Jumono (44), seorang disabilitas saat melakukan service sepeda motor milik pelanggannya di Bengkel dan Doorsmeer Disabilitas yang ada di Rumah Kreatif Aceh Tamiang, Senin (21/10/2024) (Analisa/Qodrat Al Qadri)
Menjadikan mereka yang sempurna untuk mandiri adalah tantangan yang sulit. Konon lagi memandirikan mereka yang memiliki keterbatasan. Di tengah tantangan ini, Pertamina bergerak cepat memberi sentuhan di daerah yang menjadi penyumbang angka disabilitas cukup tinggi.
Analisadaily.com, Medan - Matahari Aceh Tamiang, Senin (21/10/2024) begitu garang. Membuat keringat Mariono (40) terus bercucuran. Ditemani suara kipas angin dan hiruk pikuk kendaraan yang melintas, Mariono dengan cekatan merangkai baut dan mur pada salah satu mesin sepeda motor. Meski kaki kirinya terbatas dalam gerakan, tangan Mariono terlihat begitu lincah bergerak di antara alat-alat bengkel.
Bagi Mariono, ini tahun keempatnya bekerja di Bengkel dan Doorsmeer Disabilitas yang terletak di Jalan Ir H Juanda, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Sebelumnya, ia bekerja serabutan. Kadang dipanggil untuk mengorek parit, kadang ikut membabat rumput dan terkadang pula ikut memanen di kebun sawit. Bayarannya juga harian. Bahkan kadang bekerja, kadang juga menjadi pengangguran.
Kondisi ini ia rasakan berpuluh tahun. Terlebih ketika ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa virus telah menyerang tubuh kecilnya dan merenggut kemampuan ia untuk berjalan seperti anak-anak lainnya. Pada awalnya, hidup pria bersuku Jawa ini penuh keceriaan, namun saat ia berusia 6 tahun, polio merusak saraf motoriknya dan menyebabkan kedua kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya.
Di usia belia, Mariono mengalami perubahan drastis dalam hidupnya. Polio tidak hanya membatasi gerak fisiknya, tetapi juga membuatnya merasa terasing dari teman-teman sebayanya. Termasuk terasing dalam mendapatkan pekerjaan. Hampir tak ada perusahaan di Aceh Tamiang yang membuka lowongan pekerjaan untuk para disabilitas. Ia merasa jadi kaum yang betul-betul dibedakan.
Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang membuat ia tetap semangat. Mereka adalah istri dan keluarganya. “Hanya keluarga yang buat saya bertahan hidup,” ujar pria kelahiran 20 Februari 1994 tersebut.
Keluarganyalah yang membuat ia tak pernah mengenal lelah dalam bekerja meski memiliki keterbatasan. Selain istri dan keluarga, Mariono juga mendapatkan semangat dari teman-teman disabilitas lainnya yang sekarang bekerja dengannya di Bengkel dan Doorsmeer Disabilitas pada Rumah Kreatif Aceh Tamiang. Di bengkel ini ia punya harapan hidup. Waktu bekerjanya juga lebih teratur. Pergi pukul 08.00 WIB, pulang pukul 18.00 WIB. Penghasilannya pun lebih lumayan daripada ia harus bekerja secara serabutan. Paling sedikit sekarang ia bisa membawa pulang Rp3 juta dalam sebulan.
Mariono (40), seorang disabilitas yang cacat fisik sejak kecil sedang duduk di atas kursi untuk beristirahat. Mariono merupakan salah satu mekanik di Bengkel dan Doorsmeer Disabilitas yang ada di Rumah Kreatif Aceh Tamiang. (Analisa/qodrat al qadri)
Di bengkel ini, bukan hanya Mariono yang merasa hidupnya kembali punya harapan, tapi di bengkel ini pula ada puluhan disabilitas lain yang kembali punya harapan hidup. Termasuk juga Jumono (44). Lelaki berdarah Gayo ini rela meninggalkan keluarganya untuk merantau demi melanjutkan asa di Bengkel Disabilitas. Di bengkel ini, ia belajar untuk lebih mandiri dan menjadi pejuang untuk istri dan tiga anaknya.
“Kampung saya dua jam dari sini. Mau tidak mau pulang ke rumah itu seminggu sekali baru ketemu anak dan istri. Beginilah mencari nafkah itu,” kata warga Desa Rongo Kecamatan Tamiang Hulu tersebut.
