Oleh : Destanul Aulia, SKM, MBA, MEc, Ph.D

Narkoba sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat: Mendesak Perlunya Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan Kolaborasi di Sumut

Narkoba sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat:  Mendesak Perlunya Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan Kolaborasi di Sumut
Narkoba sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat: Mendesak Perlunya Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan Kolaborasi di Sumut (Analisadaily/istimewa)

Narkoba bukan lagi sekadar persoalan kriminal di Sumatera Utara. Ia telah menjelma menjadi ancaman besar yang merusak kesehatan, menghancurkan keluarga, merobek tatanan sosial, dan melumpuhkan produktivitas ekonomi. Dalam perspektif kesehatan masyarakat, situasi ini dapat disebut sebagai darurat kesehatan masyarakat.

Ketika sebuah provinsi dengan populasi lebih dari 15 juta jiwa mencatat prevalensi penyalahgunaan narkoba tertinggi di Indonesia, maka jelas bahwa yang kita hadapi bukan sekadar perilaku individu menyimpang, melainkan sebuah epidemi sosial yang kompleks.
Data terbaru dari BNN menunjukkan prevalensi penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara mencapai 10,49 persen. Jika angka ini diterjemahkan ke dalam jumlah absolut, maka sekitar 1,5 juta orang di Sumut saat ini terjerat penyalahgunaan narkoba. Ini bukan sekadar angka di atas kertas. Di baliksetiappersenituadaremaja yang kehilangan masa depan, orangtua yang kehilangan anak, dan keluarga yang kehilangan harapan.
Lebih memprihatinkan lagi, sekitar seperempat dari angka tersebut adalah pelajar dan mahasiswa, kelompok usia produktif yang justru menjadi lokomotif pembangunan. Dampak narkoba bukan hanya pada individu, tetapi juga menghantam keluarga. Seorang ibu di Medan pernah bercerita bagaimana anaknya yang masih 19 tahun ditemukan meninggal karena overdosis. Ia menggambarkan rumahtangga yang sebelumnya harmonis berubah menjadi penuh tangis dan penyesalan.
Di Tanjung Balai, seorang ayah harus berulang kali menutup utang anaknya yang menjual barang-barang rumah untuk membeli sabu. Di Tebing Tinggi, seorang guru mengaku putus asa ketika beberapa siswanya berhenti sekolah karena terjerat jaringan pengedar kecil. Mereka yang tadinya berprestasi, kini lebih sering terlihat di pinggir jalan dengan tatapan kosong.
Kisah-kisah seperti ini bukan lagi kasus langka. Hampir setiap daerah di Sumut punya cerita yang sama. Narkoba merusak fungsi keluarga sebagai unit sosial terkecil. Orang tua kehilangan wibawa, anak kehilangan arah, dan saudara kandung ikut terkena dampak stigma. Dalam jangka panjang, hancurnya keluarga berarti hancurnya jaringan sosial yang menopang kehidupan masyarakat.
Mengapa ini bukan sekadar kriminalitas
Sampai saat ini, pendekatan utama dalam penanganan narkoba masih berbasis pada represi hukum. Pecandu ditangkap, dipenjara, lalu dilepas. Namun kenyataannya, model ini tidak efektif memutus siklus. Angka residivis atau relapse pada pecandu narkoba yang hanya ditangani dengan hukum sangat tinggi. Mereka keluar dari penjara tanpa rehabilitasi, kembali kelingkungan lama, dan akhirnya kembali menggunakan narkoba.
Jika kita terus memandang narkoba semata sebagai kriminalitas, maka kita hanya mengobati gejala, bukan akar masalah. Lebih jauh lagi, kita justru menambah beban sosial dan ekonomi: penjara penuh, aparat sibuk menangkap pengguna kecil, sementara jaringan besar pengedar tetap berjalan. Dalam perspektif kesehatan masyarakat, pecandu harus dipandang sebagai pasien. Sama seperti penderita TB, HIV, atau kusta, mereka memerlukan intervensi medis dan sosial, bukan hanya hukuman. Pecandu membutuhkan detoksifikasi, terapi medis, konseling, hingga reintegrasi sosial. Tanpa itu, mereka akan terus terjebak dalam siklus yang sama.
Dilihat sebagai masalah kesehatan masyarakat
Karena dampaknya tidak berhenti pada individu pengguna. Ia merembes jauh ke dalam kehidupan keluarga, komunitas, bahkan menimbulkan beban besar bagi negara. Kesehatan masyarakat tidak hanya bicara soal penyakit fisik, tetapi juga menyangkut kesejahteraan mental, sosial, dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
