
Analisadaily.com, Medan - Pemilihan kepala lingkungan (kepling) yang seharusnya menjadi pesta demokrasi tingkat mikro justru banyak diwarnai kontroversi. Dari indikasi kecurangan hingga terpilihnya kepala lingkungan yang tidak berdomisili di wilayah yang mereka pimpin, menjadi sorotan serius warga dan tokoh masyarakat.
Kecurangan dan Pertanyaan Netralitas
Yudi, mantan Kepala Lingkungan dari Kelurahan Darat, Kecamatan Medan Baru, mengungkapkan kekecewaannya atas proses pemilihan yang baru saja berlangsung. Dalam kegiatan sosialisasi Perda No.9 tahun 2017 yang digelar oleh anggota DPRD Medan, Dr Lily MBA, Yudi menuturkan bahwa ia kalah dari kandidat yang bukan warga setempat.
"Dia tinggal di Lingkungan III, tapi tiba-tiba sudah jadi kepling di lingkungan saya. Bahkan tidak dilantik di kecamatan. Ini menimbulkan banyak pertanyaan," ujar Yudi.
Lebih jauh, Yudi juga menyoroti adanya dugaan keterlibatan aparatur sipil negara (ASN) dalam memobilisasi dukungan terhadap salah satu calon kepling.
Kasi Pemerintahan Kecamatan Medan Baru, Indah Simamora, yang turut hadir dalam acara tersebut, langsung merespons kekhawatiran tersebut.
“ASN harus netral. Tidak boleh memihak kepada siapapun,” tegasnya.
Domisili Dipertanyakan, Prosedur Tak Transparan
Suara serupa juga datang dari warga Kelurahan Merdeka, Penyabar Larosa. Ia mengungkapkan adanya ketidaksesuaian domisili calon kepling di wilayahnya.
“Ada tiga calon, tapi yang terpilih malah bukan warga yang tinggal di Lingkungan IV. Saya bahkan tidak pernah tanda tangan persetujuan apa pun,” katanya dengan nada kecewa.
Menurut Penyabar, proses pemilihan kepling selama ini terlalu sentralistik dan memberi wewenang besar kepada lurah atau camat. Ia menyarankan agar proses pemilihan sepenuhnya diserahkan kepada warga, bukan kepada pejabat.
“Warga yang tahu siapa warganya, bukan camat atau lurah,” tambahnya.
Aturan Tidak Dijalankan
Peraturan Daerah (Perda) No.9 Tahun 2017 sejatinya sudah mengatur dengan rinci tentang syarat dan proses pembentukan lingkungan serta pengangkatan dan pemberhentian kepling. Dr Lily MBA, anggota DPRD Medan, menyampaikan bahwa Perda ini harus menjadi acuan utama agar proses pemilihan berlangsung adil dan transparan.
“Perda ini mengatur luas wilayah lingkungan, dan syarat calon kepling. Kalau ini dijalankan, tidak akan ada lagi masalah seperti yang dikeluhkan warga,” jelasnya.
Dr Lily juga menggelar sosialisasi serupa di Medan Helvetia sehari sebelumnya, menunjukkan bahwa permasalahan pemilihan kepling bukan hanya terjadi di satu kecamatan.
Minim Pengawasan
Dari masalah tersebut, akar masalahnya terletak pada lemahnya pengawasan dan belum maksimalnya peran masyarakat dalam proses seleksi. Banyak warga yang tidak dilibatkan secara langsung, sehingga keputusan kerap dirasa tidak mewakili aspirasi.
Proses yang tertutup juga membuka ruang bagi praktik nepotisme dan manipulasi dukungan. Lemahnya validasi domisili calon serta kurangnya keterbukaan informasi memperparah krisis kepercayaan.
Dampak Sosial dan Kepercayaan Publik
Kontroversi ini bukan sekadar peristiwa administratif. Kepling sebagai garda terdepan pelayanan publik memiliki peran vital dalam menghubungkan masyarakat dengan pemerintah. Jika kepercayaan terhadap proses pemilihannya runtuh, maka efektivitas tugas kepling juga akan terganggu.
Warga menuntut perubahan. Mereka ingin kepling yang benar-benar hadir, tinggal, dan peduli terhadap lingkungan yang mereka pimpin. (MC)
(BR)