Pengobatan TB RO Sekarang Lebih Mudah

Pengobatan TB RO Sekarang Lebih Mudah
Risan Nasution, Manajer Kasus TB RO YMMA (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Pengobatan penyakit Tuberkulosis Resisten Obat (TB RO) saat ini sudah jauh lebih mudah. Selain waktu pengobatan yang lebih pendek, pasien juga mendapat dukungan dana transport sebesar Rp 600 ribu per bulan.

"Begitu pasien terkonfirmasi sebagai TB RO, maka dia langsung berhak mendapat dukungan dana transport sebesar Rp 600 ribu per bulan," kata Risan Nasution, manajer kasus TB RO dari Yayasan Meranti Meraki Asa (YMMA) di sela acara peningkatan kemitraan antara komunitas dan pemangku kepentingan jejaring layanan TBC yang digelar YMMA, di Hotel Grandhika, Medan, Selasa (17/12).

Dia mengaku, begitu ada pasien TB RO, maka langsung diberikan haknya Rp 600 ribu per bulan tanpa memandang status sosialnya kaya atau miskin.

"Berbeda dulu. Kalau dulu seorang pasien yang mendapat bantuan dana transport harus mendapat surat keterangan miskin dari kepala lingkungan," jelasnya.

Selain itu, katanya, jangka waktu pengobatan sekarang sudah jauh lebih cepat. Untuk pengobatan TB RO sekarang hanya 6 bulan sampai tuntas.

Kalau dulu, masih pengobatan jangka panjang sampai dua tahun. Mulai dari mendapat suntikan setiap hari selama 8 bulan dan dilanjutkan minum obat hingga 16 bulan. Total masa pengobatan sampai 2 tahun.

"Belum lagi efek samping obatnya. Kalau sekarang lebih ringan. Jadi, sekarang jauh lebih mudah," katanya.

Dia sendiri, pernah menderita TB RO dan setelah menjalani pengobatan, akhirnya dia dinyatakan sudah sembuh. Berkat pengalaman itu, dia masuk sebagai relawan pendamping suporter TB dan sekarang menjadi manajer kasus TB YMMA.

Dia bercerita, awalnya terkena TB RO ketika membantu dan merawat kakaknya yang terkonfirmasi TB RO pada 2016. Ketika itu diakuinya memang pemahaman tentang TB masih belum tahu, akhirnya terpapar TB RO.

"Saya merawat kakak saya yang TB RO. Tidak lama berselang, saya mengalami gejala TB, berat badan turun, tidak selera makan, batuk terus menerus dandemam serta berkeringat di malam hari. Akhirnya saya memeriksakan diri. Ternyata saya positif TB RO," jelasnya.

Dia pun mengikuti proses pengobatan TB RO dengan lama pengobatan 2 tahun.

"Selamat 8 bulan saya suntik. Setiap hari bolak balik ke puskesmas untuk suntik. Setelah itu, dilanjutkan minum obat selama 16 bulan," ungkapnya.

Selama pengobatan, pernah dia merasa putus asa karena lamanya pengobatan dan efek samping obat yang luar biasa. Tapi, melihat kakaknya yang terlihat banyak perubahan kesehatan, dia kembali semangat mengikuti pengobatan sampai tuntas.

"Iya, saya mulai putus asa karena lamanya pengobatan. Ditambah efek samping obat. Badan terasa lemas, mulai dan muntah. Tapi semangat bangkit kembali karena melihat kakak saya yang mulai sembuh. Berat badannya yang awalnya 36 kilogram menjadi 60 kilogram. Sudah banyak perubahan. Akhirnya saya semangat lagi. Sampai sembuh dari TB RO," ucap Risan.

Saat ini, katanya, dia mendampingi kasus pasien TB RO di RSUP Haji Adam Malik sekira 60 orang. Sisanya dibantu manajer kasus yang lain.

"Di Medan ada tiga rumah sakit yang menangani pasien TB RO. RUmah Sakit Adam Malik, Pirngadi dan RS Paru. Saya mendampingi di RS Adam Malik. Saat ini yang saya dampingi ada 60 dari 115 pasien TB RO," sebutnya.

Peran Manajer Kasus (MK) dalam mendampingi pasien Tuberkulosis Resisten Obat (TB RO) di Kota Medan sangat penting, mulai dari memastikan pasien mendapatkan rujukan ke rumah sakit yang melayani TB RO hingga pengobatan selesai.

Dalam proses pendampingan, MK memastikan alamat pasien sesuai sebelum melakukan kunjungan. Setelah bertemu dengan pasien, MK akan mengarahkan pasien kepada Pendamping Suporter (PS), yang bertugas mendampingi pasien sejak awal pengobatan hingga dinyatakan sembuh.

Selain itu, MK juga memantau kendala yang dihadapi pasien, seperti efek samping obat dan biaya transportasi.

Sejauh ini dari sisi pengobatan TB sudah jauh mengalami kemajuan. Hanya saja, masyarakat masih banyak yang memberikan stigma kepada pasien TB.

Masih ada yang menganggap TB penyakit kutukan dan tidak percaya dengan pengobatan medis. Bahkan stigma lebih banyak dari pihak keluarga.

"Memang masih perlu sosialisasi lebih luas lagi kepada masyarakat," kata Risan.

(NAI/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi