Boikot, dari Solidaritas Emosional ke Risiko Ekonomi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Boikot, dari Solidaritas Emosional ke Risiko Ekonomi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Boikot, dari Solidaritas Emosional ke Risiko Ekonomi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Analisadaily/istimewa)

Analisadaily.com, Jakarta -- Gerakan boikot terhadap produk yang diduga terafiliasi Israel dinilai dapat menjadi bumerang bagi Indonesia. Meskipun sebagai bentuk solidaritas atas agresi biadab Israel ke warga Palestina, namun gerakan ini berdampak serius bagi ekonomi nasional apabila dilakukan tanpa dasar dan data akurat serta kebijakan negara yang terarah.

"Memang ini bentuk ekspresi emosional ya, tapi secara natural walaupun dalam jangka pendek itu berdampak secara ekonomi nasional," kata Pakar Ekonomi, Nurizal Ismail di Jakarta, Minggu (25/5/2025).

Pengajar di International Islamic University Malaysia ini mengatakan, boikot terhadap produk-produk yang dilakukan di Indonesia harus dilakukan mengacu pada data akurat agar tidak berdampak bagi warga di dalam negeri. Apalagi, perekonomian dunia saat ini, termasuk juga Indonesia tengah mengalami penurunan.

Salah satu dampak paling nyata yang mulai muncul adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan-perusahaan yang menjadi sasaran boikot. Nurizal menyebut bahwa banyak perusahaan multinasional yang menyerap ribuan tenaga kerja lokal berangkat dari sektor produksi hingga distribusi, mulai melakukan efisiensi.

"Ketika omset turun drastis akibat boikot, PHK menjadi pilihan cepat. Dan itu bukan hanya angka melainkan nasib manusia," tegasnya.

Dia mengatakan bahwa banyak dari perusahaan yang diboikot juga berkontribusi besar terhadap penerimaan negara dalam bentuk pajak. Jika tekanan berlanjut. Artinya, sambung dia, bukan hanya tenaga kerja yang terancam, tetapi juga pendapatan negara.

Nurizal mengatakan, PHK yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut nantinya akan menimbulkan gejolak sosial di tengah masyarakat. Dia mengatakan, lonjakan pengangguran secara mendadak bisa memicu keresahan sosial, menurunkan daya beli masyarakat, hingga memperlebar kesenjangan ekonomi.

Dia berpendapat, dalam jangka panjang maka hal ini bisa menggoyang stabilitas nasional jika tak segera diantisipasi. Ekonom Mumtaz Foundation ini melanjutkan, boikot yang dilakukan tanpa data akurat juga akan membuat iklim investasi menjadi tidak ramah sehingga investor enggan menanamkan modal atau bisa jadi hengkang dari Tanah Air.

Lebih lanjut, Nurizal mengatakan bahwa yang lebih merugikan adalah boikot yang dilakukan atas dasar persaingan usaha, bukan kemanusiaan. Dia menjelaskan, artinya ada pihak tertentu yang menunggangi aksi kemanusiaan ini untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Menurutnya, hal itu bisa dilihat dari adanya indikasi bahwa boikot digunakan sebagai senjata dalam persaingan usaha yang tidak sehat. Dia mengungkapkan, produk-produk tertentu difitnah sebagai terafiliasi dengan Israel padahal tidak. Dia mengatakan, kondisi ini bukan lagi solidaritas tetapi manipulasi pasar.

Dia mewanti-wanti agar jangan sampai produk yang sebenarnya tidak terafiliasi tetapi karena ada saham dari luar negeri akhirnya terdampak dan menjadi korban boikot. Padahal, sambung dia, itu merupakan produk lokal yang telah menyerap tenaga kerja dan melakukan banyak kegiatan positif bagi masyarakat.

"Jadi bisa ada penumpang gelap yang bermain. Produk-produk tertentu yang sebenarnya lokal tapi difitnah sebagai terafiliasi dengan Israel padahal tidak," katanya.

Sebabnya, dia menekankan validitas dan verifikasi data menjadi kunci dalam menentukan target boikot. Dia menekankan masyarakat mengacu pada sumber-sumber kredibel seperti gerakan BDS atau BDS Movement dan PBB yang sudah terorganisir secara internasional serta sudah lama melakukan boikot.

"Kalau boikot pakai data viral dari medsos yang tidak jelas sumbernya, produk lokal pun bisa ikut rusak karena salah sasaran," katanya.

(NAI/NAI)

Baca Juga

Rekomendasi