Memutus Rantai Stunting lewat Jalur Pendidikan

Memutus Rantai Stunting lewat Jalur Pendidikan
Felly Ardan, Project Management Unit Coordinator Tanoto Foundation (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Felly Ardan

Analisadaily.com, Medan - Di balik tubuh kecil seorang anak yang mengalami stunting, tersembunyi potensi besar yang terancam tak berkembang. Stunting bukan semata persoalan tinggi badan yang tak sesuai usia. Lebih dari itu, stunting adalah krisis yang bisa menurunkan kapasitas intelektual anak, melemahkan semangat belajar, dan membatasi akses mereka terhadap masa depan yang sehat, produktif, dan berkualitas.

Angka stunting di Indonesia masih tinggi. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat prevalensi stunting sebesar 21,5 persen. Artinya, dua dari setiap sepuluh anak Indonesia mengalami gangguan pertumbuhan yang bisa berdampak seumur hidup. Angka ini hanya sedikit menurun dari 21,6 persen pada tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa tantangan dalam menekan stunting masih besar.

Lebih dari Sekadar Kurang Gizi

Stunting sering kali dipahami secara sempit sebagai akibat dari kurang makan atau ketidakcukupan gizi. Padahal, penyebabnya lebih kompleks. Selain kekurangan asupan nutrisi, infeksi berulang, minimnya stimulasi psikososial, serta pola pengasuhan yang tidak optimal juga berkontribusi besar.

Anak yang mengalami stunting bukan hanya akan tumbuh lebih pendek dari teman seusianya, tetapi juga berisiko mengalami penurunan kecerdasan (IQ). Anak-anak ini bisa mengalami kesulitan dalam berpikir logis, memecahkan masalah, dan berkonsentrasi di kelas. Mereka juga cenderung kurang percaya diri, lebih pasif dalam interaksi sosial, dan akhirnya tertinggal dalam capaian akademik.

Lebih jauh, stunting memperbesar potensi anak untuk mengalami kesenjangan pendidikan. Anak yang kesulitan belajar cenderung mengalami frustasi, kehilangan motivasi, dan berisiko putus sekolah. Dalam jangka panjang, ini berujung pada siklus kemiskinan antargenerasi yang sulit diputus.

Mengapa Pendidikan adalah Kunci

Di tengah kompleksitas masalah stunting, pendidikan muncul sebagai alat transformasi yang sangat kuat. Selama ini kita berpikir bahwa gizi yang baik diperlukan agar anak bisa belajar dengan baik. Tapi, mari kita balik sudut pandangnya: bisakah pendidikan menjadi alat utama untuk memperbaiki gizi anak dan mencegah stunting?

Jawabannya: bisa dan sangat mungkin.

Pendidikan, baik formal maupun nonformal berperan penting dalam membentuk kesadaran dan perilaku orang tua, keluarga, serta masyarakat luas terhadap pola asuh dan pemenuhan gizi anak. Ibu yang teredukasi dengan baik tentang pentingnya protein hewani, porsi makan anak, atau manfaat ASI eksklusif selama enam bulan, akan lebih mampu merawat anaknya agar tumbuh optimal.

Sayangnya, masih banyak keluarga di Indonesia yang belum memiliki akses pada pengetahuan dasar seputar pola makan sehat, sanitasi, atau praktik pengasuhan yang tepat. Di sinilah pendidikan menjadi jembatan penting. Intervensi pendidikan melalui penyuluhan, pelatihan, atau materi dalam kurikulum bisa mengisi kekosongan tersebut.

Sekolah dan Rumah: Sinergi Kritis untuk Tumbuh Kembang Anak

Pengalaman Tanoto Foundation membuktikan bahwa pelibatan orang tua dalam proses pendidikan anak dapat menjadi penopang penting dalam situasi krisis. Selama pandemi, misalnya, para orang tua di 96 sekolah mitra di empat kabupaten/kota dibekali pelatihan untuk mendampingi anak belajar di rumah.

Hasilnya, semangat belajar tetap terjaga meski sekolah tutup. Ini membuktikan bahwa ketika rumah dan sekolah bersinergi, anak tetap mendapatkan lingkungan yang mendukung tumbuh kembangnya.

Pendekatan serupa dapat diterapkan untuk edukasi gizi dan pengasuhan anak usia dini. Sekolah tidak hanya sebagai tempat belajar kognitif, tetapi juga sebagai sentra perubahan perilaku. Melalui kerja sama lintas sektor seperti dengan puskesmas, kader posyandu, dan tokoh masyarakat. Sekolah juga dapat memberikan pemahaman praktis kepada orang tua tentang pentingnya pola makan sehat dan stimulasi yang tepat.

Salah satu cara efektif yang sudah dilakukan di berbagai sekolah adalah melalui forum orang tua kelas. Forum ini bukan sekadar ajang informasi satu arah, tapi ruang interaksi tempat orang tua saling bertukar pengalaman dari cara menyajikan makanan sehat yang disukai anak, hingga menjaga kebersihan lingkungan rumah. Ketika praktik baik ini menyebar luas, kita menciptakan gerakan kecil yang berdampak besar.

Stunting: Tantangan Nasional, Tanggung Jawab Bersama

Menghadapi masalah stunting tidak cukup dengan pendekatan sektoral. Ini adalah persoalan yang saling terhubung: antara kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan budaya. Karena itu, solusi yang dibutuhkan pun harus lintas sektor dan lintas aktor.

Pemerintah telah menetapkan target menurunkan prevalensi stunting menjadi 14 persen pada 2024. Program seperti bantuan pangan bergizi, intervensi kesehatan, dan kampanye publik terus digalakkan. Namun, efektivitas program sangat bergantung pada perubahan perilaku masyarakat, yang tak bisa dicapai dalam semalam.

Di sinilah pentingnya kolaborasi multipihak. Pendekatan berbasis komunitas dapat dilakukan dengan menggandeng berbagai peran, mulai dari tokoh adat, pemuka agama, hingga kader desa. Bersama Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS), mereka tidak hanya menyosialisasikan informasi, tapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa pencegahan stunting adalah tanggung jawab bersama.

Lebih jauh, pendidikan harus menjadi bagian integral dari strategi jangka panjang. Kurikulum di tingkat dasar bisa mengintegrasikan materi seputar kesehatan dan gizi anak, sementara jenjang pendidikan tinggi terutama di fakultas keguruan dan keperawatan—dapat memperkuat kapasitas calon profesional untuk berperan dalam pencegahan stunting.

Mewujudkan Indonesia Emas Tanpa Stunting

Stunting dan pendidikan adalah dua isu yang saling terkait dan saling memengaruhi. Anak yang sehat dan bergizi baik akan lebih siap belajar, berinteraksi, dan tumbuh menjadi pribadi yang produktif. Sebaliknya, pendidikan yang baik akan melahirkan orang tua yang sadar gizi, sekolah yang peduli tumbuh kembang, dan masyarakat yang mendukung pemenuhan hak anak sejak dini.

Menuju Indonesia Emas 2045, investasi terbesar kita bukan hanya pada teknologi atau infrastruktur, tapi pada anak-anak kita hari ini. Mereka adalah modal sosial dan manusia masa depan. Jika kita gagal menjamin tumbuh kembang mereka sejak dini, kita sedang mempertaruhkan masa depan bangsa.

Memutus rantai stunting tak cukup dengan memberi makan, kita harus memberi pengetahuan. Dan pendidikan adalah jembatan utama menuju perubahan itu.

*Penulis adalah Project Management Unit Coordinator Tanoto Foundation

(DEL)

Baca Juga

Rekomendasi