Nenek 91 Tahun Jadi Saksi Perkara Rumah Antar Anak Kandung

Nenek 91 Tahun Jadi Saksi Perkara Rumah Antar Anak Kandung
Majelis hakim PN Sidikalang Kabupaten Dairi mendengar keterangan saksi nota bene ibu kandung penggugat dan tergugat perkara kepemilikan rumah, Rabu (30/4) (Analisadaily/Sarifuddin Siregar)

Analisadaily.com, Sidikalang - Seorang nenek berusia 91 tahun menjadi saksi perkara perdata antar anak kandung di Pengadilan Negeri Sidikalang Kabupaten Dairi, Rabu (30/4). Perempuan dimaksud adalah Karolina Sagala. Statusnya janda, tinggal bersama tergugat.

Perkara dimaksud adalah kepemilikan rumah atas nama Rosintan Siboro, sekaligus tergugat. Sedang penggugat adalah Mestron Siboro, purna bhakti dari kepolisian dengan pangkat terakhir Komisaris Besar.

Karolina diajukan sebagai saksi oleh Rosintan melalui kuasa hukum Agustinus. Tergugat juga mengajukan saksi lainnya diantaranya Suparman Siboro personel TNI Angkatan Laut beralamat di Manokwari dan Kolestra Siboro disebut-sebut perwira menengah di Mabes Polri.

Sidang dipimpin hakim ketua, Mhd Iqbal Fahri Junaedi Purba. Hakim anggota Satria Satronikhama Waruwu dan Guntar Frans Gerry. Kesaksian dimulai dari pengajuan pertanyaan Agustinus terkait kwitansi senilai Rp10 juta per 7 Februari 2012.

“Setelah ditolak dari RSUD Sidikalang lantaran sakit, benarkah saksi bersama anaknya singgah di rumah Mardongan di Jalan Pahlawan Sidikalang untuk memberi panjar?" tanya Agustinus.

Menurut Karolina, hari itu setelah makan pagi, mereka hendak berobat ke Medan. Dalam perjalanan, tampak plank bertuliskan rumah dijual. Rombongan sebanyak 7 orang, dalam 2 mobil. Dia berada di mobil Mestron.

Menurutnya, rombongan turun. Anaknya, Suparman mengambil uang sebanyak Rp10 juta diserahkan ke Mardongan. Pertemuan berlangsung selama 1 jam.

Seterusnya, perjalanan lanjut ke Medan dan menginap di rumah Mestron. Dia berobat di RS Adven tanggal 8 Februari, masuk di ruang UGD. Penanganan medis selama 3 hari. Kemudian kembali ke Sidikalang. Karolina menyebut, diantar pulang oleh Suparman.

“Dalam perjalanan pulang, kami berhenti di rumah Mardongan. Suparman menyerahkan uang pembayaran sebesar Rp250 juta kepada Mardongan,” kata Karolina.

“Dalam kondisi kesehatan serius, masih sempat ibu memikirkan negosisasi rumah? Secara analogi, ini sukar diterima,” ujar Satria.

Sesuai penjelasan Karolina, kata Satria, bahwa saksi telah ‘disuapi’ makanan ‘hati lembu’ akibat sakit. Acara dilakukan secara kekeluargaan dan adat. Dalam kebiasaan, itu artinya, umur bakal tidak panjang. Kalau saya konstruksikan, keterangan Karolina tidak sinkron dengan keterangan saksi yang diajukan Mestron.

“Tolong ibu bicara jujur. Yang berperkara adalah anak kandung saksi. Setiap keterangan berimplikasi hukum,” tandas Satria.

Satria kemudian bertanya, uang siapa untuk pembelian rumah. Menurut Karolina, dana pembelian ditalangi 3 putranya, yakni Mestron, Suparman dan Kolestra. Namun dia tidak tahu uang siapa paling banyak.

“Masak ibu tidak tahu?” kata Satria.

Ketika memberi kesaksian, Karolina didampingi putrinya, Dewi Siboro. Kehadirannya, untuk membantu menerjemahkan atau memperjelas pertanyaan. Namun, Satria mengeluarkan Dewi lantaran mempengaruhi.

“Keluar,” tegas Satria.

Perempuan itu melangkah lalu duduk di kursi pengunjung. Karolina menerangkan, Rosintan bersama Merdi Simanjuntak pindah dari Samosir ke Sidikalang. Itu akibat Simanjuntak sakit di bagian perut. Sesudahnya muncul lagi penyakit di bagian tenggorokan. Menantu tidak bisa bicara tetapi bisa bekerja dan menyetir mobil. Penjelasan Karolina, Merdi tidak ikut ketika saksi hendak berobat ke Medan.

“Kenapa Merdi tidak ikut? Kan menantu? Bisanya nyetir,” tanya Satria.

Pada kesempatan itu, Satria berbicara dengan nada tinggi. “Di sini, banyak bukti palsu. Tolong ibu bicara jujur. Dalam kesaksian lainnya, Mardongan menyebut, tidak pernah menandatangani kwitansi Rp250 juta,” tegas Satria.

Satria menyebut, sesuai keterangan Karolina, Merdi bisa beraktivitas. Namun dalam akte jual beli, menantu tidak ikut tanda tangan. Padahal, rumah itu adalah untuk suami istri.

“Mungkin dilarang anakku. Begitulah,” jawab Karolina.

Karolina memaparkan, Mestron pernah marah meminta sertifikat diberikan. Mereka diusir. Karenanya, ia dan Rosintan pindah ke Lae Mbulan. Namun di sana, dia kurang sehat.

Karolina minta tolong kepada putranya, Kuatson Siboro beralamat di Batang Beruh. Tujuannya agar diijinkan tinggal di rumah dimaksud. Diakui, sertifikat telah diserahkan melalui Kuatson.

Menjawab pertanyaan kuasa hukum penggugat, Tahi Purba dan Ranto Sibarani, Karolina menerangkan, memiliki 11 anak. Pun begitu, tidak ada yang memberi perhatian khusus.

Karolina menyebut, dia pernah dibawa Mestron berobat ke Penang. Istri kedua Mestron, Lina Sihite pernah memberinya perhiasan emas.

“Kujualnya itu, biar ada makanku,” kata Karolina.

Iqbal memaparkan, perkara ini bisa didamaikan. Sebenarnya, bisa diselesaikan di keluarga. Tidak perlu sampai ke pengadilan. Tergantung ibu. Penggugat menggaransi, ibu tetap tinggal di sana selama hidup.

“Berilah keterangan jujur, Bicara seperti air mengalir. Sebenarnya, uang siapa yang membeli rumah itu,” kata Iqbal.

Karolina tetap bersikukuh, uang pembelian berasal dari Mestron, Suparman dan Kolestra. Dia tidak tahu bagaimana pembayaran atas kekurangan dari harga jual beli rumah Rp500 juta.

Sidang dilajut mendengar keterangan saksi lainnya.

Diberitakan, gugatan dilajukan lantaran Mestron merasa rumah tersebut merupakan haknya. Uang pembelian Rp500 juta adalah miliknya yang diserahkan ke Rosintan untuk pembayaran tahun 2012.

Belakangan, rumah dialihkan atas nama Rosintan tanpa sepengetahuan Mestron, Kini, sertifikat berada di tangan Mestron tetapi tidak bisa dialihkan.

(SSR/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi