
News is Food … (analisadaily/istimewa)
SAJIAN media massa ditilik dari beberapa sisi, memang memberi arti tersendiri. Jika murni sebagai informasi atas sesuatu peristiwa, menjadi pemberitaan dalam arti "itu sebuah kejadian".
Jika berita menyentuh sisi prilaku manusia, akan menjadi berita terkait sisi adab, karakter. Kalau berita berbau politik, harus dicerna dengan pola pikir politis pula.
Jika (maaf) berita seks, termasuk kasus perkosaan dengan alur cerita yang vulgar, tentu terkait sikap mental.
Begitulah. Sajian media yang aneka macam, berupaya memenuhi keinginan dan kebutuhan publik. Namun ada satu yang mungkin terlupakan semua pihak, termasuk kalangan pers. Apa itu ? Berita adalah asupan untuk jiwa (news is food for the soul). Ini sesungguhnya menyentuh kalbu masyarakat terhadap sajian media.
Pernahkah kita memikirkan dan memperhatikan hal ini ?. Mungkin, terlupakan. Contoh. Kasus korupsi. Misal, pejabat publik di pemerintahan ditangkap dengan dugaan korupsi. Pemberitaan gencar.
Ada media membuka semua sisi koruptor, termasuk penyebutan nama istri dan anak-anaknya. Padahal, secara umum -keluarga di rumah-- tidak tahu apa-apa soal korupsi suami atau sang ayah. Istri dan putra-putrinya malu di depan sahabat dan famili. Jiwa mereka terpukul.
Berita lain. Tentang suami-istri cerai akibat dugaan perselingkuhan. Media dengan polos mengungkap rinci pertemuan pasangan selingkuh. Bagaimana keluarga mereka membaca liputan itu ?. Jiwa mereka sedih.
Contoh lain. Pembagian warisan dalam satu keluarga. Terbuka pendapat dan sikap di antara mereka yang tidak patut diutarakan. Begitu disiarkan media, seberapa jauh perasaan mereka dalam persidangan dan famili menjadi tahu "isi" masalah keluarga itu ?. Jiwa tertekan.
Masih banyak contoh. Namun, secara umum semua berita tergolong menyentuh jiwa seseorang. Hal itu dapat dibuktikan. Antara lain, seseorang gelisah. Malu bertemu rekan dan tampil di depan publik.
Hal sama sebenarnya melanda perasaan dan jiwa tokoh, pejabat, penguasa, figur publik, siapapun dia. Jika pihak media mendalami news is food for the soul, diyakini redaksi media cetak, media siber, media radio dan televisi akan sangat selektif dalam menyiarkan berita, terutama terkait kemanusiaan. Agar "asupan" itu terasa.
Kalau ditelaah sejarah jurnalisme. Jika diteliti norma-norma pemberitaan. Kalau diamati kaidah-kaidah jurnalisme yang menitikberatkan ketaatan pada etika profesi pers. Tentu, redaksi media massa sangat mempertimbangkan akibat yang bakal menyentuh jiwa publik tatkala berita atau liputan dipublikasikan.
Saat bersamaan. Etika profesi pers, itu menjadi pedoman redaksi dalam bekerja. Meski memiliki wewenang seribu persen dalam menentukan berita tergolong patut atau tidak disiarkan. Namun, kepatuhan pada etika profesi menjadi hal mutlak.
Lalu, apa keinginan publik ?. Sederhana saja. Pemberitaan apa adanya. Artinya, peliputan akurat. Tidak dibumbui semacam opini wartawan. Juga tidak ditambahi atau diwarnai redaksi agar berita makin "wah".
Di sini sisi kualitas berita dipertaruhkan. Berita dilengkapi keterangan sumber berita kompeten, itulah yang diharapkan publik. Seyogianya, berita semacam ini tetap dikawal redaksi.
Bagi media profesional. Setidaknya dua filter otomatis dilalui berita sebelum disiarkan. Pertama, saringan dari wartawan di lokasi/ di lapangan. Kedua, check and recheck oleh redaksi sebelum naik cetak atau tayang.
Mari pihak media senantiasa melakukan penguatan bagi wartawan dan redaksinya agar taat pada Kode Etik Jurnalistik. Sekaligus, menjaga pemberitaan bermutu sehingga terasa (= terwujud) news is food for the soul. Mungkinkah ?. Jawabnya : Sangat mungkin, jika awak media menerapkannya !. (penulis adalah Pemred Harian Analisa) (NAI)