Wujudkan Generasi Emas, Perlu Ada Perda Soal Kebijakan Kesehatan Mental di Medan (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - USU Centre for Health Politic and Management (UCHPOLM) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka "Strategi Penyusunan Kebijakan Kesehatan Mental yang Responsif dalam Meningkatkan Kesejahteraan Psikososial Masyarakat di Medan, Selasa (19/8/2025).
Salah satunya menghasilkan rekomendasi perlunya ada Peraturan Daerah menyangkut kebijakan kesehatan mental di tengah masyarakat Sumatera Utara khususnya Kota Medan.
Pada FGD Strategi Penyusunan Kebijakan Kesehatan Mental yang Responsif dalam Meningkatkan Kesejahteraan Psikososial Masyarakat yang digelar di Hotel Ibis, Jalan Pattimura Medan itu, semua peserta dari berbagai unsur mengakui terjadi dan adanya ancaman besar pada kesehatan mental di tengah masyarakat dewasa ini.
Para peserta FGD yang terdiri dari pihak rumah sakit swasta, pemerintah, Pemkot Medan, lembaga penelitian, lembaga peneliti dan media itu, menilai perlunya segera ada kebijakan yang kuat dari pemerintah untuk mengatasi gangguan kesehatan masyarakat yang disebabkan banyak faktor.
Mulai akibat tekanan ekonomi, tekanan sistem pendidikan yang berubah-ubah, tekanan sistem politik hingga dampak negatif media sosial.
"Dukungan semua pemangku kepentingan untuk menghindari, mengatasi dan penanganan serius pada gangguan kesehatan mental masyarakat dinilai sangat perlu untuk kepentingan bersama termasuk mendukung Generasi Emas Indonesia Pada tahun 2045," kata Dr. Drs. Zulfendri M.Kes, Selasa (19/8/2025).
Dr Zulfendri menjadi Ketua Penelitian Strategi Penyusunan Kebijakan Kesehatan Mental yang Responsif dalam Meningkatkan Kesejahteraan Psikososial Masyarakat tersebut dengan anggota Dr. dr. Vita Camellia, K. Ked, Sp. K. J dan Warjio MA, Ph. D.
Dr Zulfendri menegaskan, tahun 2045, dimana Indonesia genap berusia satu abad atau 100 tahun sejak kemerdekaan, Indonesia menargetkan sudah menjadi negara maju, modern, dan mampu sejajar dengan negara-negara maju di dunia.
"Bagaimana mencapai itu kalau gangguan kesehatan mental di tengah masyarakat semakin meluas tanpa penanganan serius," katanya.
Dalam FGD yang dipandu Warjio MA, Ph.D itu dibahas soal Pemahaman dan Persepsi Kebijakan Kesehatan Mental, Implementasi Layanan dan Aksesibilitas, Tantangan Sosial-Budaya dan Stigma.
Kemudian Kolaborasi Lintas Sektor dan Partisipasi Masyarakat serta Rekomendasi dan Prioritas Kebijakan.
Direktur Utama RSUD dr Pirngadi Medan, dr. Suhartono, Sp.PD, Subsp.HOM(K) mengungkapkan, gangguan kesehatan mental akan menimbulkan penyakit lainnya termasuk gangguan di tengah masyarakat.
Kesehatan mental dan kesehatan fisik, ujar dia, saling berkaitan erat. Ironisnya, kata dia, kesadaran untuk memahami faktor gangguan kesehatan mental dan penangan dini di tengah masyarakat masih sangat minim.
Bahkan lebih ironisnya lagi, keluarga tidak memberi dukungan kuat pada pasien saat kembali ke rumah pascaperawatan di rumah sakit dengan berbagai alasan seperti hanya jadi beban atau malu.
"Akibatnya yang awalnya gangguan kesehatan mental hanya sedikit dan bahkan pulih akhirnya menjadi parah," katanya.
Sementara keterbatasan ruangan inap untuk pasien dengan gangguan kesehatan mental di rumah sakit Kota Medan terbatas.
Mewakili RS Jiwa Prof. Ildrem Provinsi Sumut, Dr. Silvy Hasibuan, Sp. Kj., M.K.M mengakui, banyak keluarga pasien memaksa agar keluarga yang mengalami ganguan kesehatan mental tetap dirawat di rumah sakit walau secara medis dinyatakan sudah pulih dengan berbagai alasan.
"Itu salah satu dilemma yang membuat penanganan ganguan kesehatan mental lamban dan bahkan bertambah parah," katanya.
Saruhum Rambe dari Pusat Studi Etnografi dan Penguatan Komunitas Universitas Sumatera Utara (USU) menyebutkan, stigma budaya menghambat penanganan gangguan kesehatan mental.
Untuk itu, katanya, masalah gangguan kesehatan mental harus ditangani secara bersama-sama dengan pemerintah yang berada di depan.
Urgensi Penelitian
Dr Zulfendri menyebutkan, penelitian itu penting antara lain karena prevalensi gangguan mental meningkat pada kelompok usia produktif .dan termasuk penderita penyakit kronis seperti TBC.
Ketimpangan akses layanan dan rendahnya literasi masyarakat, ujar dia, memperburuk kondisi. Kebijakan adaptif untuk kelompok rentan juga masih belum tersedia.
"Oleh karena itu penelitian penting untuk merumuskan strategi kebijakan yang inklusif, holistik dan responsif dalam penanganan gangguan kesehatan mental yang sudah masuk dalam katagori mencemaskan," ujar Zulfendri.
(REL/RZD)