Sebagai disabilitas yang menempuh pendidikan sampai tingkat SD, sudah tentu, Jumono juga sulit mendapatkan pekerjaan. Ia merasa beruntung ketika PT Pertamina EP Rantau Field Zona 1 Regional Sumatera mengajaknya untuk mendapatkan pelatihan menjadi mekanik di 2021 lalu.
Sebelum mendapat sentuhan dari program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina, Jumono juga bekerja secara serabutan. Dari bekerja secara serabutan itulah mengakibatkan kaki kanannya harus diamputasi di usianya 18 tahun. “Ini kakiku ketimpah kayu di kebun sawit, makanya jadi cacat,” ujar pria kelahiran Juli 1981 tersebut.
Dari kejadian itu, ia dua tahun tidak bekerja dan beristirahat total karena kaki palsunya belum terpasang. Ia sedih dan terpukul melihat anak dan istrinya mengalami kesusahan. Apalagi saat itu anaknya baru lahir. Mau makan saja susah, konon lagi untuk membeli keperluan lainnya. Dengan kondisinya yang seperti itu, ia harus merepotkan keluarganya. Meski dalam kondisi yang terbatas, bukan berarti juga Jumono harus menjadi peminta-minta. Jumono tak mau dikasihani. Ia punya tekad tetap harus bekerja meski fisiknya tak sempurna.
Dua tahun berlalu, Jumono akhirnya bisa bangkit dari keterpurukannya. Ia kembali menjadi pejuang bagi keluarganya. Kerja serabutan kembali ia jalani hingga akhirnya ia merasa nyaman menjadi mekanik di Bengkel dan Doorsmeer Disabilitas. Dari sini ia bisa mengirim uang untuk anak dan istrinya. Paling tidak kebutuhan makan mereka juga sudah tercukupi.
Meski ia hanya tamatan SD, ia tak ingin anak-anaknya bernasib sama dengannya. Keringatnya terbayar ketika melihat anak pertamanya saat ini sudah duduk di bangku kuliah. Perih kehidupan yang ia rasakan karena tak mendapat pendidikan yang maksimal, kini tak dirasakan anaknnya. Ia ubah semua itu berkat kerja kerasanya. “Anakku sekarang kuliah di Aceh. Uang dari bengkel ini cukuplah ditabung. Ini tempat kerja yang paling nyaman yang saya temukan. Terima kasih Pertamina,” katanya.
Mandiri
Saat ini, ada mimpi Jumono yang belum terwujud. Ia berkeinginan seperti tiga teman-teman disabilitas lainnya yang sekarang sudah mandiri membuka bengkel di rumahnya sendiri. Bagi ia Bengkel Disabilitas mencetak mereka yang memiliki keterbatasan untuk menjadi berdaya dan mandiri.
Saat ini, Bengkel Disabilitas ini juga sudah terbilang mandiri. Pendapatan dari bengkel bisa menutupi upah lima orang disabilitas yang menggantungkan hidupnya di bengkel ini. Omset perbulan yang mereka peroleh bisa membeli sparepart, keperluan bengkel dan lain sebagainya.
Muhammad Yasir, salah seorang tuna rungu yang bekerja sebagai barista di Inklusi Coffee pada Rumah Kreatif Aceh Tamiang. Pada Senin (21/10/2024) siang, Yasir sedang tampak membuatkan pesanan coffee pelanggannya. (analisa/qodrat al qadri)
Kondisi ini jauh sekali berbeda jika dibandingkan awal pendirian bengkel. Jatuh bangun pun sempat mereka rasakan. Saat pelanggan sunyi maupun ramai semua sudah dilewati. Bahkan ketika ditinggal teman terbaik mereka sesama disabilitas yang meninggal dunia karena sakit. Di awal-awal buka, sempat ada keraguan dari para pelanggan yang datang karena para mekaniknya semua disabilitas. Namun keraguan pelanggan itu mereka patahkan dengan membuktikan bahwa mereka bisa menjadi mekanik yang profesional. Keterbatasan mereka adalah kekuatan bagi mereka.
“Awalnya saya ragu. Tapi sekarang kalau mau servis motor, ke sini terus. Mereka bisa membuktikan kalau mereka bisa bekerja, bukan menjadi kaum yang minta-minta karena keterbatasannya tersebut. Mereka tidak berlindung di balik kelemahannya,” ujar Halim, seorang pelanggan yang merupakan warga Kabupaten Aceh Tamiang.
