Oleh : Muniruddin Ritonga, SHI

Menziarahi Indonesia: Refleksi Kader Loyalis PKB untuk 80 Tahun Indonesia Merdeka

Menziarahi Indonesia: Refleksi Kader Loyalis PKB untuk 80 Tahun Indonesia Merdeka
Menziarahi Indonesia: Refleksi Kader Loyalis PKB untuk 80 Tahun Indonesia Merdeka (analisadaily/istimewa)

Dalam denyut sejarah bangsa Indonesia, kita menemukan jejak-jejak perjuangan yang ditinggalkan oleh para ulama, wali, kiai, pahlawan, dan tokoh bangsa. Jejak itu tidak sekadar tertulis dalam buku sejarah atau termaktub dalam arsip negara, melainkan juga hidup dalam makam-makam yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap makam adalah penanda, bukan hanya kematian seseorang, melainkan juga lahirnya nilai-nilai yang diwariskan kepada bangsa ini. Doa, air mata, dan pengorbanan yang mereka titipkan di jalan panjang perjuangan itulah yang hari ini bisa kita nikmati dalam bentuk sebuah republik merdeka.

Bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ziarah ke makam para wali dan tokoh bangsa bukan hanya ritual keagamaan, tetapi jalan kultural untuk menyambung ingatan dan menghidupkan kembali spirit perjuangan itu. Ziarah menjadi medium untuk menghadirkan sejarah ke dalam ruang kesadaran masa kini, sekaligus cara untuk memastikan bahwa arah perjalanan politik tidak terputus dari akar tradisi.
Ziarah dalam Tradisi Nahdliyin
Tradisi ziarah sudah sejak lama menjadi bagian penting dari kultur Nahdlatul Ulama, tempat PKB berakar. Dalam pandangan Nahdliyin, ziarah tidak sekadar kunjungan ke makam untuk menabur bunga atau melafalkan doa, melainkan praktik spiritual untuk tawassul-mendoakan almarhum sekaligus memohon keberkahan dari Allah dengan mengingat jasa mereka. Dari ziarah, umat diajak meneladani perjuangan orang-orang saleh dan meneguhkan kembali ikatan dengan sejarah yang melahirkan kita.
Maka, ketika kader PKB berziarah ke makam para wali, kiai, dan pahlawan bangsa, sesungguhnya mereka sedang menziarahi Indonesia itu sendiri. Mereka tidak hanya mengenang individu, melainkan membaca ulang narasi kebangsaan yang dibangun dengan pengorbanan. Ziarah adalah sebuah pelajaran, bahwa bangsa ini berdiri bukan karena kebetulan, melainkan karena ikhtiar panjang para pendahulu yang bersatu dalam iman, kebijaksanaan, dan keberanian.
Ziarah Sebagai Ruang Konsolidasi
Ziarah dalam tradisi PKB tidak berhenti pada dimensi spiritual, tetapi sekaligus menjadi ruang konsolidasi politik dan kultural. Dalam suasana ziarah, para kader, simpatisan, dan masyarakat berkumpul tanpa sekat, larut dalam doa bersama, lalu menemukan kebersamaan yang melampaui kepentingan politik sesaat. Ziarah menjadi forum kebersamaan yang cair, di mana elit partai, pengurus struktural, dan rakyat biasa duduk bersama di hadapan makam ulama atau tokoh bangsa. Tidak ada jarak hierarkis yang kaku, semua menyatu dalam ikatan batin sebagai sesama pewaris nilai perjuangan.
Kegiatan ziarah yang diorganisir PKB seringkali bertepatan dengan momentum penting, misalnya haul tokoh besar atau peringatan hari-hari kebangsaan. Di sinilah konsolidasi partai berlangsung secara alami. Para kader yang datang dari berbagai daerah saling berjumpa, bertukar cerita, memperkuat solidaritas, dan meneguhkan komitmen kebersamaan. Ziarah menjadi ajang silaturahmi politik yang bernuansa spiritual. PKB memahami betul bahwa konsolidasi yang kokoh tidak cukup dibangun dengan rapat formal, tetapi perlu diikat oleh energi spiritual dan kultural yang mampu menembus ruang batin para pengikutnya.
