
Analisadaily.com, Medan - Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sumatera Utara kembali membuktikan komitmennya sebagai mitra kritis bangsa melalui penyelenggaraan diskusi publik bertajuk “Pasca Putusan MK 135/PUU-XXI/2024: Menakar Dampak Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal”.
Acara ini menjadi ruang intelektual untuk mendalami implikasi putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan jadwal pelaksanaan pemilu nasional dan lokal, dan disambut hangat oleh berbagai kalangan akademisi, penyelenggara pemilu, dan praktisi politik.
Dalam sambutannya, Rahamat Taufiq Pardede, Ketua Umum DPD IMM Sumut, menekankan bahwa meski putusan berada di ranah pusat, respon dan refleksi kritis dari daerah sangat penting. "Perlu ada narasi-narasi alternatif dari daerah sebagai masukan konstruktif terhadap konsekuensi putusan ini, baik dari segi politik, hukum, maupun sosial," ujarnya.
Sementara itu, Iffah Rosita, Komisioner KPU RI yang hadir sebagai keynote speaker, menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan ikhtiar serius untuk memberi sumbangsih yuridis yang dapat dijadikan rujukan oleh pembuat kebijakan. "Melalui kajian-kajian kritis ini, kita berharap bisa merekomendasikan langkah-langkah terbaik bagi peserta pemilu, pemilih, dan penyelenggara. Ini bentuk nyata kepedulian IMM Sumut terhadap masa depan demokrasi bangsa,” ungkapnya.
Diskusi kian dinamis dengan paparan Dr. Faisal Riza, M.A, Pengamat Politik dari Sumatera Utara. Ia menyoroti bahwa pemisahan pemilu berpotensi meningkatkan kualitas partisipasi politik masyarakat. "Pemisahan ini dapat memberi ruang lebih bagi pemilih untuk memahami konteks nasional dan lokal secara lebih utuh, yang pada akhirnya bisa meningkatkan angka partisipasi," jelas Faisal.
Namun, pandangan berbeda disampaikan Mora Harahap, Bendahara Umum DPW PAN Sumut. Ia menilai bahwa meskipun putusan MK telah menetapkan pemisahan, peningkatan partisipasi tidak bisa dijamin. “Ada banyak faktor lain yang lebih menentukan, seperti fluktuasi siklus politik dan kecenderungan pragmatisme pemilih. Partisipasi politik tidak otomatis tumbuh hanya karena pemilu dipisah,” paparnya.
Dalam sesi berikutnya, Roby Effendy Hutagalung dari KPU Sumut mengupas tentang dimensi kualitas partisipasi. Ia membedakan antara pemilih aktif dan pasif. "Pemilih aktif adalah mereka yang hadir sebagai pengawas dan pemberi ide dalam proses demokrasi. Sebaliknya, pemilih pasif hanya ikut arus, tanpa pemahaman mendalam terhadap proses dan konsekuensinya,” tuturnya.
Diskusi ini ditutup dengan ajakan untuk terus membangun kesadaran publik terhadap pentingnya pemilu sebagai instrumen demokrasi. IMM Sumut berkomitmen menjadikan hasil diskusi ini sebagai policy brief untuk disampaikan ke KPU, DPR, dan pihak-pihak terkait lainnya.
Acara ini menjadi refleksi bahwa kampus dan mahasiswa masih menjadi kekuatan moral, intelektual, dan sosial dalam menjaga integritas demokrasi Indonesia, terutama di tengah dinamika ketatanegaraan yang terus berkembang.
(NAI/NAI)