Inklusi Coffee
Kemandirian disabilitas ini bukan hanya ditunjukkan dari mereka yang bekerja di Bengkel Disabilitas saja, kemandirian juga berhasil ditunjukkan oleh para penyandang disabilitas lainnya yang ada di Inklusi Coffee yang letaknya bersebelahan langsung dengan Bengkel Disabilitas tersebut. Kalau Bengkel Disabilitas hadir di tahun 2021, Inklusi Coffee hadir pada tahun 2022 dengan konsep yang sangat unik. Desain bangunannya sangat kekinian. Tidak kalah saing dengan desain warung kopi yang saat ini begitu trend di anak muda.
Selain desain, Inklusi Coffee juga ramah dengan disabilitas. Ini yang membuat mereka lebih terdepan dibandingkan warung kopi Aceh pada umumnya di Aceh Tamiang. Di Inklusi Coffee terdapat jalur guiding block untuk membantu para tuna netra.
Ada juga ramp untuk akses jalan kursi roda serta barcode menu yang memudahkan pelanggan berkomunikasi dengan karyawan maupun barista dari Inklusi Coffee. Seluruh karyawan di Inklusi Coffee, mulai dari barista, waiters hingga chief nya merupakan penyandang tuna rungu. Kafe ini hanya dibantu satu orang manager yang bukan dari disabilitas. Sementara sisanya adalah tuna rungu.
Muhammad Yasir (31), adalah satu dari tiga penyandang tuna rungu yang bekerja di Inklusi Coffee. Yasir bertindak sebagai barista di kafe tersebut. Pelatihan menjadi barista ia dapat di tahun 2022. Pelatihan ini merupakan pelatihan dari program CSR Pertamina EP Rantau Field Zona 1. Ia dilatih menjadi barista di salah satu warung kopi yang cukup besar di Aceh. Beberapa minggu mendapat pelatihan, Yasir akhirnya bisa menjadi seorang tuna rungu yang berprofesi sebagai barista. Sekarang ia begitu lincah dalam meracik kopi.
Sebelum menjadi seorang barista, ia bekerja sebagai petugas kebersihan di SLB Negeri Pembina Aceh Tamiang. Bahkan kerjaan itu ia geluti sampai sekarang. Dari pukul 08.00 WIB sampai pukul 13.00 WIB ia bekerja di SLB, sementara pukul 15.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB ia bekerja sebagai barista di Inklusi Coffee. Bagi Yasir, paling pantang menjadi seorang peminta-minta. Upahnya bekerja di dua tempat tersebut sudah sangat cukup untuk ia, dua anaknya dan istrinya yang juga merupakan tuna rungu. Dari bekerja di dua tempat ini, penghasilan Yasir bisa mencapai Rp4 juta dalam sebulan.
“Semuanya saya lakukan untuk istri dan anak saya,” tulis Yasir di atas kertas yang menjadi alat komunikasi dalam wawancara kepadanya.
Yasir berterima kasih kepada Pertamina yang telah memberikan harapan hidup kepada para tuna rungu dan disabilitas lainnya. Ia berharap besar disabilitas dan tuna rungu lainnya diberdayakan dan mendapatkan program yang sama. Bukan hanya Pertamina, ia juga berharap besar pada pemerintah dan perusahaan lainnya untuk melirik mereka yang terabaikan.
Suasana depan Rumah Kreatif Aceh Tamiang yang berada di Jalan Ir H Juanda, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Rumah Kreatif Aceh Tamiang ini merupakan rumah bagi disabilitas untuk berkarya, berdaya dan mandiri (analisa/qodrat Al Qadri)
Manager Inklusi Coffee, Rizky mengatakan bekerja dengan para tuna rungu banyak yang ia dapatkan, termasuk cara berkomunikasi dengan mereka. Cara ini pula yang ia tularkan kepada para pelanggan Inklusi Coffee setiap kali mereka duduk menikmati kopi racikan sang disabilitas. Sekarang sebutnya, Inklusi Coffee sangat mandiri. Lewat menjual berbagai varian minuman kopi dan makanan, Inklusi Coffee bisa mengaji para disabilitas termasuk dirinya. Di setiap weekend Inklusi Coffee selalu ramai. Dan uniknya, tamu yang datang bukan hanya mereka yang memiliki fisik normal dan anak-anak muda saja, melainkan juga mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Pemandangan yang amat jarang kita lihat di tempat-tempat nongkrong saat ini.
