Food Estate: Solusi Ketahanan Pangan atau Ancaman Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat?

Food Estate: Solusi Ketahanan Pangan atau Ancaman Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat?
Ilustrasi Food Estate. (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Tasya Sihombing, Jovan Gregorius Naibaho dan Nofita Widya Pratama*

PROYEK food estate adalah sebuah proyek jangka panjang pemerintah Indonesia yang berguna untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri. Proyek food estate ini memiliki konsep pengembangan pangan yang di lakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, peternakan dalam suatu kawasan tertentu. Sektor pertanian di Indonesia sangat penting mengingat peranannya dalam memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk tersebut, bila tidak dibarengi dengan kenaikan produksi pangan, maka akan terjadi persoalan penyediaan kebutuhan pangan penduduknya di masa mendatang.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyatakan bahwa, “Ketahanan Pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik dari segi jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 Pasal 3 Ayat (2) Butir M dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Pasal 7 Ayat (2) butirnya M mengamanatkan bahwa, “Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota berkewajiban mempertanggung jawabkan urusan Ketahanan Pangan. Berkaitan dengan hal tersebut, saat ini Pemerintah melalui Bapak Presiden Joko Widodo mencanangkan sebuah proyek dalam rangka menyangga Ketahanan Pangan Nasional yang di namakan food estate.

Food estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang di lakukan secara terintegrasi (mencakup pertanian, peternakan dan perkebunan) dalam suatu kawasan lahan yang sangat luas. Hal ini bermula dari kegiatan ekonomi yang terganggu seperti kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi bahan pangan. Sehingga menjadikan bahan pangan terbatas atau berhenti sama sekali. Kondisi ini disebabkan oleh Penyebaran Covid-19 tahun 2020 sehingga ketersediaan, akses, pemanfaatan dan stabilitas bahan pangan masyarakat terganggu terlebih ketika pada tanggal 31 Maret tahun 2020 Presiden Joko Widodo memutuskan menerapkan penerapan sosial berskala besar (PSBB) guna menghentikan penyebaran wabah COVID-19. Namun manfaat PSBB juga dibarengi dengan munculnya dampak ikutan berupa terganggunya perputaran roda perekonomian. Hal ini terjadi karena selama masa PSBB, ruang gerak dan mobilitas masyarakat dibatasi. Penerapan protokol kesehatan berupa pembatasan jarak fisik membuat kegiatan ekonomi baik proses produksi, distribusi, dan konsumsi berdampak buruk. Salah satu rantai kegiatan ekonomi yang terdampak serius adalah komoditas pangan.

Proyek food estate ini dibuat untuk mengantisipasi krisis pangan seperti prediksi Badan Pangan Dunia (FAO) dengan menjadikannya sebagai pusat pertanian pangan untuk cadangan logistik strategi bagi pertahanan negara. Food estate sudah merupakan salah satu Proyek Strategi Nasional 2020-2024 yang bertujuan membangun lumpung pangan nasional. Nantinya, food estate akan menjadi upaya pemerintah RI untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan sebagai dampak pandemi Covid-19.

Janji Besar Food Estate

Proyek food estate ini dibuat untuk mengantisipasi krisis pangan seperti prediksi Badan Pangan Dunia (FAO) dengan menjadikannya sebagai pusat pertanian pangan untuk cadangan logistik strategi bagi pertahanan negara. Proyek tersebut akan menjadi salah satu Proyek Strategi Nasional (PSN) 2020-2024 dan diharapkan mampu menjadi salah satu pilar penyangga ketahanan pangan nasional, termasuk guna berkontribusi terhadap stabilitas ekonomi, politik dan keamanan nasional.

Proyek food estate ini memiliki konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup tanaman hortikultura pangan, perkebunan, bahkan peternakan dalam suatu kawasan tertentu yang sangat luas. Proyek ini dilakukan atas kerjasama Kementerian Pertanian dengan Pemerintah Daerah di beberapa kabupaten di Indonesia. Hasil dari pengembangan konsep food estate dapat menjadi ketahanan pangan nasional dan jika berlebihan dapat dilakukan ekspor (Cahyono, 2009).

