Pojok Pers

Berita/Foto Sadis

Berita/Foto Sadis
War Djamil (analisadaily/istimewa)

SADIS ?. Ya, mungkin saja ada yang sadis dalam pemberitaan media massa. Sajian berita dan foto tergolong sadis. Menurut penafsiran atas pasal-4 Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sadis berarti : "kejam dan tidak mengenal belas kasihan".

Memangnya ada berita sadis ?. Ada juga foto sadis ?. Publik sering bilang, berita dan foto tersebut sadis. Mengapa media menyiarkannya ? Hal ini patut menjadi perhatian pihak media.
Pasal-4 KEJ menyebut : "…. tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul". Tentu ketentuan itu dengan pertimbangan khusus. Larangan ini bukan membatasi kerja-kerja jurnalistik. Melainkan, mengatur apa yang tidak patut disiarkan ke publik. Alasannya antara lain, berakibat negatif. Juga mempengaruhi jiwa seseorang.
Secara umum, liputan dari peristiwa tragis, melahirkan berita dan foto sadis. Misal saja, dari kebakaran, kecelakaan lalu lintas, pembunuhan dan sebagainya, perkelahian antarkelompok dengan senjata tajam maupun perilaku perorangan seumpama bunuh diri.
Ambil contoh, berita pembunuhan yang diungkap kronologinya begitu rinci, mungkin menjadi berita sadis. Maaf, beberapa kasus perkosaan oleh sekelompok pria, juga tergolong sadis.
Kesadisan perilaku para pelaku dalam kasus-kasus tersebut, sesungguhnya tak patut diutarakan rinci. Sebab, bukan mustahil cara-cara sadis yang diperbuat akan ditiru oleh seseorang yang berniat jahat. Bentuk sadis dalam perkosaan oleh kelompok juga akan ditiru oleh oknum pemuda lain yang memang berniat jahat.
Sisi lain, pemberitaan kejam itu menimbulkan rasa takut publik. Seumpama kaum perempuan menjadi resah. Rasa mencekam itu dengan kekhawatiran akan menimpa dirinya. Ini sisi kejiwaan.
Pula, berita rinci yang kejam, sangat tidak mendidik. Ini harus dihindari. Sajian dari liputan pembunuhan misalnya, dapat diolah dengan kalimat kewajaran, tetap memberi informasi benar serta gambaran kasus yang terjadi kepada publik. Namun, tidak menakutkan. Meski, kesan pembunuhan kejam telah terjadi, tetap sebuah informasi.
Hal sama jika pemuatan foto. Menghindari foto sadis. Misal seseorang (maaf) gantung diri dengan lidah terjulur. Agaknya tidak usah disajikan foto semacam itu. Berita bunuh diri (gantung diri) tanpa foto, juga sebuah berita akurat, tertera dalam berita itu.
Serupa juga dari kecelakaan lalu lintas. Contoh. Korban pecah kepala atau usus terburai akibat digilas kendaraan bermotor maupun tabrakan kuat. Kiranya foto yang sangat memilukan itu, tidak disajikan dalam media cetak, televisi maupun media siber.
Jika ingin suasana di lokasi, cukup foto korban yang sudah ditutupi, sehingga tidak terlihat sisi-sisi sadis dimaksud. Ini perlu diteliti oleh redaktur di kantor redaksi saat proses liputan dari disampaikan reporter.
Lalu foto dengan ditutupi hitam atau dikaburkan bagaimana ?. Lebih baik tidak. Cukup laporan jelas dalam berita yang disajikan ke publik sebagai berita yang memang informatif. Apalagi berita memenuhi unsur yang dikenal dalam dunia jurnalisme yakni unsur 5W+1H. Pastilah, sebuah berita lengkap, dimaklumi publik.
Terkait berita dan foto sadis ini, hendaknya kantor-kantor media memberi tahu kebijakan tersebut kepada reporter, termasuk mereka yang berada di luar kota atau di daerah lain. Mengapa perlu ? Masih sering terjadi, reporter itu tidak memaklumi kebijakan redaksi. Mereka mengirim liputan selengkapnya termasuk foto sadis. Dan, tentunya uraian terjadinya kasus mengerikan. Reporter tak salah.
Meski itu kelak menjadi tugas redaktur di kantor berita/media, tentu harus diolah lagi. Mengapa tidak praktis saja. Liputan dikirim dari lokasi dengan memperhatikan kebijakan itu. Sehingga, tak sia-sia reporter menuliskan laporan, yang kelak tidak diterbitkan.
Media harus tetap peduli pada sisi kejiwaan publik terkait pemberitaan. Artinya, media sebagai "milik publik", tentu menjaga sajian berupa berita dan foto tidak tergolong sadis. Prinsipnya harus dihindari !. (penulis adalah Pemred Harian Analisa)

Berita kiriman dari: War Djamil

Baca Juga

Rekomendasi