Berdayakan Lebih Banyak Disabilitas
Keberhasilan Bengkel Disabilitas dan Inklusi Coffee menjadi mandiri tersebut membuat PT Pertamina EP Rantau Field Zona 1 Regional Sumatera terus melakukan akselerasi untuk para penyandang disabilitas di Aceh Tamiang. Keseriusan Pertamina EP Rantau ini mengingat angka disabilitas di Kabupaten Aceh Tamiang yang cukup tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, angka penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Kabupaten Aceh Tamiang mencapai 12.128 jiwa terdiri atas 21 klasifikasi jenis PMKS. Salah satu penyumbang tertinggi dari PMKS tersebut adalah jenis kelompok disabilitas dengan jumlah 1.884 jiwa. Mereka merupakan tuna netra, tuna grahita, tuna rungu, tuna wicara dan lainnya.
Banyaknya jumlah penyandang disabilitas di Kabupaten Aceh Tamiang ini membuat mereka sesama penyandang disabilitas melahirkan satu yayasan yang bernama Yayasan Disabilitas Aceh Tamiang. Saat ini ada 3.000 penyandang disabilitas yang bergabung di yayasan tersebut. Jumlah ini belum bisa mengakomodir semua disabilitas yang ada di Kabupaten Aceh Tamiang.
“Yayasan kita sudah berdiri satu tahun. Saat ini anggotanya ada 3.000 orang. Kami sangat ingin yang 3.000 orang penyandang disabilitas di Aceh Tamiang ini diberdayakan, terutama mereka yang tuna netra,” ujar Ketua Yayasan Disabilitas Aceh Tamiang, Nasib.
Saat ini kata Nasib mereka yang tuna netra hanya bisa bekerja sebagai tukang pijit. Yayasan sangat ingin mereka dilibatkan di sektor lainnya. Bukan hanya itu, saat ini Yayasan Disabilitas Aceh Tamiang juga sedang menjajaki kerja sama dengan beberapa perusahaan. Karena mayoritas disabilitas yang bergabung tidak mendapatkan pekerjaan yang layak. “Sejauh ini hanya Pertamina yang melibatkan kita,” ucapnya.
Harusnya kata Nasib lebih banyak lagi perusahaan yang melirik mereka sebagai penyandang disabilitas. Apalagi dengan tingginya jumlah penyandang disabilitas di Kabupaten Aceh Tamiang. Ia mengapresiasi apa yang telah dilakukan PT Pertamina. Apresiasi yang sama juga didapatkan dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang lewat Kepala Dinas Sosial Kabupaten Aceh Tamiang, Zulfikar. Menurutnya, tanggungjawab sosial dari Pertamina hingga sejauh ini sangat membantu masyarakat Aceh Tamiang. Melalui program tanggung jawab sosialnya, Pertamina sudah banyak membantu disabilitas, sehingga mereka terus mengembangkan kreativitasnya untuk masyarakat luas.
Sementara itu, Comrel and CID Officer Zona 1, Nurseno Dwi Putranto mengatakan jauh sebelum mereka melahirkan Program Rumah Kreatif Tamiang, mereka melakukan penelitian lebih dulu. “Kita melakukan penelitian terlebih dahulu. Dan dari hasil penelitian kita bahwa saat 2021 itu angka penyandang disabilitas di Aceh Tamiang tertinggi kedua di Provinsi Aceh,” ujar Nurseno.
Dikatakannya bahwa Bengkel Disabilitas itu merupakan program CSR pertama yang mereka lakukan untuk disabilitas. Sekarang mereka sudah melakukan akselerasi. Selain Bengkel, 2022 lahir Inklusi Coffee yang keduanya merupakan bagian dari Program Rumah Kreatif Aceh Tamiang. Program ini hadir untuk memberdayakan dan meningkatkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat penyandang disabilitas yang tersebar di Kabupaten Aceh Tamiang.