Dari sisi kesehatan, penyalahgunaan narkoba terbukti meningkatkan risiko infeksi menular seperti HIV/AIDS dan hepatitis, terutama akibat penggunaan jarum suntik secara bergantian. Tidak berhenti di situ, narkoba juga memicu gangguan mental serius, depresi, kecemasan, psikosis yang membuat pecandu kehilangan kendali atas hidupnya. Pada banyak kasus, penggunaan jangka panjang berujung pada overdosis, yang tak jarang berakhirdengan kematian. Dampak ini menambah beban sistem kesehatan, dari layanan darurat hingga rawat inap jangka panjang.
Dari sisi sosial, narkoba merusak kohesi dalam masyarakat. Pecandu sering terpinggirkan, distigmatisasi, dan dianggap aib keluarga. Akibatnya, keluarga pecandu keraphidup dalam tekanan psikologis yang berat. Tidak sedikit yang mengalami konflik, kekerasan dalam rumahtangga, bahkan perpecahan. Komunitas yang banyak dihuni pengguna narkoba juga biasanya kehilangan rasa aman. Hubungan sosial yang retak membuat masyarakat sulit tumbuh sehat dan produktif.
Dari sisi ekonomi, narkoba adalah lubang besar yang menguras potensi daerah. Pecandu kehilangan produktivitas kerja, sering absen, bahkan kehilangan pekerjaan. Keluarga mereka dipaksa mengeluarkan biaya besar untuk pengobatan, rehabilitasi, atau melunasi utang akibat perilaku kompulsif membeli narkoba. Pada level makro, negara harus menanggung anggaran besar untuk layanan kesehatan, rehabilitasi, serta penegakan hukum. Semua ini menurunkan daya saing ekonomi daerah dan memiskinkan banyak keluarga.
Semua dampak ini menegaskan satu hal: narkoba adalah ranah kesehatan masyarakat. Karena kesehatan masyarakat tidak hanya mengurusi penyakit fisik yang terlihat di ruang rawat, melainkan juga menyentuh aspek mental, sosial, dan ekonomi yang menentukan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Selama kita masih memandang narkoba sekadar urusan kriminal, kita hanya akan mengobati gejala di permukaan. Tetapi jika kita menempatkannya sebagai masalah kesehatan masyarakat, barulah kita bisa membangun strategi komprehensif dari hulu ke hilir: pencegahan, deteksi dini, pengobatan, rehabilitasi, hingga reintegrasi sosial.
Tak bisa ditunda
Dengan prevalensi 10,49 persen dan jumlah pengguna mencapai 1,5 juta jiwa, Sumut berada di titik kritis. Jika tidak ada intervensi serius, angka ini bisa meningkat lebih tinggi. Jika seperempat dari pengguna adalah generasi muda, maka Sumut berpotensi kehilangan bonus demografi yang seharusnya menjadi kekuatan pembangunan. Karenanya, masalah narkoba harus diposisikan sebagai darurat kesehatan masyarakat. Tidak cukup dengan razia dan penjara.
Kita perlu transformasi besar: memandang pecandu sebagai pasien, membangun rumah sakit khusus ketergantungan obat, memperkuat layanan konseling di puskesmas dan sekolah, melibatkan keluarga dan tokoh agama, serta membangun kolaborasi lintas sektor. Narkoba bukan hanya urusan polisi atau hakim. Narkoba adalah persoalan bersama: tenagak esehatan, pendidik, pemuka agama, pemerintah, akademisi, LSM, dan masyarakat sipil. Dan Sumatera Utara hanya bisa keluar dari darurat ini jika berani mengubah paradigma: dari kriminalitas kekesehatan masyarakat, dari menghukum kememulihkan, dari stigma keempati, dari fragmentasi ke kolaborasi.
Hulu ke hilir
Kesehatan masyarakat mengajarkan kita bahwa masalah harus ditangani dari hulu ke hilir. Pada titik hulu, pencegahan menjadi kunci: keluarga, sekolah, kampus, dan komunitas harus menjadi benteng utama. Di sinilahpentingnyaliterasikesehatan, kampanyepublik, sertapenciptaanruang-ruang aman bagi anak muda untuk berkreasi. Di aliran tengah, diperlukan deteksi dini dan intervensi cepat. Puskesmas harus punya kapasitas konselinga diksi, sekolah dan kampus harus punya unit bimbingan yang kuat, dan masyarakat harus memiliki jalur rujukan yang jelas. Seseorang yang baru mencoba narkoba harus bisa segera dibimbing, bukan dibiarkan hingga menjadi pecandu berat.
