Komisi III DPR RI Dorong Ketentuan dan Batasan Restorative Justice dalam KUHAP Baru (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Mangihut Sinaga menegaskan perlu adanya penjelasan dan batasan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (KUHAP) terkait syarat dan ketentuan Restorative Justice (RJ).
Tujuannya supaya tidak bias dan tumpang tindih antara penegak hukum dalam penerapan pelaksanaan di lapangan. Hal ini dikatakan Anggota Komisi III Mangihut Sinaga dalam bincang tipis-tipis yang dipandu oleh host ternama Erman Tale Daulay, Kamis (5/12).
"Secara pribadi saya mendukung RJ ini dan memang sangat baik. Nah, yang celakanya karena ini terjadi di lapangan belum jelas ketentuan dan batasan dalam undang-undang, bisa-bisa saja perkara pembunuhan nanti di RJ kan, dengan alasan karena berdamai atau bagaimana. Maka inilah mestinya harus diatur oleh undang-undang, perkara mana yang boleh di RJ kan, apakah ancaman hukuman 5-4 tahun ke bawah atau pelanggaran-pelanggaran saja,” bebernya.
“Oleh karena itu, kebetulan saat ini saya di komisi III DPR RI akan mendorong status RJ ini pada undang-undang KUHAP yang baru nantinya. Sebab, RJ ini harus ada batasan terkait perkara apa saja yang bisa dibuat, supaya tidak bisa disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu di tubuh aparat penegak hukum serta intansi terkait lainnya,” sambungnya.
Apalagi menurut politisi Partai Golkar ini, sejauh ini status RJ yang diterapkan masih bola liar, maka supaya tidak liar perlu aturan limitatifnya, syarat- syaratnya apa saja, dan kasus yang bisa dilakukan RJ.
“Artinya inilah yang mau kita dorong dari komisi III DPR RI maupun Baleg, maupun nanti dengan pihak-pihak terkait. Supaya di KUHAP yang baru nanti RJ ini masuk, paling tidak Januari 2026 bisa diterapkan ketentuan dan undang-undangnya. Dengan harapan supaya tidak ada tabang pilih, atau diskriminasi, maka perlu adanya keseragaman termasuk versinya jaksa dan beda versihya polisi," pungkasnya.
Sebelumnya, Mangihut Sinaga Dapil Sumut III ini menguraikan bawah RJ dimulai di Belanda. Penyelesaian perkara di luar pengadilan. Di Belanda diatur dengan undangan-undangan, diatur dengan limitatif serta syarat-syarat apa. Jadi tidak semua perkara dibuat RJ ada aturan. Misalnya ancaman hukuman 4 tahun ke bawah, serta perkara ringan. Dan pelaksananya juga di Belanda itu adalah jaksa.
“Oleh karena itu, penjara tidak perlu banyak-banyak di sana dan tidak perlu sesak seperti di Indonesia. Hal ini terjadi karena apa, di Indonesia perkara kecil saja masuk penjara. Maka kalau di Belanda harus dihindari dan diselesaikan, dan itupun kalau berulang-ulang tidak boleh dan ada ukurannya di sana,” sebutnya.
Nah, lanjutnya, di Indonesia inilah yang diadopsi sekarang RJ diversi di undang-undang no 1 tahun 2023 ada RJ, tetapi ada juga Peraturan Jaksa Angung (Perjak) tetapi ada juga peraturan Kapolri (Perkap) ada juga Peraturan Gubernur (Pergub) ada juga dari kehakiman, semua membuat RJ.
Sehingga, polisi dengan jaksa membuat masing-masing sendiri. Sekarang karena tidak ada aturan yang jelas diatur oleh undang-undang, limitatifnya itu apa, inilah yang terjadi semacam diskriminasi.
“Pasti bedalah yang dibuat RJ oleh Kejaksaan maupun kepolisian. Maka ini sekarang, apalagi saya di dalam forum komisi III sudah terus berbicara RJ ini supaya agak diperjelas, diatur dalam KUHAP nanti, karena kita sekarang lagi menggodok KUHAP yang baru,” ungkapnya.
“Salah satu juga RJ ini diatur di dalam KUHAP dan tidak perlu dibuat undang-undang tersendiri lagi, tetapi di KUHAP dimasukkan lagi syarat-syarat limitatifnya apa, siapa pelaksananya,” pungkasnya.
(KAH/RZD)