
War Djamil (analisadaily/istimewa)
REAKSI dari Dewan Pers atas terbitnya Perpol Nomor 3/2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian terhadap Orang Asing. Dewan Pers minta Perpol itu ditinjau kembali. Dewan Pers lebih menitikberatkan sorotannya pada sisi yang memungkinkan terkait kerja-kerja jurnalis.
Nah. Tatkala kita lihat "Penjelasan" atas UU Nomor 40 Tahun 1999 ini, ternyata pasal-16 hanya tertera : Cukup jelas.
Hal lain terkait modal asing pada perusahaan pers di Indonesia. Lihat pasal 11 UU Pers : "Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal".
Jika membalik ke "Penjelasan" UU Pers ini, untuk pasal-11, tercantum kalimat : Penambahan modal asing pada perusahaan pers dibatasi agar tidak mencapai saham mayoritas dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terhadap Perpol No.3/2025 itu, berbagai pihak melihat dari sisi tertentu. Tujuan kehadiran Perpol ini diyakini agar pengawasan fungsional terhadap orang asing, dapat dilakukan dengan baik dan lebih efektif.
Tentu pihak lain dengan tujuan positif, berpendapat ada hal-hal yang perlu dikoordinasikan. Dibicarakan bersama. Sehingga tidak tumpang tindih. Termasuk misalnya orang asing yang dalam profesi pers dengan tujuan peliputan di Indonesia, tentu ada bentuk pengawasan khusus.
Di mancanegara. Pengawasan terhadap orang asing dalam profesi pers berlaku kebijakan khusus. Adalah biasa, jika kita mendengar visa yang diajukan tidak diterima alias ditolak, sehingga wartawan tak gagal meliput event atau suatu hal yang mereka anggap menarik.
Pemberitahuan visa "tidak dapat diterima", tanpa alasan. Beberapa negara tak menyebut alasan spesifik bagi wartawan yang mengajukan visa. Bahkan dalam jangka waktu lama dinantikan, lalu muncul kabar bahwa visa tidak diterima. Kadangkala, konsulat tak menyebut visa ditolak. Begitulah, trik diplomasi.
Negara tertentu, tak mempersoalkan tentang lahirnya anggapan pers dunia bahwa negara itu membatasi kemerdekaan pers. Hal terpenting, kebijakan pemerintahnya tak ingin berita negatif dengan liputan wartawan pemohon visa tadi.
Apalagi, jika di negara tersebut sedang bergolak isu politik, penggantian kepala negara, kerusuhan akibat situasi ekonomi anjlok dan hal lain tergolong sensitif.
Hal sama tatkala pengajuan visa, ternyata diketahui pemohon dalam profesi pers, meski tujuan menghadiri seminar atau ingin wisata spesial. Tak jarang, visa tidak dikabulkan.
Kesimpulan. Adalah biasa kebijakan negara-negara, dalam hal pengawasan terhadap orang asing, sangat variatif. Tergantung sikap pemerintah negara itu.
Juga sering muncul omelan publik. Visa diajukan dengan biaya tergolong besar, di atas satu juta rupiah.Namun, saat diberitahu visa ditolak, biaya itu tidak dikembalikan. Publik hanya menduga mungkin itulah biaya proses visa, mulai dari konsulat (konsulat jenderal) lalu di kedutaan dan ke ibu kota negaranya. Proses panjang dan biaya besar (?). Entahlah.
Bagi kalangan wartawan, hendaknya sejak awal memaklumi. Kalau pengajuan visa, siap mental jika dikabarkan visa tidak diterima (= ditolak).
Lain hal, tatkala menjadi undangan. Apalagi, jika lewat konsulat/kedutaan. Proses lancar. Karena, yang diundang memang sudah mereka seleksi atau sudah diketahui "siapa wartawan" ini. Kira-kira begitulah.
Berita kiriman dari: War Djamil