Apakah Mpox Penyakit Menular Seksual? Ini Jawaban Praktisi Kesehatan di Medan (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Anggapan apakah mpox sebagai penyakit menular seksual (PMS) masih jadi perdebatan alot di kalangan ilmuwan. Terkait itu dr Jimi Wihono, seorang praktisi kesehatan di Klinik Hidup Baru di Medan, memaparkannya kepada media.
Dalam jurnal "Clinical Infectious Diseases" yang terbit pada Desember 2023, para peneliti menemukan sejumlah bukti solid dan meyakinkan dan berkesimpulan bahwa mpox adalah penyakit menular seksual.
"Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa penularan seksual adalah cara penularan yang dominan untuk virus mpox. Oleh karena itu, kami menyimpulkan bahwa mpox adalah penyakit menular seksual. Memberi label seperti itu akan membantu memfokuskan penangangan kesehatan masyarakat, seperti vaksinasi, pengujian, dan pengobatan, serta memfasilitasi program kesadaran dan pendidikan yang terfokus pada modifikasi perilaku untuk mengurangi paparan," tulis peneliti itu.
Penelitian itu berlandaskan pada beberapa temuan, yakni hubungan temporal antara aktivitas seksual dan mpox, relasi antara praktik seksual tertentu dan lokasi perkembangan lesi, frekuensi tinggi praktik seksual yang menimbulkan risiko infeksi menular seksual lainnya di antara kasus mpox, virus mpox dapat diisolasi dari cairan seksual, virus yang diisolasi bersifat menular, dan frekuensi tinggi lesi anogenital sebelum penyebaran penyakit yang menunjukkan inokulasi langsung selama aktivitas seksual.
Ini Pendapat dr Jimi Wihono, Praktisi kesehatan di Medan
Menanggapi hal tersebut, dr Jimi Wihono, praktisi kesehatan di Medan mengaku memang hingga saat ini memang belum ada konsensus dunia yang konklusif yang menilai bahwa mpox masuk dalam kategori penyakit menular seksual. Dunia, termasuk WHO belum mengarah ke wacana tersebut.
"Soal mpox sebagai penyakit menular seksual, memang belum konklusif secara umum. Kalaupun ada kesimpulan semacam itu, hanya terbatas pada penelitian ilmiah di kalangan ilmuwan yang tetap harus dihormati hasilnya. Namun demikian yang terpenting adalah bagaimana publik dan pemerintah bekerjasama untuk mencegah penularan yang lebih luas. Lihat saja kasus di Australia angka kasusnya melonjak 570 persen sejak Juli hingga September 2024. Sedangkan di Indonesia memang lebih sedikit, hanya 88 kasus menurut data dari Kemenkes. Namun, kita tetap harus waspada," ujarnya kepada awak media belum lama ini di Klinik Kesehatan Hidup Baru di Jalan Gaharu No. 12 Medan.
dr Jimi Wihono menambahkan, sejauh ini dari beberapa kasus sejak mpox merebak, sebagian besar kasus yang teridentifikasi melibatkan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.
WHO sendiri menemukan lesi dampak mpox muncul di area kelamin atau di sekitar anus, selain di wajah, tangan, dan kaki. Lesi ini juga bisa muncul di dalam mulut, tenggorokan, rektum, vagina, atau bahkan mata. Jumlah lesi ini bisa bervariasi, mulai dari satu hingga ribuan. Beberapa penderita bahkan mengalami peradangan di rektum yang menyebabkan rasa sakit hebat, atau peradangan pada alat kelamin yang membuat buang air kecil menjadi sulit.
"Pada dasarnya siapa pun yang memiliki kontak erat dengan seseorang yang terinfeksi mpox bisa berisiko tertular, karena penyakit ini menular melalui kontak fisik yang dekat seperti kontak kulit ke kulit atau mulut ke kulit, di mana kontak seksual termasuk di dalamnya. Namun demikian ini tidak eksklusif pada aktivitas seksual itu sendiri," tuturnya.
Ia juga menyoroti pentingnya menjaga perilaku seksual yang aman, terutama di kalangan kelompok yang lebih rentan.
"Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), termasuk seks yang aman, adalah langkah pencegahan yang sangat penting," katanya. Penggunaan alat pelindung diri seperti kondom mungkin dapat mengurangi penyebaran mpox, tetapi tidak dapat menjamin 100 persen. Tetapi yang pasti, mengurangi kontak fisik dengan individu yang menunjukkan gejala dapat membantu menekan penyebaran virus,” tuturnya.
Dr Jimi juga mengingatkan bahwa kesadaran mengenai risiko penularan melalui kontak erat sangat penting, terutama bagi mereka yang aktif secara seksual.
"Jika ada gejala seperti ruam atau demam, segera periksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat," tambahnya, sembari menekankan bahwa petugas medis harus diinformasikan terlebih dahulu untuk mempersiapkan perlindungan yang sesuai.
Gejala umum mpox meliputi ruam yang dapat berlangsung selama 2 hingga 4 minggu. Ruam ini sering muncul bersamaan dengan gejala lain seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri punggung, lemah, dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Untuk meredakan gejala, dr Jimi menyarankan penggunaan obat pereda nyeri seperti paracetamol atau ibuprofen, berkumur dengan air garam untuk luka di mulut, serta mandi dengan air hangat yang dicampur soda kue atau garam Epsom untuk membantu penyembuhan luka pada tubuh.
Selain itu, ia menegaskan bahwa diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami dampak mpox pada kehamilan, karena terkait dengan kategori seksual.
"Penularan mpox selama kehamilan dapat berisiko serius bagi janin, baik selama kehamilan, persalinan, maupun menyusui," jelasnya, sambil mengingatkan ibu hamil untuk lebih waspada dan segera mencari perawatan medis jika terpapar atau menunjukkan gejala.
Dr Jimi menekankan bahwa perilaku pencegahan yang tepat harus diterapkan oleh semua pihak, bukan hanya kelompok tertentu.
"Dengan meningkatnya kasus mpox di beberapa negara, langkah pencegahan yang tepat adalah kunci untuk menghentikan penyebaran virus ini secara efektif," tutupnya
(REL/RZD)