Di hilir, barulah rumah sakit ketergantunga nobat (RSKO) mengambil peran vital. RSKO adalah tempat untuk detoksifikasi, terapimedis, konseling keluarga, hingga rehabilitasi sosial. Namun pekerjaan hilir tidak berhenti di bangsal. Pasien harus diikuti dengan program aftercare dan reintegrasi sosial agar benar-benar pulih. Dengan kerangka ini, jelaslah bahwa Sumut membutuhkan RSKO bukan hanya sebagai bangunan, tetapi sebagai simpul yang menyatukan seluruh alur hulu-hilir ini.
Harapan baru dari Lau Simomo
Di tengah darurat narkoba yang kian menjerat Sumatera Utara, sebuah langkah berani telah diambil. Gubernur Sumut mengeluarkan SK untuk mengubah RSU Kusta Lau Simomo menjadi Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO). Langkah ini bukan hanya keputusan administratif, tetapi juga simbol perubahan paradigma: dari memandang pecandu sebagai kriminal, menjadi melihat mereka sebagai pasien yang harus ditolong. Lau Simomo memiliki modal besar untuk mengemban peran ini. Dengan luas lahan mencapai 100 hektare, kawasan ini bukan sekadar rumah sakit biasa, melainkan bisa dirancang sebagai kawasan strategis kesehatan masyarakat terpadu. Artinya, bukan hanya ada bangunan untuk rehabilitasi narkoba, tetapi juga pusat layanan kesehatan publik yang lengkap, modern, dan berwawasan masa depan.
Bayangkan jika zonasi kawasan itu diwujudkan. Zona pertama adalah RSKO, jantung dari seluruh ekosistem Lau Simomo. Di sinilah pecandu mendapatkan detoksifikasi, rehabilitasi medis dan psikososial, serta program pascarehabilitasi yang berkesinambungan. Tidak hanya melayani pasien, zona ini juga bisa menjadi pusat riset dan pelatihan bagi tenaga profesional di bidang adiksi mencetak dokter, psikolog, perawat, dan konselor yang terlatih khusus menangani ketergantungan narkoba.
Zona kedua mempertahankan warisan Lau Simomo sebagai rumah sakit kusta. Namun fungsinya bisa diperluas menjadi pusat penyakit tropis menular seperti tuberkulosis dan HIV/AIDS-penyakit yang justru sering berkaitan erat dengan penyalahgunaan narkoba. Dengan begitu, kawasan ini bukan hanya menyembuhkan pecandu, tetapi juga menjadi garda depan melawan penyakit menular yang masih menjadi beban kesehatan masyarakat di Sumut.
Zona ketiga menghadirkan layanan kesehatan jiwa dan rehabilitasi sosial. Banyak pecandu mengalami dual diagnosis: adiksi sekaligus gangguan jiwa. Kehadiran klinik psikiatri dan pusat rehabilitasi sosial di Lau Simomo akan memberikan layanan komprehensif, menjawab kebutuhan pasien yang kompleks. Tak hanya pasien, keluarga mereka juga bisa mendapat konseling dan pendampingan agar proses pemulihan lebih efektif.
Zona keempat dirancang sebagai pusat pendidikan dan training center. Lahan yang luas memungkinkan dibangunnya fasilitas pelatihan, kelas, hingga laboratorium lapangan. Mahasiswa kedokteran, keperawatan, dan kesehatan masyarakat bisa menjadikan Lau Simomo sebagai tempat belajar praktik nyata. Lebih jauh lagi, kawasan ini bisa membuka pintu kerja sama dengan universitas nasionalmaupuninternasionalsebagaipusatpenelitiantentangadiksi dan kesehatan masyarakat.
Zona kelima adalah green health area, sebuah area hijau yang berfungsi ganda: terapi dan pemberdayaan. Dengan konsep hutan kota, healing garden, dan agroforestry, pasien bisa merasakan terapi berbasis alam yang menenangkan jiwa. Di sisi lain, keluarga pasien maupun masyarakat sekitar bisa diberdayakan melalui program pertanian organik, kerajinan, atau usaha kecil yang berbasis pada pengelolaankawasanhijau. Artinya, Lau Simomo bukan hanya tempat penyembuhan, tetapi juga pusat pemberdayaan ekonomi dan sosial.
Jika konsep ini terwujud, wajah Lau Simomo akan berubah drastis. Dari rumah sakit yang dulu identik dengan stigma kusta sering dianggap sebagai tempat "pinggiran" ia akan berevolusi menjadi kawasan kesehatan modern yang terpadu. Dari simbol eksklusi, Lau Simomo bisa menjelma menjadi ikon kebanggaan Sumatera Utara. Sebuah contoh nyata bahwa lahan luas yang dimiliki bisa dimanfaatkan bukan hanya untuk satu fungsi, melainkan untuk menjawab berbagai tantangan kesehatan masyarakat dari hulu hingga hilir.
Modal sosial yang sudah bergerak
