Menjemput Keadilan dari Pinggiran: Menguatkan Peran DPD RI dalam Rancang Bangun Negara (analisadaily/istimewa)
Di tengah riuh rendah demokrasi Indonesia, terdapat satu lembaga yang kerap terabaikan dalam percakapan-percakapan besar mengenai arah kebijakan bangsa: Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Lembaga ini lahir dari semangat luhur reformasi—yakni untuk memperkuat suara daerah dalam sistem pemerintahan yang selama puluhan tahun terpusat di ibu kota. Namun, lebih dari dua dekade sejak kelahirannya, DPD RI masih tertatih-tatih dalam menjalankan peran strategis yang semestinya menjadi ruh keberadaannya.
Ibarat mata air di hulu yang jernih namun terhambat alirannya, aspirasi daerah sering tak menemukan muara dalam kebijakan nasional. DPD RI hadir sebagai jembatan antara pusat dan daerah, namun sayangnya jembatan itu belum sepenuhnya kokoh. Oleh karena itu, sudah waktunya dilakukan penguatan peran DPD RI secara nyata dan terstruktur. Dua langkah strategis layak diambil sebagai bagian dari usaha ini: mendorong keterlibatan DPD dalam pengambilan keputusan fiskal dan legislasi daerah melalui dukungan regulatif yang memadai.
Menghidupkan Nafas Keadilan Fiskal melalui Inpres
Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mendorong diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) yang secara eksplisit mengatur keterlibatan DPD RI dalam perumusan dan penetapan kebijakan fiskal yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat daerah.
Selama ini, pembagian dana pusat ke daerah, seperti Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), masih sering dilakukan tanpa sentuhan aspirasi lokal yang memadai. Padahal, siapa yang lebih memahami denyut nadi daerah jika bukan wakil-wakil yang lahir dari rahim daerah itu sendiri?
Melalui Inpres, DPD bisa diberi peran aktif dalam menyusun formula distribusi fiskal yang lebih adil, berkelanjutan, dan kontekstual. Keterlibatan DPD dalam penyusunan APBD dan pelaksanaan Musrenbang juga akan memperkuat akuntabilitas dan legitimasi publik terhadap proses pembangunan daerah. Dengan begitu, pembangunan tidak lagi dipahami sebagai proyek dari atas, tetapi sebagai buah musyawarah dari bawah yang tumbuh dari akar kebutuhan rakyat.
Inpres semacam ini bukan sekadar instrumen administratif. Ia adalah penanda niat politik—bahwa negara benar-benar hadir untuk mendengarkan suara yang selama ini datang dari pinggiran.
Revisi UU Pemda: Jalan Menuju Kesetaraan Kelembagaan
Langkah kedua yang tak kalah penting adalah mendorong revisi terhadap Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah sebagai jalan memperkuat posisi hukum dan peran substantif DPD RI. Saat ini, DPD hanya memiliki kewenangan memberi pertimbangan yang tidak mengikat dalam proses legislasi, terutama yang berkaitan dengan otonomi daerah. Posisi ini menjadikan DPD sebagai pelengkap belaka, bukan mitra sejajar dalam sistem ketatanegaraan.
Dalam revisi UU Pemda mendatang, sudah sepatutnya dimasukkan pasal-pasal yang mengatur keterlibatan DPD dalam proses pembentukan regulasi yang berdampak pada kehidupan daerah. Pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan desentralisasi, tata kelola pemerintahan daerah, fiskal daerah, hingga pembangunan wilayah perbatasan, harus bersifat mengikat. Tidak cukup hanya menjadi catatan kaki dalam proses legislasi nasional.
DPD juga perlu diberikan peran sebagai pengawas pelaksanaan otonomi daerah secara menyeluruh. Dalam kapasitas ini, DPD dapat menjalankan fungsi evaluatif terhadap efektivitas hubungan pusat dan daerah, termasuk pelaksanaan kewenangan konkuren yang seringkali kabur dalam praktiknya.
Langkah ini bukan semata demi memperkuat lembaga DPD RI, melainkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang menyangkut jutaan masyarakat di luar Jakarta benar-benar dibentuk dengan pemahaman yang menyeluruh terhadap realitas daerah.
Menjadikan Daerah sebagai Jantung Republik
Indonesia bukan sekadar Jakarta. Ia adalah Aceh hingga Papua, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas ke Rote. Jika kita ingin membangun bangsa yang adil, maka keadilan itu harus dimulai dari cara kita merancang keputusan. Daerah tidak bisa lagi dipandang sebagai objek pembangunan yang harus mengikuti perintah pusat, melainkan subjek yang punya suara, kehendak, dan kekuatan untuk menentukan nasibnya sendiri.
DPD RI, jika diberi peran yang sepadan, dapat menjadi pilar penting dalam menciptakan negara yang benar-benar majemuk namun utuh, plural namun bersatu. Penguatan peran DPD RI bukan sekadar agenda politik kelembagaan, melainkan bagian dari proyek besar memperbaiki watak demokrasi kita: dari demokrasi prosedural menjadi demokrasi substantif yang mendengar, memahami, dan merangkul semua suara, tak terkecuali yang datang dari pelosok.
Harapan dari Timur dan Barat
Di ruang-ruang senyap Musrenbang desa, di lorong-lorong perbatasan yang jauh dari pusat kekuasaan, dan di balik gunung-gunung yang tak pernah disebut di rapat kabinet—di sanalah harapan akan Indonesia yang adil disemaikan. Harapan itu hanya akan tumbuh bila DPD RI diberi alat, ruang, dan kewenangan untuk menjadi penyambung suara mereka.
Menguatkan DPD RI bukan soal politik, tetapi soal moral: maukah kita menjadi bangsa yang mendengar seluruh rakyatnya
Berita kiriman dari: Pdt Penrad Siagian