Kerinduan Warga Namorambe Akan Nyanyian Air yang Hilang (Analisadaily/Istimewa)
Oleh: Adelina Savitri Lubis
BAGI masyarakat di Namorambe, Deliserdang, Sumatera Utara, keresahan mereka seperti menggantung di udara, seperti kabut yang enggan pergi meski pagi telah lama hadir. Bukan karena langit yang muram atau ladang yang kering, melainkan karena hilangnya suara yang dulu begitu akrab: nyanyian air.
Sejak banjir besar melanda Sibolangit pada Selasa, 26 November 2024, empat pipa PDAM yang menjadi nadi kehidupan warga patah oleh derasnya amukan arus. Sejak saat itu, air berhenti mengalir, menyisakan keran-keran yang bisu dan ember-ember yang kosong.
"Seperti rumah kami kehilangan denyut nadinya," ujar Nurhayati (35), seorang ibu rumah tangga, yang duduk di depan rumah sambil memandangi keran yang tak lagi meneteskan harapan. Setiap pagi, ia bangun lebih awal dari biasanya, berjalan kaki menuju sumber air terdekat yang jaraknya lebih dari satu kilometer.
Baginya, air bukan sekadar kebutuhan. Ia adalah bagian dari hidup yang tak terpisahkan; mencuci, memasak, hingga menyiram tanaman kecil di pekarangan yang kini mulai layu. "Setiap ember yang penuh, seperti membawa sedikit kebahagiaan pulang," bisiknya pelan.
Bagi Anto (45), seorang kepala keluarga, suara air mengalir adalah musik yang menemani kesehariannya. "Dulu, bunyi air yang mengisi bak di pagi hari sering kami abaikan. Tapi sekarang, saya menyadari, itulah bunyi kehidupan," tuturnya dengan mata yang menerawang jauh.
Kerinduan itu kini menjadi doa yang dipanjatkan setiap malam, memohon agar air kembali mengalir mengisi sudut-sudut rumah mereka. Namun, doa itu terjawab dengan sunyi, sementara waktu terus berlalu tanpa kepastian kapan air akan hidup kembali.
Analisadaily/Istimewa
Perjuangan di Tengah Kesulitan
Perumda Tirtanadi dalam keterangannya, menyebut bahwa perbaikan empat pipa utama di Sibolangit menghadapi tantangan besar. Lokasi kerusakan yang sulit diakses dan biaya yang tak sedikit membuat proses ini berjalan perlahan, seperti mendaki bukit yang terjal.
“Musibah ini bermula dari longsor besar yang melanda Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) Kecamatan Sibolangit pada 26 November 2024. Longsor tersebut membawa dampak yang sangat parah terhadap mata air kami di kawasan itu,” tutur Plt Direktur Utama Perumda Tirtanadi, Ewin Putra, dalam pernyataan resminya.
Kerusakan ini, lanjutnya, tidak hanya menghantam sumber mata air, tetapi juga menghancurkan pipa penghantar air yang menjadi nadi bagi IPAM Sibolangit.
“Perbaikan infrastruktur ini membutuhkan waktu yang cukup lama, terlebih intensitas hujan saat ini masih tinggi, sehingga potensi longsor susulan terus mengintai,” tambahnya.
Ewin mengakui betapa beratnya medan yang harus dihadapi tim di lapangan. “Mayoritas infrastruktur di IPAM Sibolangit telah rusak berat. Dalam kondisi yang penuh tantangan ini, kami terus berjuang memperbaiki kerusakan. Namun, hujan yang tak kunjung reda dan medan yang ekstrem membuat langkah kami terasa tertatih-tatih,” katanya.
Di penghujung pernyataannya, Ewin mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama mendoakan agar keadaan segera pulih seperti sediakala. “Kami memohon doa dari semua pihak agar cuaca segera membaik dan upaya pemulihan ini dapat berlangsung dengan lancar. Semoga layanan air bersih dapat kembali mengalir, memenuhi kebutuhan masyarakat seperti sediakala,” tutupnya penuh harap.
Analisadaily/Istimewa
Gotong Royong
Namun, di tengah penantian ini, warga Namorambe tak tinggal diam. Gotong royong menjadi jawaban atas keresahan yang melanda. Mereka saling berbagi air, saling menguatkan, dan saling mengingatkan bahwa kesulitan ini, seperti hujan yang deras, pasti akan berlalu.
Warga Namorambe menanti dengan hati yang gelisah namun penuh harap. Mereka tahu, di balik gunung-gunung Sibolangit, ada tim yang bekerja keras untuk memulihkan yang hilang.
"Ketika air itu kembali mengalir, saya akan mendengarnya seperti mendengar simfoni terindah," kata Nurhayati sambil tersenyum kecil. Baginya, kerinduan ini mengajarkan betapa berharganya sesuatu yang selama ini dianggap biasa.
Dan hingga saat itu tiba, Namorambe tetap menyimpan kisah tentang kerinduan dan perjuangan. Sebuah kisah yang mengingatkan kita bahwa air, dalam alirannya yang sederhana, adalah jiwa yang menghidupkan kehidupan.*
(DEL)