Pojok Pers

Tahun 2025. Apa ?

Tahun 2025. Apa ?
War Djamil (Pemred Harian Analisa) (analisadaily/istimewa)

PERS dunia memasuki tahun 2025. Ada dua sisi. Pertama, redaksi media massa spontan menerapkan rencana yang ditetapkan di penghujung 2024. Umumnya, pada pertengahan Desember, rencana itu memasuki tahapan finalisasi. Ya, biasanya sejak Oktober dan November sudah dilakukan serangkaian pembahasan program 2025.

Kedua, sisi penantian akan nasib media massa dalam tahun 2025. Seirama dengan ketidakpastian perekonomian dunia -- seperti ungkapan beberapa pakar ekonomi dunia --, agaknya begitu pula nasib media massa.
Artinya, bagi media cetak (koran, tabloid, majalah) mampukah bertahan (survive). Atau penantian untuk gulung tikar?. Bagi media siber, pertanyaan mendasar yang masih terus diulangi, apakah pemasukan iklan sudah signifikan ? Atau masih tak menentu ?
Lanjut, bagi media radio dan televisi. Sudah mulai ada yang menyerah. Atau, berganti manajemen alias dijual ke pemilik baru. Maknanya sama, angkat tangan (acungkan bendera putih).
Masih operasional media massa secara umum, ini bermakna semua jenis apapun dengan multi platform media, tetap saja dalam keadaan prihatin. Kalau begitu, untuk sisi kedua ini, pemilik, penerbit, pengelola dan redaksi media mesti mencurahkan perhatian ekstra, jika media coba tetap hidup.
Berbagai forum media dengan aneka topik dibahas di mancanegara, berlangsung dengan antusias tinggi dari kalangan pers. Semua pihak ingin tahu dan coba menemukan solusi tetap. Hasilnya apa ? Tetap variatif. Juga lahir sikap optimis dan pesimis.
Sebagian optimis dengan bertumpu pada media siber. Kuncinya, harus dengan sejumlah inovasi. Terutama konten. Sorotan utama terhadap kreator konten yang diharapkan bisa merubah kondisi itu, makin cerah.
Tentang cuan-cuan-cuan, inilah yang jadi fokus. Iklan atau bentuk lain dari konten sehingga duit mengalir dari ke kas media. Jika tidak, sama saja dengan semacam “bunuh diri”, atau setidaknya (maaf) mati pelan-pelan.
Secara umum. Itulah yang dihadapi media.
KINI terkait awak media. Apa itu ? Harapan publik, juga keinginan pengelola media yakni wartawan profesional. Hanya dengan profesionalisme tinggi, kerja-kerja jurnalistik akan menghasilkan karya-karya pers terbaik.
Sebagian tokoh pers mengatakan. Pers yang benar dapat dilihat dari sisi akurasi, fairness, memilih sumber kompeten serta tetap mengacu pada kode etik jurnalistik.
Wartawan bermutu melahirkan liputan dan sajian berita akurat. Tak berlebihan kalau dibilang, media melakukan semacam meramalkan (predictability) guna menduga akibat apa yang kemungkinan muncul dari pemberitaan yang diekspos.
Di sini. Seleksi yang ketat melalui tahapan filter dari reporter (tahap-1), redaktur (tahap-2). Mengapa perlu filter itu ? Agar tidak terjadi berita sebagai pelanggaran moral yang tergolong berat dan menjijikkan (morally repugnant).
Guna menjaga pemberitaan yang dapat dipertanggungjawabkan, pendidikan pers kepada awak media patut dilakukan terus menerus. Mereka yang tergolong wartawan profesional diyakini memiliki kesadaran moral (moral consciousness).
Jangan lupa, moral berbeda dengan etika. Moral tergolong aspek eksternal, sedangkan etika masuk dalam aspek internal. Jadi, berpedoman pada etika profesi pers, sesuatu yang mutlak.
AKHIR kata. Memasuki 2025, media massa harus optimis. Meski media sosial dengan berbagai platform menjadi pilihan publik, kiranya mainstream media masih mungkin eksis. Mengapa ?. Setidaknya, media arus utama masih dipercaya publik, antara lain karena melakukan verifikasi dan check and recheck.
Harus diakui. Pilihan publik atas media sosial dan siber lebih unggul dari media cetak. Itu fakta. Kehadiran platform digital harus pula dihadapi dengan program dan inovasi terbaik.
Kunci semua itu agaknya media tetap dengan sajian berkualitas, informatif, edukatif serta berguna bagi publik.
Ayo, masuki 2025 dengan sikap sebagai media yang taat pada etika profesi pers dan bekerja profesional.#

16 Des 2024 22:04 WIB

Ditanyai Publik

18 Nov 2024 19:02 WIB

Kolaborasi

Berita kiriman dari:

Baca Juga

Rekomendasi