Lebih dari itu, ziarah menghubungkan generasi muda PKB dengan sejarah perjuangan partai. Anak-anak muda yang hadir dalam ziarah mendapatkan pendidikan politik yang tidak kering, melainkan hidup dan menggetarkan. Mereka melihat bahwa politik bukan sekadar arena kontestasi elektoral, tetapi juga jalan pengabdian yang telah ditempuh para kiai dan ulama. Dengan begitu, regenerasi politik di PKB berlangsung dengan nuansa religius yang kental, tanpa tercerabut dari akar tradisinya.
Menziarahi Spirit Perjuangan
Menziarahi makam para ulama dan tokoh bangsa berarti menziarahi spirit perjuangan yang pernah mereka titipkan. Di setiap pusara tersimpan kisah tentang keteguhan, pengorbanan, dan pengabdian yang melampaui kepentingan pribadi. Dari makam Pangeran Diponegoro kita belajar bahwa perlawanan terhadap penindasan bukan hanya urusan politik, melainkan juga panggilan iman. Dari makam Cut Nyak Dhien kita menyerap semangat keteguhan seorang perempuan yang melawan dengan keberanian luar biasa. Dari makam Bung Karno, proklamator kita, terpancar api nasionalisme yang membakar semangat seluruh rakyat Indonesia untuk merdeka.
Di dalam tradisi PKB, menziarahi spirit perjuangan ini bukan sekadar mengenang, tetapi juga menginternalisasi nilai. Setiap doa yang dipanjatkan di depan makam adalah pengingat agar perjuangan tidak berhenti di masa lalu. Para tokoh yang diziarahi seolah berbisik kepada generasi hari ini: "Lanjutkan perjuangan kami, jangan biarkan Indonesia kehilangan arah." Dengan demikian, ziarah berfungsi sebagai refleksi kolektif: bahwa politik tanpa nilai perjuangan hanyalah kulit kosong.
Makam Gus Dur menjadi salah satu contoh nyata spirit perjuangan yang terus hidup melalui ziarah. Ribuan orang datang setiap hari, tidak hanya dari kalangan Nahdliyin, tetapi juga dari kelompok lintas agama, etnis, dan latar sosial. Mereka semua merasakan energi moral dari Gus Dur, yang dalam hidupnya memperjuangkan pluralisme, demokrasi, dan kemanusiaan. Ziarah ke makam Gus Dur mengajarkan bahwa perjuangan politik sejati adalah keberanian untuk membela yang lemah, melawan diskriminasi, dan merawat kebangsaan dengan penuh kasih sayang.
Politik Jalan Tengah
PKB dikenal sebagai partai yang menempuh jalan tengah, yakni politik yang berpijak pada nilai spiritual sekaligus terbuka pada kebangsaan. Ziarah menjadi simbol konkret dari politik jalan tengah ini. Di satu sisi, ia berakar pada tradisi Islam Nusantara yang sarat dengan praktik spiritual seperti tawassul dan doa bersama. Di sisi lain, ia juga menjadi jembatan yang menghubungkan partai dengan spirit kebangsaan, karena tokoh-tokoh yang diziarahi bukan hanya ulama, tetapi juga pahlawan nasional dan pejuang kemerdekaan.
Dengan menziarahi para wali, ulama, dan tokoh bangsa, PKB menegaskan bahwa politik tidak boleh tercerabut dari akarnya. Kekuasaan hanyalah sarana, sedangkan tujuan sejatinya adalah menghadirkan keadilan sosial dan kemaslahatan. Jalan tengah ini membuat PKB mampu berdiri tegak di antara tarik-menarik kepentingan politik praktis.
