Ketua Kopi TB Sumut dr Amiruddin SpP (K) menerima sertifikat di pertemuan jejaring TBC yang digelar YMMA di Hotel Grandhika, Rabu (18/12/2024) (Analisadaily/Zulnaidi)
Analisadaily.com, Medan - Tuberkulosis (TB) bukan hanya menjadi masalah kesehatan, tetapi juga berkaitan erat dengan isu ekonomi dan sosial.
Hal itu disampaikan Ketua Kopi TB Sumatera Utara, dr. Amiruddin, Sp.P (K), dalam pertemuan komunitas dan pemangku kepentingan di Yayasan Mentari Meraki Asa (YMMA), Hotel Grandhika, Medan, Rabu (18/12).
Menurut dr. Amiruddin, seluruh elemen masyarakat harus berperan aktif dalam upaya eliminasi TB. Ia menegaskan bahwa Kopi TB, yang melibatkan 23 organisasi profesi kesehatan di Medan, terus mendorong sosialisasi lintas sektor untuk meningkatkan kepedulian terhadap TB.
“Melalui Kopi TB, kami mengajak seluruh anggota organisasi profesi, seperti dokter, perawat, dan bidan, agar memahami gejala TB dan dapat mengarahkan pasien ke layanan kesehatan. Penyakit TB tidak boleh sembarangan diberikan obat karena pengobatannya harus tuntas,” katanya.
Bahaya Putus Obat dan TB Resisten Obat
dr. Amiruddin menyoroti pentingnya pengobatan TB hingga selesai. Ia mengingatkan jika pasien menghentikan pengobatan sebelum waktunya, risiko TB resisten obat (RO) meningkat, sehingga sulit disembuhkan dan berpotensi menular lebih luas di masyarakat.
“Banyak pasien merasa sembuh setelah beberapa kali minum obat, lalu berhenti. Padahal, pengobatan harus tuntas meski gejalanya hilang. Bila tidak, kasus TB RO akan bertambah, dan eliminasi TB menjadi lebih sulit,” jelasnya.
Ia juga meminta para tenaga kesehatan, terutama bidan, untuk mengenali gejala TB pada pasien yang mereka tangani. Misalnya, jika seorang ibu hamil menunjukkan gejala atau memiliki kontak erat dengan pasien TB, bidan perlu segera merujuknya ke puskesmas untuk pemeriksaan dahak.
Edukasi untuk Pasien dan Masyarakat
Selain itu, dr. Amiruddin menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat, termasuk mereka yang sehat tetapi memiliki kontak erat dengan pasien TB. Ia mendorong pemanfaatan terapi pencegahan TB (TPT) untuk mencegah timbulnya penyakit di kemudian hari.
“Banyak yang belum paham manfaat TPT. Kami sampaikan, meski saat ini sehat, bakteri TB bisa aktif di masa depan. Jadi, lebih baik berobat sekarang daripada menunggu jatuh sakit,” ujarnya.
Ia menjelaskan, pengobatan TB pada fase sakit membutuhkan biaya dan energi yang lebih besar dibandingkan dengan pencegahan.
“Misalnya, seorang bapak usia produktif yang sakit TB akan kehilangan waktu kerja dan membutuhkan biaya perawatan. Ini berdampak besar pada keluarganya,” tambah dr. Amiruddin.
Dengan terapi TPT selama enam bulan, pasien bisa terhindar dari risiko TB di masa depan. Hal ini, menurutnya, merupakan langkah penting untuk mengurangi beban kesehatan, ekonomi, dan sosial akibat TB.
dr. Amiruddin berharap, melalui sinergi lintas sektor dan kesadaran masyarakat, eliminasi TB di Sumatera Utara dapat tercapai. “Kita tidak ingin semua orang mengobati, tetapi semua harus peduli,” tutupnya.
Sri Maharani Arfiani (SR Manager YMMA Sumut) menyebutkan, dengan pertemuan ini bersama membangun pemahaman tim Komunitas–Dinas Kesehatan-Fasyankes Pemerintah dan Swasta, guna meningkatkan dukungan layanan bagi pasien dan terduga TBC.
"Setelah itu kita menyepakati mekanisme dan indikator pemantauan dan umpan balik layanan TBC melalui jejaring PPM dan komunitas di Fasyankes," ucapnya.
Diskusi timbal balik mendapat sambutan hangat peserta.
(NAI/RZD)