
“Begitu BWS II Medan selesai menangani sungai ini, punya kita sudah aman. Cuma kita tidak serta merta juga membilang, oh ini karena BWS wilayahnya luas, bukan Medan ini mereka pikirkan,” tutur Gibson.
Menurut dia, hanya menunggu sungai tadi beres. Balai Wilayah Sungai sudah punya perencanaan yang cukup besar, yaitu memangun bendungan Lau Simeme.
Ada 3 sungai induk yang paling besar melintas di Kota Medan, Sungai Belawan, di tengah ada Sungai Deli, dan Sungai Percut. Antara Sungai Deli dan Sungai Percut ada konektivitasnya, yang dibilang kanal, namun terusan air yang dibuat pada tahun 2008 itu masih kosong.
Banyak yang beranggapan pembangunan itu salah karena tidak pernah berisi. Kata Gibson, itu bukan salah, hanya belum difungsikan. Menunggu bendungan Lau Simeme selesai. Bila itu difungsikan sekarang, air dari Sungai Deli langsung dibuang ke Sungai Percut, maka hilirnya semua bisa banjir, karena air dari hulu belum terserap oleh bendungan Lau Simeme.
“Kita hanya mengandalkan sungai. Sungai ini menjadi patokan kita. BWS sudah buat contoh, bangunannya. Itu lah acuan kita,” ujarnya.
Gibson juga menyebutkan bahwa banjir di Kota Medan sangat bisa diatasi. Kewenangan antara Balai Wilayah Sungai, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Kota Medan, ini sudah bagus semua, tambah lagi masyarakatnya tidak ada lagi yang sampah, sudah teratur, kenapa enggak bisa. Satu lagu, Pemerintah harus lebih ketat soal pengawasan pembangunan properti, perumahan, dibangun bisa tapi jangan menyusahkan orang lain.
Pengamat lingkungan dari Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara (USU), Jaya Arjuna, mengatakan masalah utamanya dinilai justru terletak pada Pemerintah.
“Enggak sulit, penanganan banjir di Kampung Aur. Sekarang pemerintah mau enggak, pemerintah enggak punya niat untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Tidak ada masalah itu, secara teknis gampang dikerjakan,” kata Arjuna.
Banyak anggaran dipakai untuk yang tidak berguna. Dia menyebut, pemerintah enggak peduli, enggak mau tahu. Arjuna bahkan sudah pernah menawarkan untuk merombak penataan Sungai Deli, mulai dari Jalan Mangkubumi hingga ke Jalan Juanda, tetapi tidak mau.
“Kalau mau bisa dikerjakan, namun Pemerintah Provinsi enggak peduli, Pemerintah Kota juga enggak peduli. Secara teknis sangat mudah, enggak perlu waktu lama, paling satu tahun. Kalau dikerjakan betul-betul, apalagi teknologi sudah ada, peralatan ada, anggaran bisa diminta, tinggal keseriusan Pemerintah mau mikir atau tidak. Itu saja,” tegas Jaya Arjuna.
Sebelumnya, kata Arjuna, Pemerintah pernah berencana ingin mengerjakannya, hanya saja tidak didukung masyarakat, karena merasa khawatir digusur, dan curiga. Ihwal kekhawatiran itu dari ketidakterbukaan. Misalnya, ke mana dipindahkan sampai bagaimana kepemilikannya.
Jadi menurut dia, perencanaan harus dilakukan transparan, tanpa harus merugikan masyarakat. Arjuna menambahkan, pendangkalan jadi penyebab banjir. Seluruh badan air di Kota Medan, seperti Sungai Babura, Sungai Deli, Sungai Belawan, terjadi pendangkalan akibat sedimen dan tidak ada usaha Pemerintah untuk itu.
Angan-angan untuk mengakhiri langganan banjir di Kota Medan semakin kuat terdengar ketika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah dekat. Calon-calon pemimpin daerah mulai menebar janji-janji politik saat menemui konstituennya. Mengatasi banjir salah satu komoditas politik yang tidak pernah tertinggal.
Dzulmi Eldin, misalnya, berjanji akan meminta Balai Wilayah Sumatera (BWS) Medan II untuk melakukan pengerukan atau memperdalam aliran sungai yang ada di tengah Kota Medan.
Rahudman Harahap juga tidak jauh berbeda, berjanji menyelesaikan persoalan banjir yang terus menerus melanda warga. Begitu juga Bobby Nasution, berjanji akan menyelesaikan persoalan banjir di Kota Medan dalam dalam 2 tahun.
Setelah 2 tahun lebih, Bobby juga belum bisa mengatasi banjir. Sampai saat ini, dia baru membangun 3 kolam retensi, 2 diantaranya sudah selesai, yaitu di Martubung dan kompleks Universitas Sumatera Utara, dan 1 lagi di Selayang dalam proses pembangunan.
Kemudian, masih ada 7 kolam retensi lagi yang sudah diprogramkan, desain sudah ada, tinggal menunggu pembebasan lahan. Menurut Gibson, kolam retensi ini untuk mengatasi genangan yang banjir di Kota medan.
“Kenapa itu perlu, karena kita tidak bisa menutup kemungkinan, pembangunan ke depan makin maju, penduduk akan semakin banyak, lahan kosong akan dibangun, kalau kita berharap dengan drainase saat ini, sekarang aja sudah mau melimpah, apalagi nanti lahan-lahan kosong dibangun rumah, tangkapan air nya kan berkurang,” tambah Gibson.
Akan tetapi, upaya itu hingga kini belum menunjukkan hasil maksimal. Banjir masih terus menjadi momok bagi masyarakat.
Namun ironisnya lagi, alih-alih mengatasi banjir sesuai dengan janji kampanye, banyak Wali Kota Medan justru kesandung korupsi.
Pengendara mendorong sepeda motornya yang mogok akibat banjir di Jalan Sei Batang Hari, Medan, Jumat (29/9/2023) lalu. Hujan deras mengguyur Kota Medan menyebabkan sejumlah ruas jalan terendam banjir (Cristison Sondang Pane)
Tersandung korupsi
Diantaranya Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan, Abdillah dan Ramli. Abdillah dijerat 2 kasus, pengadaan mobil pemadam kebakaran pada 2005 dan penyalahgunaan APBD Pemerintah Kota Medan 2002-2006. Dia bebas 2010. Ramli divonis 4 tahun penjara.
Dia terbukti melakukan tindakan korupsi atas pengadaan kendaraan pemadam kebakaran merek Morita senilai Rp 1 miliar, dan menyelewengkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Medan periode 2002-2006 senilai Rp 5,9 miliar.
Rahudman Harahap (2010-2015). Dia terbukti menggunakan Dana Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintahan Desa Kabupaten Tapanuli Selatan 2005 sebesar Rp 1,5 miliar untuk kepentingan pribadi. Rahudman dihukum 5 tahun penjara dalam kasus ini. Dia bebas pada Mei 2021.
Terakhir, Dzulmi Eldin (2013-2015, 2016-2019) divonis penjara karena terjerat kasus korupsi menerima suap dari para Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD)/Pejabat Eselon II Pemko Medan dengan total Rp 2,155 miliar. Eldin terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019.
Dijatuhi hukuman 6 tahun penjara, denda Rp 500 juta, subsider 4 bulan kurungan. Selain itu dalam sidang pembacaan vonis pada 11 Juni 2020, dia juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun. Dia bebas Februari 2023.
Artikel ini diproduksi dalam kerangka proyek UNESCO Social Media 4 Peace, yang didanai oleh Uni Eropa. Hasil liputan jurnalistik ini menjadi tanggung jawab penerbit, tidak mencerminkan pandangan UNESCO atau Uni Eropa.(CSP/RZD)