Mengenal Sejarah Halal Bihalal Dari Tradisi hingga Makna Spiritual di Indonesia (Analisadaily/Ilustrasi)
Analisadaily.com, Medan - Tradisi halal bihalal merupakan kegiatan yang sangat khas di Indonesia, yang dilaksanakan setelah umat Muslim menyelesaikan ibadah puasa Ramadan. Selain menjadi momen berkumpul bersama keluarga dan sahabat, halal bihalal juga sarat dengan makna mendalam, terutama dalam konteks saling memaafkan dan mempererat hubungan antar individu.
Secara etimologis, istilah halal bihalal berasal dari dua kata dalam bahasa Arab: "halal", yang berarti dibolehkan atau diperbolehkan, dan "bihalal", yang mengandung makna saling memberi izin atau pengampunan. Aktivitas ini bertujuan untuk membersihkan hati dan memperbaiki hubungan antar individu setelah bulan Ramadan yang penuh dengan ibadah dan refleksi spiritual.
Halal bihalal bukan hanya sekadar kegiatan sosial, melainkan juga sarat dengan nuansa spiritual yang mendorong setiap individu untuk saling memaafkan dan memulihkan hubungan yang mungkin pernah renggang. Kegiatan ini biasanya dilakukan dalam suasana silaturahmi, di mana orang-orang saling berjabat tangan, berpelukan, dan mengungkapkan permohonan maaf, baik dalam lingkup keluarga, teman, sahabat, hingga kolega.
Halal bihalal di Indonesia mulai dikenal sejak masa awal kemerdekaan. Istilah ini pertama kali digunakan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang tokoh dari Nahdlatul Ulama, pada tahun 1948. Pada saat itu, Indonesia menghadapi berbagai tantangan politik dan sosial, dan KH Wahab mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk mengadakan acara yang mengundang tokoh-tokoh politik guna mempererat persatuan bangsa. Acara tersebut bertujuan untuk saling memaafkan dan menghalalkan segala kesalahan di antara pemimpin.
Sejak saat itu, tradisi halal bihalal menjadi bagian dari agenda tahunan yang meluas di kalangan masyarakat Indonesia, dari keluarga hingga organisasi formal. Tradisi ini menjadi simbol penting dalam mempererat hubungan sosial antar individu serta mengembangkan semangat persatuan dan integrasi umat.
Tradisi halal bihalal sesungguhnya sudah dipraktikkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Dalam manuskrip Babad Cirebon CS 114/PNRI halaman 73 yang berbahasa Arab Pegon, terdapat istilah halal bihalal yang merujuk pada kegiatan saling memberi maaf dan meminta restu.
Lebih jauh lagi, pada abad ke-18, tradisi ini sudah diterapkan di Praja Mangkunegara Surakarta. Raja Mangkunegara I, setelah Idul Fitri, mengadakan pertemuan antara raja dengan punggawa serta prajurit untuk saling sungkem, yang menandai pentingnya pertemuan dan memaafkan setelah masa suci Ramadan.
Dari sudut pandang spiritual, halal bihalal mengandung nilai-nilai yang sangat mendalam dalam Islam. Tradisi ini mengajarkan prinsip saling memaafkan, kerendahan hati, dan mempererat ukhuwah (persaudaraan) di antara umat Muslim. Setiap pelaksanaan halal bihalal memberikan kesempatan bagi individu untuk introspeksi dan bertobat atas kesalahan-kesalahan yang mungkin telah dilakukan selama periode sebelumnya.
Selain itu, halal bihalal juga berfungsi sebagai momen untuk memperbaiki hubungan sosial yang mungkin terdistorsi. Memaafkan dalam konteks ini bukan hanya sekadar ritual fisik, melainkan sebuah langkah penting untuk menyucikan hati dan membuka jalan bagi kedamaian. Halal bihalal mengajak umat untuk terus mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, dengan komitmen untuk memperbaiki kualitas moral dan sosial.
Momen ini juga menjadi pengingat bahwa meskipun perbedaan pandangan dan latar belakang ada, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk membina interaksi yang lebih harmonis dan penuh toleransi.
Dengan demikian, halal bihalal lebih dari sekadar tradisi tahunan, melainkan sebuah perwujudan dari nilai-nilai yang mengedepankan kedamaian, pengampunan, dan rasa persaudaraan yang lebih dalam.
(CW1)(DEL)