Dalam pengembangan program Rumah Kreatif Aceh Tamiang ini, Pertamina bekerja sama dengan Dinas Sosial Kabupaten Aceh Tamiang, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Aceh Tamiang. Dinas Sosial Kabupaten Aceh Tamiang berperan sebagai institusi yang menaungi masyarakat penyandang disabilitas Kabupaten Aceh Tamiang.
Selain Bengkel Disabilitas dan Inklusi Coffee, Rumah Kreatif Aceh Tamiang juga mewadahi Galeri Oleh-oleh Ajang Ambe. Letaknya juga persis bersebelahan dengan Bengkel dan Doorsmeer Disabilitas serta Inklusi Coffee. Galeri ini merupakan projek pertama dari CSR Pertamina EP Rantau di Rumah Kreatif Aceh Tamiang. Galeri ini juga sudah mandiri. Di Galeri Ajang Ambe ini menjual berbagai macam produk UMKM seperti tas, kain tenun, aksesoris hingga produk makanan ringan dan kopi Aceh. Omset dari galeri ini juga tidak main-main yakni bisa mencapai Rp100 juta setiap tahun.
Rumah Limbah Difabel
Kepedulian PT Pertamina EP Rantau terhadap akselerasi para disabilitas juga berlanjut pada Rumah Limbah Difabel. Selain bengkel, kafe dan galeri oleh-oleh, Rumah Kreatif Tamiang juga memiliki sub-unit usaha Rumah Limbah Difabel. Rumah limbah ini merupakan tempat pengolahan minyak jelantah yang merupakan limbah rumah tangga. Di tempat ini, limbah diolah menjadi lilin aroma terapi dan sabun. Produk lilin dan aroma terapinya ini dipasarkan di Galeri Ajang Ambe.
Selain itu, PT Pertamina EP Rantau juga memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) pada Program Rumah Kreatif Tamiang tersebut. Sebagai bagian dari program Desa Energi Berdikari yang diresmikan beberapa waktu lalu, diharapkan PLTS yang berada di Rumah Kreatif Tamiang dapat meringkas beban operasional, terutama dalam penggunaan listrik para disabilitas. Sebagai informasi, Pertamina diberikan penugasan untuk memasang PLTS di 19 titik, salah satunya berlokasi di Rumah Kreatif Tamiang. “Jadi PLTS nya itu kelihatan dari sini. Tepat di lantai 2 Inklusi Coffee,” ujar Nurseno.
Program DIGDAYA
Terakhir yang menjadi program yang dikembangkan PT Pertamina EP Rantau di 2024 ini untuk mereka para disabilitas adalah Program Difabel Siaga Tanggap Bencana dan Berdaya (DIGDAYA). Program ini bertujuan meningkatkan kesiapsiagaan kelompok binaan menghadapi situasi darurat.
Mereka dilatih keterampilan dasar tanggap bencana, termasuk pertolongan pertama dan penggunaan alat pemadam api ringan. Pelatihan ini rencananya akan dibuat berkelanjutan. Ia juga memastikan bahwa program-program yang telah berjalan akan dilaksanakan hingga kelompok berada di tahap mandiri serta berdaya. Program untuk disabilitas ke depan juga masih dalam proses tahap perencanaan dan assement.
Nurseno juga menyebutkan bahwa dari program CSR yang telah dilakukan, Pertamina telah memberdayakan sedikitnya sudah ada 30 orang dari seluruh kelompok binaan CSR dan ada juga 150 siswa/siswi dari SLBN Pembina Aceh Tamiang yang juga turut diberdayakan.
Ia berharap Rumah Kreatif Tamiang menjadi wadah kreativitas bagi disabilitas untuk mengembangkan minat, bakat, dan perekonomian mereka. Menjadi ruang bagi kaum difabel, di mana mereka terlibat aktif dalam kegiatan sehari-hari di tengah masyarakat, sehingga mereka tak merasa beda dan terpinggirkan. Rumah Kreatif Tamiang juga diharapkan menjadi pionir program ramah difabel yang nantinya direplikasi di tempat lain. Dan yang terakhir Rumah Kreatif Tamiang diharapkan sebagai program yang menyentuh aspek ekonomi, hati, dan jiwa. Menyadarkan kita semua, bahwa mereka yang minoritas harus kita perhatikan. Karena kekurangan mereka bisa menjadi kekuatan dan energi untuk bangsa ini.
Penulis: Nirwansyah Sukartara
Editor: Bambang Riyanto