
Analisadaily.com, Jakarta — Badan Akuntabilitas Publik (BAP) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI memfasilitasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait pengaduan masyarakat mengenai sengketa tanah. Rapat ini berlangsung di Ruang Rapat Kutai, Gedung B Lantai 3, Kompleks DPD RI, Jakarta, Senin, 30 Juni 2025.
Dalam pertemuan tersebut, BAP DPD RI menghadirkan sejumlah pihak terkait, di antaranya perwakilan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Pertanian, serta Kementerian Transmigrasi.
RDP ini menjadi wadah bagi sejumlah kelompok tani untuk menyampaikan persoalan yang mereka hadapi di lapangan.
Hadir sebagai pengadu antara lain perwakilan Kelompok Tani Sejahtera dari Desa Sungai Payang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur; Kelompok Tani Cinta Alam Lestari, Kalimantan Timur; serta Forum Kaum Tani Laucih (FKTL) dari Sumatra Utara.
Berbagai masalah di lapangan diutarakan para petani. Salah satunya terkait penguasaan lahan yang dinilai merugikan masyarakat dan praktik penggusuran warga dari tanah yang telah mereka tempati turun-temurun.
Menanggapi aduan tersebut, hasil rapat menyepakati pembentukan tim investigasi mandiri BAP DPD RI.
Tim ini akan menindaklanjuti setiap aduan dan memastikan penanganan masalah sengketa tanah berjalan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Dalam rapat, Anggota BAP DPD RI Pdt. Penrad Siagian memberikan tanggapan keras terkait ketidakhadiran pihak PTPN II yang dinilai berperan dalam konflik lahan dengan FKTL Sumatra Utara.
"Ini PTPN lagi tidak hadir. Ini korporat pelat merah paling jahat di republik ini," tegas Penrad di hadapan peserta rapat, seperti mengutip keterangan resminya, Jumat (4 /72025).
Penrad menegaskan bahwa pemanggilan PTPN II memiliki dasar konstitusional. Namun, ketidakhadiran pihak PTPN dinilai bentuk arogansi.
"Saya pernah bilang di depan kementerian, 'coba tunjukkan mana PTPN di republik ini yang tidak punya masalah'. Ini arogan sekali mereka. DPD RI memanggil secara konstitusional karena kita punya payung hukum, tetapi mereka tidak hadir tanpa konfirmasi apa pun," ujarnya.
Penrad juga mengkritisi praktik internal PTPN yang menurutnya sarat persoalan, termasuk dugaan korupsi dan penyaluran dana tanpa kejelasan.
"Memang republik ini punya PTPN? Tidak! Saya sedang investigasi beberapa PTPN, karena ada indikasi korupsi besar-besaran di dalamnya," katanya.
Ia menceritakan pengalamannya berhadapan dengan pihak PTPN yang memberikan uang tali asih kepada masyarakat, namun sumber uang tersebut diragukan keabsahannya.
"Saya pernah berhadapan dengan salah satu PTPN yang memberikan tali asih kepada masyarakat yang berkonflik. Kemudian saya bertanya uang tali asih itu uang negara apa tidak, tetapi mereka tidak mengaku. Karena kalau uang negara, masuk penjara itu semua," ungkap Penrad.
Lebih jauh, Penrad memaparkan sejarah panjang konflik tanah di wilayah FKTL. Ia menegaskan bahwa masyarakat setempat memiliki bukti sah bahwa lahan tersebut dulunya hanya dipinjam untuk kepentingan perkebunan pada masa kolonial.
"FKTL ini memiliki surat bahwa tanah mereka dipinjam oleh Belanda untuk perkebunan. Tetapi ketika republik ini merdeka, semua dirasionalisasi, nah diserahkan ke PTPN tanpa memandang ada perkampungan di situ. Tahun 60-an banyak masyarakat diusir dengan menggunakan isu PKI. Sejarah-sejarah inilah yang harus dilihat ulang, bagaimana masyarakat itu di-PKI-kan supaya mereka menyerahkan tanahnya," papar Penrad.
Menurutnya, pengaduan FKTL sudah ia perjuangkan sejak lama bahkan sebelum ia menjabat sebagai anggota DPD RI.
"Saya sudah membawa FKTL ini bertahun-tahun yang lalu jauh sebelum saya duduk menjadi anggota DPD RI," katanya.
Penrad mendesak agar persoalan FKTL segera diselesaikan melalui rekomendasi resmi DPD RI.
Ia menegaskan DPD RI memiliki kewenangan untuk memanggil pihak terkait, termasuk PTPN II.
"Soal FKTL, saya berharap ada rekomendasi kita karena sudah becek sekali di dalam. Semua bermain. Dengan PTPN II, itu khusus dipanggil lagi ke sini," tegasnya.
Penrad menutup pernyataannya dengan penekanan bahwa inti tuntutan rakyat hanya sederhana: agar tidak diusir dari tanah mereka sendiri.
"Rakyat ini cuma mau jangan diusir dari tanahnya. Saya pikir, tidak usah berpanjang-panjang. DPD RI saat ini membuat rekomendasi saja, kita lakukan investigasi dan turun ke lapangan," tutupnya.
(NAI/NAI)