Kejagung Periksa Citraland, Sultan Serdang ke-9: Ungkap Kebenaran dan Kembalikan Hak Rakyat Serta Adat

Kejagung Periksa Citraland, Sultan Serdang ke-9: Ungkap Kebenaran dan Kembalikan Hak Rakyat Serta Adat
Sultan Serdang ke-9, Tuanku Achmad Thalaa Syariful Alamsyah (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Deliserdang - Sultan Serdang ke-9, Tuanku Achmad Thalaa Syariful Alamsyah, menegaskan sikapnya terkait langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia (RI) yang telah memulai pemeriksaan terhadap pihak-pihak terkait proyek Citraland. Karenanya diharapkan Kejagung dapat mengungkap kebenaran dan mengembalikan hak rakyat serta hak adat.

"Pemeriksaan ini bukan sekadar perkara hukum biasa, melainkan menyangkut nasib tanah adat, tanah rakyat, dan warisan sejarah Kesultanan Serdang," kata Tuanku Achmad Thalaa Syariful Alamsyah yang akrab disapa Tengku Ameck pada siaran pers yang diterima wartawan, Kamis (21/8).

Pemeriksaan yang dilakukan Kejagung salah satu lokasi yang menjadi proyek Kota Deli Megapolitan (KDM) di Kecamatan Tanjung Morawa. Lokasi itu Kesultanan Serdang juga mengajukan gugatan diantaranya terhadap Perumahan Citraland City Tanjungmorawa, serta menyurati Meneg ATR/BPN Nusron Wahid, meminta pengembalian tanah Konsesi Ex PTPN II Seluas 23.000 Hektar.

Tengku Ameck juga mengharapkan, Kejagung mengungkapkan, bagaimana tanah yang berasal dari Konsesi Sultan Serdang yang kemudian diambil alih oleh Perusahaan Negara melalui UU No. 86 Tahun 1958, padahal obyek tanah itu berasal dari milik Kesultanan Serdang dan Kaula Masyarakat Adatnya.

Bahkan sebagian tanah yang dialihkan yang menjadi Hak Guna Usaha PT. Perkebunan Nusantara II (Persero) tersebut adalah obyek tanah yang sudah berakhir konsesinya jauh sebelum Undang-undang Nasionalisasi tahun 1958.

"Artinya obyek tanah itu sudah kembali menjadi milik Sultan Serdang sebelum dinasionalisasi," ujarnya.

Dijelaskannya, bahwa tanah-tanah eks konsesi yang dahulu adalah milik Kesultanan Serdang, kemudian beralih menjadi HGU Perusahaan Negara Perkebunan, dan berturut-turut berubah menjadi PT Perkebunan Negara IX, berubah lagi menjadi PT Perkebunan Nusantara II (Persero) terakhir menjadi PT Pekebunan Nusantara I, Regional 1 dan Hak Guna Usaha disulap sedemikian rupa menjadi Hak Guna Bangunan di bawah anak perusahaan negara itu.

"Pengalihan hak yang diperoleh oleh perusahaan negara itu bukanlah pengalihan yang sah sekalipun berdasarkan UU Nasionalisasi No.86 Tahun 1958. Sebab selain obyek tanah itu bukan aset perusahaan Belanda (yang teken obyek nasionalisasi), lebih dari itu dari itu obyek tanah itu sebagian ada yang sudah berakhir konsesinya. Oleh karena itu, perusahaan negara itu tidak menerima pengalihan dari pihak yang berhap, yang menurut Pasal 584 KUH Perdata operolehan hak itu cacat hukum," ungkapnya.

Dikatakan Tengku Ameck, perusahaan negara ini memperoleh hak dari Subyek Hukum yang tidak memiliki kewenangan (onbevoegheid) atas obyek hak tersebut (bukan subyek pemilik hak) pada waktu itu.