Ia tidak larut dalam pragmatisme murni, tetapi juga tidak mengunci diri dalam idealisme kaku. Ziarah meneguhkan kesadaran bahwa politik yang sehat adalah politik yang menjaga keseimbangan: antara agama dan negara, antara spiritualitas dan rasionalitas, antara tradisi dan modernitas.
Politik jalan tengah inilah yang membuat PKB relatif lentur menghadapi dinamika politik nasional. Ia tidak cepat terombang-ambing oleh gelombang perubahan, karena selalu punya jangkar spiritual dan kultural. Dengan menziarahi makam para tokoh, kader PKB diingatkan bahwa perjalanan politik harus mengutamakan kemaslahatan umat, bukan sekadar kepentingan sesaat. Inilah yang membuat ziarah tidak pernah kehilangan relevansinya sebagai fondasi moral dalam kehidupan politik PKB.
Ziarah Sebagai Diplomasi Kultural
Lebih jauh, ziarah juga berfungsi sebagai diplomasi kultural. Tradisi ziarah yang dijalankan PKB tidak hanya terbatas pada makam para tokoh di Indonesia, tetapi juga menyentuh dimensi global. Kunjungan ke tanah suci Makkah dan Madinah, misalnya, selalu diiringi dengan ziarah ke makam Rasulullah SAW, para sahabat, dan ulama besar.
Ini bukan sekadar perjalanan spiritual, tetapi juga simbol keterhubungan dengan peradaban Islam global. PKB ingin menegaskan bahwa dirinya bukan partai yang terkurung dalam lokalitas, melainkan bagian dari jejaring besar umat Islam di dunia.
Ziarah sebagai diplomasi kultural juga tampak ketika PKB menghidupkan tradisi Wali Songo. Dengan berziarah ke makam para wali, PKB menegaskan identitasnya sebagai partai yang mengakar pada Islam Nusantara-Islam yang damai, ramah, dan bersahabat dengan budaya lokal. Tradisi ini menjadi pesan politik sekaligus pesan kultural kepada dunia: bahwa Islam Indonesia bukan Islam yang kaku atau eksklusif, melainkan Islam yang inklusif, terbuka, dan mampu hidup berdampingan dengan keberagaman.
Melalui ziarah, PKB membangun citra sebagai partai yang bukan hanya memperjuangkan kepentingan politik sempit, tetapi juga membawa misi kultural yang lebih luas. Ia menunjukkan kepada bangsa-bangsa lain bahwa politik Islam di Indonesia bisa berjalan berdampingan dengan demokrasi dan pluralisme. Diplomasi kultural inilah yang membuat PKB mendapat tempat istimewa dalam percaturan politik nasional maupun dalam percakapan global tentang Islam moderat.
Menziarahi Indonesia: Dari Masa Lalu ke Masa Depan
Menziarahi Indonesia berarti membaca ulang pesan-pesan kebangsaan yang tertulis di setiap nisan. Ia bukan nostalgia masa lalu, melainkan energi untuk menata masa depan.
Dari ziarah kita belajar bahwa bangsa ini lahir dari pertemuan nilai-nilai spiritual,
budaya, dan politik. Maka, politik hari ini tidak boleh memutus tali itu. Bagi PKB, ziarah adalah cermin kesetiaan pada akar tradisi, sekaligus komitmen pada masa depan bangsa. Dengan menziarahi Indonesia, PKB ingin memastikan bahwa perjalanan bangsa ini tidak kehilangan arah. Politik tidak boleh tercerabut dari spiritualitas, tetapi juga tidak boleh melupakan misi kebangsaan.
Maka, setiap langkah kader PKB menuju makam para wali, ulama, dan tokoh bangsa adalah langkah menziarahi Indonesia. Dari sana, politik menemukan kembali makna sejatinya: bukan perebutan kursi, melainkan ikhtiar kolektif untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan-membangun masyarakat adil, makmur, dan berdaulat, di bawah ridha Allah SWT.

Berita kiriman dari: Anggota Fraksi PKB DPRD Sumut

Baca Juga

Rekomendasi