Analisadaily.com, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjelang akhir tahun 2024 dianggap tidak terelakkan. Menurut pengamat pasar uang, Ariston Tjendra, pergerakan rupiah yang melemah ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor eksternal dan domestik yang masih berlangsung. Ariston menekankan bahwa meskipun ada gejolak di pasar, sentimen penguat dolar AS jelang akhir tahun masih dominan, tanpa adanya katalis positif yang cukup kuat untuk mengubah arah tersebut.
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi pelemahan rupiah adalah ketidakpastian pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan. Beberapa indikator, seperti penurunan daya beli masyarakat kelas menengah, pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen, serta beberapa kebijakan pemerintah lainnya, membuat pasar cenderung skeptis terhadap prospek ekonomi Indonesia.
Sementara itu, ekonomi AS menunjukkan tanda-tanda kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Hal ini mengurangi ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan yang lebih besar oleh Federal Reserve (bank sentral AS). Selain itu, perkembangan politik di AS, terutama terkait dengan program ekonomi yang direncanakan oleh Presiden terpilih Donald Trump, turut memengaruhi keputusan investor untuk beralih ke dolar AS sebagai aset yang lebih aman.
Dengan latar belakang tersebut, Ariston memprediksi bahwa hingga akhir tahun, nilai tukar rupiah kemungkinan akan bertahan di kisaran Rp16.100 per dolar AS. Saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tercatat menguat 86 poin atau sekitar 0,53 persen menjadi Rp16.149 per dolar AS, dibandingkan dengan sebelumnya yang berada di level Rp16.235 per dolar AS.
Pelemahan rupiah jelang akhir tahun ini memperlihatkan bagaimana faktor eksternal dan internal turut berperan dalam menentukan arah pergerakan nilai tukar. Untuk para pelaku pasar, pemantauan kondisi ini akan terus menjadi perhatian utama hingga tahun 2025.