OPINI

Kesehatan Mental Pekerja: Perlukah Perlindungan Hukum yang Lebih Kuat?

Kesehatan Mental Pekerja: Perlukah Perlindungan Hukum yang Lebih Kuat?
Ilustrasi. (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Raihana, Ratu Selina Iskandar dan Denis Dwi Maulana.*

MENINGKATNYA stres, burnout, dan gangguan kesehatan mental pekerja telah menjadi trend negatif di kalangan pekerja. Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI, definisi stres adalah reaksi seseorang baik secara fisik maupun emosional (mental/psikis) apabila ada perubahan dari lingkungan yang mengharuskan seseorang menyesuaikan diri. Burnout sendiri merupakan istilah dalam psikologi yang mengacu pada keadaan kelelahan bekerja atau stres kerja yang intens dan berkepanjangan. Sedangkan gangguan kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, serta kendali emosi yang pada akhirnya bisa mengarah pada perilaku buruk.

Pekerja yang mengalami stres dan gangguan kesehatan mental lainnya cenderung memiliki kinerja yang menurun, dengan peningkatan absensi dan penurunan keterlibatan dalam pekerjaan. Sebuah survei oleh International Labour Organization (ILO) menemukan bahwa lebih dari 60% pekerja di berbagai negara, termasuk Indonesia, mengalami peningkatan stres di tempat kerja. Situasi ini diperparah oleh pengaturan kerja jarak jauh yang sering kali menambah beban, karena pekerja merasa sulit memisahkan waktu kerja dan waktu pribadi, yang akhirnya menyebabkan kelelahan mental. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mencatat adanya peningkatan klaim untuk masalah kesehatan mental, yang juga mengindikasikan meningkatnya beban kerja yang tidak seimbang dan masalah mental di kalangan pekerja.

Seperti yang kita ketahui bahwa kesehatan mental cukup mempengaruhi produktivitas dalam bekerja. Namun sayangnya, mengelola kesehatan mental tidaklah semudah yang dikatakan. Maka dari itu, hukum ikut berperan dalam mencegah dan menangani permasalahan tentang kesehatan mental ini. Pengaturan tentang keselamatan pekerja di Indonesia, diatur melalui UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, undang-undang ini menyoroti kesehatan mental di tempat kerja khususnya dalam Pasal 35 Ayat (3) mengharuskan pemberi kerja memberikan perlindungan kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan, baik mental maupun fisik. Namun, undang-undang ini hanya membebankan kewajiban kepada pemberi kerja tanpa mengatur lebih lanjut tentang perlindungan kesehatan mental. Akibatnya,

kesehatan mental sering kali terabaikan, padahal sangat penting untuk efektivitas kerja jangka panjang.

Gangguan mental saat ini sering kali dianggap remeh, karena gangguan mental ini memiliki dampak yang tidak terlihat atau sulit untuk dimengerti oleh orang awam. Tidak hanya mempengaruhi fisik seseorang, apabila seseorang yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental berstatus sebagai seorang pekerja maka secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi perusahaan tempat ia bekerja. Salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan mental pekerja di Indonesia adalah jam kerja yang berlebihan. UU No. 13 Tahun 2003 mengatur jam kerja normal selama 40 jam per minggu, namun banyak pekerja mengalami jam kerja yang lebih panjang, yang dapat menyebabkan masalah seperti kemarahan, kelelahan, kecemasan, dan depresi. Selain itu, kesadaran pekerja tentang hak mereka terkait lembur masih rendah. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat penting dalam meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental pekerja. Sayangnya, regulasi terkait keselamatan kerja di Indonesia cenderung lebih fokus pada perlindungan fisik dan kurang memperhatikan aspek kesehatan mental.

