Penggugat Mestron Siboro (kiri) bersama saksi Mardongan Sigalingging, Leonardo Sigalingging dan kuasa hukum Tahi Purba di sela sidang perkara perdata di Pengadilan Negeri Sidikalang, Dairi, Rabu (16/4). (Analisadaily/Sarifuddin Siregar)
Analisadaily.com, Sidikalang - Mardongan Sigalingging mantan Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Dairi menegaskan tanda tangannya di Kuitansi pembayaran rumah adalah palsu.
“Saya tidak pernah menandatangani kuitansi senilai Rp250 juta," ungkap Mardongan saat memberi kesaksikan perkara perdata kepemilikan rumah di Pengadilan Negeri Sidikalang, Rabu (16/4).
Sertifikat kepemilikan rumah telah beralih atas nama tergugat, Rosintan Siboro. Sedang penggugat adalah Mestron Siboro mantan pejabat Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Rumah itu sebelumnya ditempati Mardongan bersama anaknya Leonardo Sigalingging. Saat itu, sertifikat atas nama Leonardo.
Penegasan tanda tangan palsu muncul saat kuasa tergugat, Agustinus menunjukkan sehelai kertas surat dan kuitansi kepada majelis. Isinya menyebut Mardongan menerima Rp 250 juta dari Rosintan tertanggal 10 Februari 2012.
“Jaman sekarang, apa yang tidak bisa dipalsukan. Uang pun bisa dipalsukan, apalagi tanda tangan," ujar Mardongan.
Sidang dipimpin Mohammad Iqbal Fahri Junaedi Purba. Hakim anggota atas nama Satria Satronikhama Waruwu dan Guntar Frans Gerry.
Iqbal dan Satria kembali mengulangi soal tanda tangan dimaksud. Mardongan bersikeras itu tanda tangan palsu. Dalam sidang, Mardongan mengungkap pihak yang melakukan penawaran harga rumah dan menunjukkan uang adalah Mestron. Disepakati, harga Rp 500 juta.
“Pertemuan pertama, tanya harga. Selang beberapa jam pada hari yang sama, Mestron membawa uang dalam plastik disebut senilai Rp 500 juta," kata Mardongan.
Ditanya Satria mengapa tidak langsung dituntaskan? Mardongan menyebut, dirinya harus mempersiapkan semua dokumen. Karenanya, Mestron menyampaikan, uang akan diserahkan ke Rosintan untuk kemudian diselesaikan.
Pada pertemuan kedua, Mestron mengatakan, akan datang lagi untuk mernandatangani akte jual beli. Menurut Mardongan, pembayaran pertama diserahkan Rosintan senilai Rp 150 juta. Namun dia kecewa lantaran dari setiap ikatan 10 juta, berkurang 1 lembar. Total Rp 1,5 juta. Itu diketahui ketika dihitung di Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Pembayaran kedua cukup lama. Seorang bernama Parman dirasanya mempersulit pembayaran. Dalihnya, terlalu mahal. Harusnya, tanah di samping juga ikut. Padahal rumah dan harga sudah
deal dengan Mestron. Belakangan, Parman menstransfer Rp 340 juta.
Diterangkan, akte jual beli diurus saat pembayaran kedua belum lunas. Kala itu, Mardongan percaya dengan Rosintan karena menyebut dia adalah ito (saudara) terbaik.
“Rosintan mengaku hasiannya Mestron dan Mestron mengakui Rosintan ito ‘hasiannya’. Makanya saya percaya," ucap Mardongan.
Penjelasan Mardongan, ia bersama istri boru Silalahi ke kantor notaris Poppy Tampubolon untuk membayar uang administrasi akte jual beli sebesar Rp16 juta. Satria kemudian mencecar Mardongan. Darimana munculnya angka Rp 168 juta dalam AJB.
“Saya tidak pernah dengar angka itu. Saya tidak pernah lihat AJB-nya," jawab Mardongan.
Tergugat dari BPN mempertanyakan, kenapa rumah Mardongan dibuat atas nama Leonardo? Mardongan merespons, dalam adat Batak, bisa diwariskan ke anak. Apalagi, Leonardo adalah anak tunggal.
“Saya ingin Leo betah di Sidikalang. Makanya saya bikin atas namanya. Lagian, saya ingin membahagiakannya," ujar Mardongan.
Terpisah, kepada wartawan, Leonardo menyebut, tidak pernah bertemu dengan Rosintan. Hal itu disampaikan membantah panjar Rp10 juta dari Rosintan sebagaimana kwitansi ditunjukkan kuasa hukum Rosintan. Leonardo mengungkapkan, dalam akte jual beli yang diurus, tidak ada nama pembeli.
“Kolom pembeli masing kosong. Yang ada hanya nama saya dan mantan istri, boru Naibaho. Soal harga Rp168 juta, tidak pernah dibicarakan dengan notaris, Mungkin, notarislah itu," ujar Leonardo.
Tergugat 1, Rosintan dan tergugat 2 Poppy tidak mengajukan pertanyaan lepada Mardongan. Sidang akan dilanjut mendengar saksi tergugat.
(SSR/CSP)