Witch Hunt di Media Sosial: Influencer Pendukung Prabowo-Gibran Jadi Sasaran Kemarahan (Analisadaily/Ilustrasi)
Analisadaily.com, Medan - Belakangan ini, media sosial X (Twitter) ramai membicarakan istilah "witch hunt" yang semakin populer, terutama terkait dengan cancel culture terhadap sejumlah influencer yang mendukung pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming pada Pilpres 2024. Istilah witch hunt merujuk pada perburuan atau penuntutan terhadap individu yang dianggap bersalah tanpa bukti yang jelas dan seringkali berdasarkan tuduhan yang tidak berdasar.
Istilah "witch hunt" awalnya berasal dari pengadilan brutal di Eropa pada abad pertengahan, di mana perempuan-perempuan dituduh sebagai penyihir dan dihukum tanpa keadilan yang jelas. Dalam konteks modern, istilah ini merujuk pada fenomena di mana seseorang menjadi sasaran kritik massal, seringkali hanya berdasarkan opini atau asumsi tanpa bukti yang sah.
Fenomena witch hunt kini berkembang seiring dengan munculnya cancel culture, di mana individu atau kelompok yang dianggap memiliki pandangan atau tindakan yang tidak sejalan dengan mayoritas, akan dikecam dan dukungannya dicabut oleh publik. Banyak yang melihat bahwa witch hunt menjadi bagian dari cancel culture, di mana seseorang menjadi korban serangan tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri atau memberikan klarifikasi.
Beberapa influencer yang mendukung Prabowo-Gibran menjadi sasaran utama witch hunt di media sosial. Mereka dituduh sebagai penyebab kekacauan yang terjadi akibat kebijakan pemerintah Indonesia. Akibatnya, mereka menerima serangan luas dari netizen yang merasa kecewa dengan hasil pemilu, sementara sebagian pihak membela mereka dengan alasan pemilu telah selesai dan seharusnya masalah tersebut tidak lagi dibahas.
Dalam dunia politik modern, istilah witch hunt sering digunakan oleh para tokoh politik untuk menggambarkan penilaian negatif yang mereka terima dari pihak lawan atau publik. Tokoh-tokoh politik seperti Donald Trump dan Boris Johnson menggunakan istilah ini untuk melindungi diri mereka dari kritik dan menyerang balik pihak-pihak yang menuduh mereka. Mereka mengklaim diri mereka sebagai korban dari sebuah sistem yang tidak adil, meskipun tindakan mereka sendiri dipertanyakan.
Witch hunt di media sosial menciptakan lingkungan yang tidak sehat, di mana individu merasa terancam dan tidak bebas berekspresi. Reputasi dan karier politik mereka bisa terpengaruh secara negatif, meskipun tidak ada bukti kuat yang mendasari serangan tersebut. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk membedakan antara kritik yang konstruktif dan witch hunt yang merugikan. Kesadaran akan dinamika ini sangat penting untuk mendorong diskusi publik yang lebih sehat dan inklusif di era digital ini.
Dengan terus berkembangnya penggunaan media sosial, kita perlu lebih kritis dan berhati-hati dalam memberikan kritik atau serangan terhadap individu, terutama jika tuduhan tersebut tidak memiliki dasar yang jelas. Diskusi publik yang sehat memerlukan ruang untuk perbedaan pendapat tanpa takut dihakimi atau diserang tanpa alasan yang sah.
(CW1)(DEL)