Sumatera Utara sebenarnya tidak memulai dari nol dalam perjuangan melawan narkoba. Modal sosial yang dimiliki daerah ini cukup besar, tinggal bagaimana dikelola agar lebih terarah dan terintegrasi. Pemerintah provinsi, misalnya, telah meluncurkan program Satu Juta Satgas Anti-Narkoba. Gerakan ini melibatkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari pelajar, mahasiswa, ASN, hingga komunitas sipil. Satgas ini tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga menegaskan bahwa perang melawan narkoba membutuhkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat.
Di sisi lain, BNN dan aparat hukum terus mengembangkan program Desa Bersinar (Desa Bersih Narkoba) dan kampung bebas narkoba. Program ini mencoba memberdayakan masyarakat desa agar tidak sekadar menjadi objek penindakan, tetapi juga subjek dalam menciptakan lingkungan yang bersih dari narkoba.
Keberadaan kampung bebas narkoba memberikan harapan baru bahwa perubahan bisa dimulai dari tingkat paling bawah, dari desa dan kelurahan.Di ranah pendidikan, universitas dan mahasiswa juga tidak tinggal diam. Banyak kampus di Sumut sudah aktif dalam program kampus bersih narkoba, menggelar seminar, diskusi, hingga kegiatan kreatif yang bertujuan menjauhkan mahasiswa dari jerat narkoba. Gerakan ini sangat penting, mengingat seperempat dari pengguna narkoba di Sumut adalah pelajar dan mahasiswa. Kampus harus menjadi benteng, bukan ladang subur bagi penyalahgunaan narkoba.
Peran tokoh agama juga tidak bisa diabaikan. Dari mimbar-mimbar masjid, gereja, hingga rumah ibadah lainnya, pesantentangbahayanarkobaterusdisuarakan. Pendekatan spiritual terbukti mampu menyentuh hati masyarakat, memberikan harapan bagi mereka yang tengah berjuang melepaskan diri dari jeratan narkoba, dan memperkuat komitmen keluarga untuk melindungi anak-anaknya. Selain itu, ada pula LSM dan komunitas rehabilitasi yang bekerja di akar rumput. Mereka memberikan pendampingan berbasis masyarakat, sering kali menjangkau mereka yang enggan atau malu datang ke fasilitas resmi. Peran komunitasini sangat penting sebagai jembatan antara individu yang terdampak narkoba dengan sistem kesehatan formal.
Namun, meski sudah ada banyak upaya, semuanya masih terfragmentasi. Satgas berjalan sendiri, desa bersinar berdiri terpisah, kampus bergerak dalam lingkup terbatas, tokoh agama berdakwah di komunitas masing-masing, dan LSM bekerja di wilayah yang sempit. Energi besar ini sayangnya belum terhubung dalam satu sistem yang saling menguatkan.
Disinilah RS Lau Simomo dengan konsep RS Ketergantungan Obat (RSKO) bisa memainkan peran strategis. Ia dapat menjadi simpul integrasi, menghubungkan satgas, desa, kampus, tokoh agama, dan komunitas rehabilitasi dalam sebuah ekosistem terpadu. Dengan koordinasi yang kuat, setiap aktor dapat memainkan perannya secara sinergis, saling mendukung alih-alih berjalan sendiri-sendiri.
Kolaborasi untuk Sumut Berkah
Kata kunci dari semua upaya ini adalah kolaborasi. Narkoba tidak mungkin ditangani oleh satu sektor saja. Polisi dan BNN tidak bisa bekerja sendiri. Rumah sakit dan puskesmas tidak cukup tanpa dukungan keluarga dan komunitas. Akademisi tidak berarti jika tidak terhubung dengan praktik di lapangan. Begitu pula tokoh agama dan masyarakat sipil, mereka membutuhkan jejaring yang lebih luas untuk memperkuat dampaknya.
Konsep Sumut Berkah Sumatera Utara yang tertib, aman, dan Sejahtera, hanya bisa diwujudkan bila semua elemen bersatu. RSKO Lau Simomo dapat berfungsi sebagai pusat koordinasi, bukan hanya melayani rehabilitasi, tetapi juga menjadi motor kolaborasi linta ssektor. Dari sanalah lahir jejaring: satgas anti-narkoba di sekolah terhubung dengan konselor di puskesmas, pasien pascarehab didampingi oleh komunitas dan tokoh agama, desa bersinar mendapatkan dukungan riset dari universitas, dan LSM memperoleh ruang kerja sama formal dengan pemerintah. Dengan kolaborasi seperti itu, darurat narkoba yang selama ini terasa begitu berat bisa dihadapi bersama-sama. Bukan lagi sekadar beban pemerintah atau aparat hukum, melainkan gerakan kolektif masyarakat Sumut. Inilah jalan yang akan membawa daerah ini keluar dari krisis narkoba dan benar-benar mewujudkan Sumut Berkah yang dicita-citakan. Insya Allah.

Berita kiriman dari: Dosen FKM USU, Pemerhati Kesehatan masyarakat

Baca Juga

Rekomendasi