UU Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa menunjukkan komitmen Pemerintah Indonesia terhadap kesehatan mental. UU ini mengatur sistem pelayanan, sumber daya, dan peran masyarakat dalam kesehatan jiwa. Peran masyarakat mencakup: 1) menciptakan lingkungan yang kondusif; 2) memberikan komunikasi dan edukasi tentang pencegahan gangguan jiwa; serta 3) menyediakan konseling bagi yang membutuhkan. Menghilangkan stigma negatif terhadap gangguan kesehatan mental dan meningkatkan keterbukaan masyarakat sangat penting untuk mencegah tindakan bunuh diri, terutama di kalangan pekerja yang mengalami masalah mental. Salah satu contoh nyata dari isu ini dapat dilihat dari kasus di Banten pada 2023 lalu, dimana seorang karyawan pabrik diduga mengalami depresi setelah mendapatkan tekanan dari atasan. Kasus ini menjadi viral di media sosial, di mana video karyawan tersebut menunjukkan kondisi emosionalnya yang memburuk akibat stres kerja. Hal ini memicu perdebatan tentang pentingnya kesehatan mental di tempat kerja dan perlunya dukungan serta perlindungan yang lebih baik bagi pekerja.

Dalam kontestasi Pilgub Jakarta 2024, salah satu bakal calon Gubernur DKI Jakarta, Ridwan Kamil berencana akan menghadirkan “Mobil Curhat” sebagai solusi bagi kesehatan mental warga ibu kota. Menurut Ridwan Kamil, disediakannya Mobil Curhat itu diharapkan bisa membuat warga Jakarta tak lagi menyalurkan keluh kesah atau curhat di media sosial, yang selama ini sering diluapkan via Instagram. Dimana nantinya, akan ada konselor, psikiater, sampai pemuka agama yang melayani masyarakat. Namun, apakah Mobil Curhat dibutuhkan warga Jakarta? Tentu saja, hal ini menimbulkan pro dan kontra.

Dari sudut pandang hukum, inisiatif "Mobil Curhat" Ridwan Kamil harus memastikan kepatuhan terhadap Undang-Undang Kesehatan Jiwa, dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, termasuk hak-hak pasien dan standar pelayanan kesehatan mental. Sisi positifnya, program ini dapat meningkatkan aksesibilitas masyarakat dalam layanan kesehatan mental yang saat ini cukup sulit dijangkau. Namun, tidak lupa pula bahwa program ini tetap harus terintegrasi dengan sistem kesehatan yang sudah ada dan tidak menggantikan kebutuhan akan pelayanan kesehatan mental berkelanjutan seperti akses BPJS Kesehatan. Selain itu, hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah perlindungan privasi dan informasi pasien yang harus diutamakan kerahasiaannya. Tentunya program ini perlu dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas dan akuntabilitasnya.

Kesehatan mental pekerja merupakan aspek penting yang mempengaruhi produktivitas, kesejahteraan, dan efektivitas kerja jangka panjang. Meskipun Undang - Undang Ketenagakerjaan di Indonesia sudah mencantumkan kewajiban pemberi kerja untuk melindungi kesehatan mental pekerja, implementasinya masih minim dan kurang terfokus pada kesehatan mental. Kondisi ini menyebabkan pekerja yang mengalami gangguan mental, seperti stres dan burnout, tidak mendapatkan perlindungan dan perhatian yang memadai dari sisi hukum maupun tempat kerja. Penguatan perlindungan hukum terkait kesehatan mental sangat diperlukan, dengan menyeimbangkan antara perlindungan fisik dan mental, serta memastikan pelaksanaan undang-undang yang lebih menyeluruh.

Untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif, diperlukan sinergi antara pemerintah, pemberi kerja, serikat pekerja, dan masyarakat. Pemerintah harus berperan lebih aktif dalam mempromosikan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental di tempat kerja melalui regulasi yang lebih kuat dan komprehensif. Pemberi kerja perlu meningkatkan dukungan bagi pekerja melalui program kesehatan mental yang terstruktur dan berkelanjutan. Selain itu, masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya mengurangi stigma negatif terhadap gangguan mental. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan kesehatan mental pekerja bisa lebih terlindungi, sehingga menciptakan keseimbangan antara kesehatan, produktivitas, dan kesejahteraan di tempat kerja.

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum USU.

(BR)

Baca Juga

Rekomendasi