Alasan mengapa Food estate dikembangkan adalah Pertama, melonjaknya permintaan pangan dunia sebanding dengan pertumbuhan penduduk. Kedua, pasokan pangan dunia yang tidak sebanding dengan permintaan ( Krisis Pangan Global ). Ketiga, dengan semakin tingginya laju alih fungsi lahan pertanian (khususnya di Pulau Jawa dan Bali) dan kebutuhan pangan nasional yang semakin meningkat, sehingga pangan menjadi strategi komoditas. Keempat, arus keluar devisa negara untuk membiayai impor beberapa komoditas pangan. Kelima, ketersediaan lahan potensial sebagai lahan cadangan pangan yang cukup luas (Khususnya di luar Pulau Jawa dan Bali) namun belum tergarap secara optimal, dan membutuhkan modal investasi yang cukup besar, di sisi dana lain pemerintah terbatas, sehingga perlunya peran investor dalam pengembangan food estate, dengan tahap memperhatikan/melindungi kepentingan masyarakat setempat (Badan Litbang Pertanian, 2011).

Manfaat pembangunan food estate yaitu pertama, meningkatkan nilai tambah produksi sektor pertanian lokal. Kedua, meningkatkan penyerapan energi kerja pertanian (mencapai 34,4%). Ketiga, petani dapat mengembangkan usaha pertanian berskala luas. Keempat, terintegrasinya sistem produksi, pengolahan dan perdagangan. Terbukanya potensi ekspor pangan ke negara lain, harga pangan menjadi murah akibat produksi pangan berlimpah (Anonim, 2021). Pemerintah Pusat juga merencanakan peningkatan penanganan pascapanen dan berupaya mewujudkan pertanian modern agar tidak kalah dengan pertanian di Pulau Jawa.

Realita di Lapangan

Presiden Joko Widodo ingin merealisasikan proyek food estate untuk meningkatkan kedaulatan pangan nasional dan mengantisipasi krisis pangan. Proyek ini juga menawarkan kesempatan baru bagi lapangan pekerjaan. Pengembangan food estate menggunakan konsep pertanian sebagai sistem industri yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), modal, organisasi, dan manajemen modern (Nasution dan Ollani, 2020). Namun, kebutuhan besar anggaran untuk proyek ini membuka kesempatan kerjasama investasi dengan pihak swasta, yang kemungkinan besar akan didominasi oleh investor asing. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat merasa tidak berhak atas kepemilikian lahan di tanah air mereka, karena proyek ini membebankan anggaran APBN.

Masalah anggaran adalah salah satu contoh kontra dan problema yang dihadapi dalam pelaksanaan proyek food estate. Selain itu, kita juga menghadapi krisis iklim dan ekologi. Oleh karena itu, pertanyaan yang muncul adalah apakah pelaksanaan proyek food estate mampu dilaksanakan berdasarkan asas keberlanjutan yang seimbang antara biologi, ekologi, kemanusiaan, dan ekonomi? Faktanya, beberapa kegiatan food estate telah mengalami konflik di masyarakat.

Para petani merasa dirugikan karena perubahan tata cara penanaman yang diberlakukan oleh pemerintah. Selain itu, modernisasi pertanian yang dihasilkan dari kerjasama antara pemerintah, korporasi, dan petani lebih condong pada korporasi yang menekan para petani dan membuat mereka semakin tidak sejahtera (Kamim dan Reza, 2019). Ditambah lagi, pelaksanaan food estate tidak benar-benar dilakukan di lahan yang sesuai dengan komoditas yang ditanam, sehingga hasil panen tidak maksimal.