"Oleh karena itu perbuatan ini dapat diklasifikasikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Keterlibatan Kantor Pertananan/Kementerian Tata Ruang yang menerbitkan sertifikat hak atas obyek tanah itu patut diusut oleh Kejaksaan Agung," sebutnya.

Selain itu, lanjutnya, dugaan keterlibatan pejabat yang mengubah alih fungsi lahan dari areal perkebunan menjadi kawasan pemukiman.

“Saya menduga ini adalah kejahatan yang terstruktur dan sistematis untuk memiskinkan Kesultanan Serdang dan Kaula Masyarakat Adatnya. Kami sudah memilih diam selama-lama bertahun-tahun karena kami anggap perusahaan negeri ini akan memberi kontribusi positif bagi pertumnbuhan eknomi masyarakat sekitar. Nyatanya lahan-lahan ini sekarang menjadi obyek perdagangan, syarat dengan kepentingan bisnis yang dikelola dengan sistem kapitalis," ujarnya.

Tengku Ameck menyebut, pihaknya melihat ada dugaan praktik penyalahgunaan wewenang yang tidak saja merugikan Kesultanan Serdang tapi juga merugikan negara dan rakyat.

"Bayangkan tanah yang dikeluarkan dari HGU PT Perkebunan Nusantara, 23 tahun yang lalu tidak satupun diusahakan oleh rakyat. Rakyat selalu dijadikan tameng untuk mendapatkan hak, setelah itu tanah beralih kepada para pengembang. Oleh karena itu Kesultanan Serdang mendukung penuh langkah Kejaksaan Agung untuk menegakkan hukum secara adil dan transparan," terangnya.

Lebih lanjut Tengku Ameck menegaskan, Kesultanan memiliki legal standing dalam memperjuangkan hak-hak tanah adat tersebut.

"Kesultanan Serdang bukan hanya simbol sejarah, tetapi juga subjek hukum yang memiliki hak atas tanah eks konsesi yang telah habis masa hak guna usahanya. Kami akan terus memperjuangkan hak-hak tersebut demi kepentingan rakyat dan kelestarian warisan adat," tegasnya.

Sementara itu sebagaimana diketahui, Sejak 24 Juli 2025, sejumlah saksi dari PTPN II dan Citraland telah diperiksa. Pemeriksaan dilanjutkan pada 30 Juli 2025 terhadap pejabat Pemkab Deli Serdang, pihak PTPN, PT Nusa Dua Propertindo, dan PT Ciputra berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor PRIN-9/fd.1/06/2025.

Kejagung memeriksa soal dugaan tindak pidana korupsi pada penjualan Aset I, Regional 1 oleh PT Nusa Dua Propindo melalui Kerjasama Operasional (KSO) dengan PT Ciputra.

Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) mengungkap temuan signifikan pengelolaan proyek Kota Deli Megapolitan (KDM) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Nomor: 26/LHP/XX/8/2024 tertanggal 30 Agustus 2024.

LHP tersebut mengaudit kepatuhan pengelolaan pendapatan, beban, dan kegiatan investasi PTPN II di Sumatera Utara periode 2021 hingga semester I 2023. Fokus pemeriksaan menyoroti kerjasama PTPN II dengan PT Ciputra KPSN (CKPSN) dalam pembangunan KDM di lahan Hak Guna Usaha (HGU).

Menurut LHP BPK-RI, salah satu temuan utama adalah ketidakadaan Rencana Kinerja Tahunan (RKT) untuk proyek KDM. Padahal, Master Cooperation Agreement (MCA) antara PTPN II dan PT CKPSN mewajibkan penyusunan RKT yang disepakati melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

RKT seharusnya memuat rincian perkiraan belanja modal, pendapatan dan pengeluaran, luas lokasi, harga minimum, dan ketentuan lainnya.

BPK telah meminta dokumen RKT, namun hingga pemeriksaan lapangan berakhir pada 29 Desember 2023, dokumen tersebut tidak diserahkan oleh PTPN II maupun PT CKPSN.

(KAH/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi