
Analisadaily.com, Medan - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, Amalia Adininggar Widyasanti, mengatakan saat ini pola belanja masyarakat mengalami pergeseran. Masyarakat lebih memilih belanja produk secara daring, sedangkan di pusat perbelanjaan lebih banyak dikunjungi untuk experience.
Hal itu dikatakan Amalia Adininggar Widyasanti, saat memberikan kuliah umum bertema "Pertumbuhan Ekonomi Indonesia : Beyond Data" disela-sela pelantikan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Medan Koordinator Sumatera Utara Periode 2025-2028, di Aula Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU), Kamis (21/8).
"BPS mencatat pergeseran pola belanja masyarakat. Saat ini, pusat perbelanjaan lebih banyak dikunjungi untuk experience seperti makan di restoran dan menonton bioskop, sementara belanja produk beralih ke platform daring. Data perdagangan elektronik yang dihimpun BPS mengonfirmasi peningkatan transaksi online, terutama di kalangan generasi milenial dan Gen Z," kata Amalia.
Ia menegaskan BPS tidak membuat proyeksi, melainkan melakukan penghitungan berdasarkan data yang dikumpulkan di daerah. Penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menjadi tanggung jawab BPS provinsi dan kabupaten/kota. Angka PDRB kabupaten/kota dijadwalkan dirilis pada September, sementara yang sudah dipublikasikan adalah pertumbuhan ekonomi nasional dan provinsi.
"Perhitungan PDB maupun PDRB membutuhkan waktu sekitar 35 hari lebih cepat dibanding banyak negara lain yang bisa mencapai 40 hari hingga 2 bulan. Data yang dihitung mencakup lebih dari 1.000 variabel, diperoleh dari survei BPS, sensus, data kementerian/lembaga, pemerintah daerah, hingga big data," sebutnya.
BPS juga memanfaatkan data nonkonvensional, seperti mobile positioning data dari sinyal telepon seluler, untuk melengkapi survei. Data ini digunakan, misalnya, untuk memantau pergerakan wisatawan nusantara, dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas pribadi.
"Di sisi investasi, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh 6,19%, terutama didorong belanja mesin dan peralatan pemerintah yang naik lebih dari 30%. Sementara itu, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada triwulan II 2025 tercatat tumbuh 11,5%," ujarnya.
Ekspor juga menunjukkan kinerja positif, naik 8,08% secara tahunan. Pertumbuhan signifikan terlihat pada ekspor produk hilir, seperti turunan sawit dan nikel, seiring kebijakan hilirisasi. Contohnya, ekspor olahan bauksit meningkat pesat dari hanya USD 50 juta pada 2021 menjadi sekitar USD 650 juta.
Khusus Sumatera Utara, PDRB per kapita pada 2024 mencapai USD 4.637, lebih tinggi dari Filipina dan Mesir, meski masih di bawah rata-rata nasional USD 4.960. Pertumbuhan ekonomi Sumut semester I 2025 tercatat 4,8%, dengan sektor pertanian sebagai penyumbang terbesar (25,88%), diikuti perdagangan dan industri pengolahan.
"Untuk mendorong pertumbuhan lebih cepat, Sumatera Utara perlu mengoptimalkan industrialisasi berbasis sumber daya alam, seperti pengolahan sawit, padi, dan sektor pertambangan, agar memberi nilai tambah lebih besar," ungkapnya.
Terkait kemiskinan, BPS mengingatkan agar masyarakat bijak memahami data. Perbedaan metodologi Bank Dunia dan BPS perlu dicermati, karena standar hidup setiap negara berbeda. Garis kemiskinan nasional disusun sesuai konteks domestik, dan pengukuran kemiskinan dilakukan pada level rumah tangga, bukan individu.
"Oleh karena itu, interpretasi angka kemiskinan harus dilihat dalam konteks yang benar," sebut Amalia yang juga merupakan Ketua Bidang II Pengurus Pusat ISEI.
Dalam acara itu, turut hadir Sekretaris ISEI Pusat Firman Sihol Parningotan, Kepala BPS Sumut, Asim Saputra, Wakil Rektor III USU Poppy Anjelisa Zaitun Hasibuan, perwakilan OJK Sumut, LPS I, Kadin Sumut, dosen dan mahasiswa dari sejumlah universitas di Medan.
(WITA)