Selain masalah anggaran, proyek food estate juga menimbulkan problem atas kepemilikan tanah masyarakat adat di Kabupaten Humbang Hasundutan. Hal ini bermula pada tahun 2020, dimana wilayah adat mereka ditetapkan secara sepihak sebagai kawasan food estate. Mereka diharuskan menanami tanaman yang ditetapkan oleh korporasi pangan, yang tidak sesuai dengan komposisi tanah dan merusak bentang alam mereka. Perampasan tanah ini tidak hanya menambah konflik agrarian saja, melainkan juga mencakup pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM); dikarenakan mereka yang menolak proyek food estate dan mempertahankan lahannya akan terus diintimidasi, bahkan parahnya didiskriminasi. Proyek ini juga merusak nilai adat dan relasi sosial, serta budaya masyarakat adat di wilayah tersebut.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proyek food estate masih menghadapi banyak tantangan, termasuk konflik masyarakat, masalah anggaran, dan tidak efektifnya penggunaan lahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi yang lebih mendalam dan perencanaan yang matang untuk memastikan proyek food estate mencapai tujuan utamanya dan memberikan dampak positif bagi ketahanan pangan nasional.

Dampak Proyek Food estate

Food estate, proyek mulia pemerintah yang berangan-angan untuk mengatasi ancaman krisis pangan selama masa pandemi Covid-19 tampaknya hanya narasi belaka. Alih-alih meningkatkan ketahanan pangan dan meningkatkan produksi dalam negeri, proyek food estate di Humbang Hasundutan ternyata menimbulkan beberapa polemik terhadap lingkungan serta masyarakat adat. Adapun beberapa dampak yang timbul akibat mangkraknya proyek food estate di Humbang Hasundutan adalah sebagai berikut:

  1. Perubahan Tata Guna Lahan mengakibatkan pembangunan food estate mengalih- fungsikan lahan yang dulunya hutan atau lahan gambut menjadi area pertanian. Dalam konteks hukum lingkungan, perubahan ini dapat mempengaruhi ekosistem alami, menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, serta meningkatkan resiko erosi tanah dan penurunan kualitas air. Hal ini bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur perlunya studi lingkungan, seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sebelum perubahan penggunaan lahan dilakukan.

  2. Perlindungan Hutan dan Gambut: Di beberapa wilayah, food estate dibangun di atas lahan yang merupakan kawasan hutan atau lahan gambut yang dilindungi. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut mengatur perlindungan kawasan ini. Jika food estate merambah kawasan hutan lindung atau gambut tanpa izin yang sah, maka hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum.

  3. Dampak Sosial-Lingkungan: Proyek food estate berpotensi mengubah pola hidup masyarakat adat atau lokal yang bergantung pada hutan dan ekosistem setempat. Dari segi hukum, Pasal 18B UUD 1945 serta UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengatur pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat. Jika hak-hak masyarakat lokal diabaikan, proyek tersebut bisa melanggar ketentuan hukum terkait.

Penutup

Proyek food estate yang tadinya diharapkan menjadi solusi ketahanan pangan, ternyata hanya angan-angan yang harus dikubur dalam-dalam. Pasalnya, proyek ini malah menjadi boomerang bagi lingkungan dan masyarakat adat di wilayah Humbang Hasundutan. Kegagalan proyek food estate ini pula mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam mewujudkan janji-janjinya kepada masyarakat meskipun sudah dengan semena-mena menjadikan tanah adat sebagai kawasan proyek ini. Maka sebaiknya, sebelum menetapkan suatu kebijakan, pemerintah haruslah memperhatikan peraturan-peraturan yang berlaku dalam hukum lingkungan Indonesia serta bersesuaian dengan ketentuan hukum adat masyarakat sekitar sehingga dapat membuat keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan pangan dan perlindungan lingkungan untuk menghindari kerusakan lingkungan jangka panjang dan dampak hukum yang merugikan.

*Penulis adalah mahasiswa Universitas Sumatera Utara.

(DEL)

Baca Juga

Rekomendasi