Ilustrasi. (Analisadaily/Istimewa)
Oleh: Shalsabilla Shafira, Putri Latifah Anum.
PADA 2 Juli 2024, Presiden ke-7 Joko Widodo meresmikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan, berisi setiap Ibu yang bekerja berhak mendapatkan: a. cuti melahirkan dengan ketentuan: 1) paling singkat 3 (tiga) bulan pertama; dan 2) paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Disahkannya undang-undang ini seperti angin segar bagi para pekerja perempuan.
Karena pekerja perempuan dapat diberikan cuti melahirkan sampai 6 bulan jika terjadi masalah khusus pasca melahirkan. Kondisi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a angka 2 meliputi: a) Ibu yang mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi pasca persalinan atau keguguran; dan/ atau b) Anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan atau komplikasi. Dan dengan demikian aturan ini bisa saja merugikan pekerja perempuan kedepannya.
Implementasi UU No 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan, di dunia kerja pastinya mengalami tantangan besar. Perusahaan mungkin enggan merekrut atau mempromosikan perempuan usia produktif yang dianggap "berisiko" membutuhkan cuti berkepanjangan. Analoginya seperti ini, ketika ada dua pilihan kandidat dalam proses penerimaan karyawan baru, kandidat pertama adalah perempuan baru menikah dan kandidat kedua laki-laki belum menikah. Perusahaan tentunya akan memilih kandidat kedua, walaupun punya kapabilitas yang sama karena laki-laki tidak akan cuti melahirkan selama 3 bulan.
Secara hitungan, dari sudut pandang perusahaan, cuti melahirkan yang diberikan akan menjadi beban bagi perusahaan, ditambah lagi dengan tetap memberikan gaji kepada pekerja perempuan yang sedang cuti melahirkan. Hal ini memberikan celah kepada perusahaan untuk tidak memilih pekerja perempuan karena dianggap beban dan tidak produktif.
Sedangkan cuti ayah hanya diberikan selama 2 hari yang tertuang dalam Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi, suami berhak mendapatkan hak cuti pendampingan istri pada: a. masa persalinan, selama 2 (dua) hari dan dapat diberikan paling lama 3 (tiga) hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan; atau b. saat mengalami keguguran, selama 2 (dua) hari. Perbedaan lamanya cuti yang diberikan begitu timpang dan menyebabkan timbulnya diskriminasi.
Pada dasarnya cuti melahirkan adalah hak bagi setiap perempuan dan hak ini dikuatkan dengan Undang-Undang. Namun fakta yang terjadi di tempat kerja, justru mengarah kepada diskriminasi perempuan dan melupakan kesetaraan gender yang ada. Padahal hakikatnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan hadir sebagai penguatan hukum akan hak perempuan di tempat kerja dan kesetaraan bagi tiap pekerja.
Permasalahan seperti ini seringkali hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan kemudian menjadi isu yang sulit untuk ditengahi dengan pemberian solusi yang kurang efektif. Setiap instansi dan juga pemerintah harusnya berkolaborasi dan berkontribusi dalam menangani permasalahan ini. Sehingga UU Cuti Melahirkan untuk perempuan menjadi langkah menuju kesetaraan dan bukannya menjadi tekanan dan diskriminasi perempuan di tempat kerja. Kemudian apa usulan dan solusinya?
Usulan Solusi
Pemerintah Indonesia dapat belajar dari negara-negara lainnya yang telah menerapkan kebijakan terkait cuti melahirkan dan cuti ayah. Beragam metode dapat diberikan sebagai dukungan negara terhadap kebijakan cuti melahirkan, seperti memberikan fleksibilitas durasi cuti yang memungkinkan orang tua memilih kapan mengambil cuti, baik ibu maupun ayah. Selain itu, pemerintah dapat memberikan insentif berupa pengurangan pajak atau subsidi kepada perusahaan yang memberikan hak cuti melahirkan sesuai dengan UU KIA, untuk meringankan beban biaya operasional mereka.
Solusi lainnya, bisa berupa penyediaan fasilitas
daycare di tempat kerja untuk mendukung karyawan yang baru melahirkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UU KIA Pasal 21, yang mewajibkan perusahaan untuk menyediakan fasilitas tempat penitipan anak atau fasilitas serupa bagi pekerja yang memiliki anak balita. Dengan adanya fasilitas tersebut, pekerja ibu dapat bekerja dengan lebih tenang karena anak-anak mereka mendapatkan perawatan yang baik.
Cuti Ayah (
Paternity Leave) juga maksudnya perusahaan memberikan hak cuti kepada ayah agar mereka dapat berbagi tanggung jawab dalam merawat anak. Hal ini juga akan mengurangi tekanan pada perempuan yang sering dianggap sebagai satu-satunya pengasuh.
Perusahaan juga harus memahami tentang pentingnya hak cuti bagi perempuan untuk kepentingan jangka panjang. Cuti untuk perempuan harus dipandang sebagai hak dasar sekaligus investasi strategis, bukan sekadar beban operasional. Sehingga karyawan akan loyal kepada perusahaan.
Padahal perempuan yang sudah memiliki anak memiliki peranan sangat penting di perusahaan, seperti: (1) mengelola keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi, yang menginspirasi tim untuk lebih efisien dalam bekerja; (2) membawa perspektif baru dalam pengambilan keputusan, dengan memperhatikan kebutuhan keluarga yang beragam; (3) menjadi contoh ketahanan dan dedikasi, baik dalam menjalankan tugas pekerjaan maupun merawat keluarga; dan (4) mendorong kesetaraan gender di lingkungan kerja, yang mendukung terciptanya budaya inklusif dan produktif sesuai dengan SDG 5 tentang kesetaraan gender sekaligus SDG 8 tentang pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk terus mendukung perempuan yang sudah memiliki anak agar mereka dapat tetap berkontribusi penuh dalam dunia kerja, sekaligus membantu menciptakan keberagaman yang bermanfaat bagi perusahaan, serta perempuan bisa membuktikan bahwa karier dan keluarga bisa berjalan beriringan dan memotivasi perempuan lain untuk tetap berkontribusi di dunia kerja.
Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak, merupakan undang-undang yang sudah seharusnya kita tagih realisasinya kepada pemerintah saat ini. Pemerintahan baru dapat menjadi momentum dalam menilai keseriusan pemerintahan ini dalam merealisasikan kebijakan cuti melahirkan bagi pekerja perempuan di Indonesia. Kita sebagai warga negara harus memastikan bahwa para pekerja perempuan memiliki akses dalam pengembangan dan menerima dukungan, sambil melawan stereotip yang mengatakan bahwa perempuan hanyalah pandai urusan pekerjaan domestik.
Penulis adalah mahasiswa Magister Ilmu Manajemen FEB USU di bawah bimbingan Prof. Dr. Elisabet Siahaan, SE., M.Ec.(BR)