
Oleh: Jepri Sipayung
Analisadaily.com, Medan - Makin tekun makin tidak karuan. Pernahkah Anda mendengar kata-kata candaan yang menjadi akronim matematika itu? Pelesetan kata matematika itu menjadi salah satu gambaran bahwa matematika menjadi pelajaran menakutkan. Matematika dianggap rumit, sehingga membuat malas belajar, dan pada akhirnya prestasi di bidang numerasi itu benar-benar jadi tak karuan.
Tak heran, survei Program for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan, hanya sekitar 18% siswa Indonesia yang mencapai level kemahiran minimum matematika. Angka itu jauh di bawah rata-rata kemampuan anak di negara-negara lain yang juga di survei atau negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yang mencapai 69%.
Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan cermin dari fondasi pendidikan yang rapuh dan berpotensi menghambat daya saing bangsa di masa depan. Padahal, banyak dari kita tentu membayangkan anak-anak kita tidak lagi takut, bahkan menyukai matematika.
Mereka bahkan melihat matematika sebagai alat ajaib yang memecahkan masalah sehari-hari, bahkan menguak rahasia alam semesta.
Mimpi ini bukan utopia dan sesungguhnya tak mustahil diwujudkan. Memulainya pun mudah, murah, sederhana, dan tidak perlu jauh-jauh. Bukan dengan menambah jam pelajaran di sekolah atau memberi tumpukan pekerjaan rumah (PR).
Upaya mencintai matematika sesungguhnya dapat bermula dari rumah, ruang keluarga, atau di mana saja saat kita ngobrol, bercengkerama, dan tertawa bersama anak-anak.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah telah meluncurkan Gerakan Numerasi Nasional untuk merespons rendahnya capaian numerasi. Gerakan ini menekankan kolaborasi lintas sektor sebagai bagian dari ekosistem pendidikan.
Langkah ini sudah tepat, mengingat tantangan numerasi di Indonesia begitu besar. Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan sekolah dan pemerintah.
Keluarga harus menjadi garda depan dalam mendongkrak kecakapan matematika anak. Dengan demikian, rumah pun menjadi pusat intervensi gerakan ini mengingat strategi ini berbiaya rendah tetapi berdampak tinggi.
Indonesia sesungguhnya punya modal sosial yang besar dalam pelibatan keluarga. Data PISA 2022 menunjukkan tren keterlibatan orang tua di Indonesia dalam partisipasi pembelajaran cenderung stabil bahkan membaik.
Riset Universitas South Wales Australia dan Universitas St. Francis Xavier, Kanada, menguatkan temuan bahwa keluarga dengan metode pembelajaran yang tepat menjadi sumber utama dalam meningkatkan capaian pembelajaran anak.
Dari temuan para peneliti, pemberian PR matematika justru membuat anak dan orang tua frustrasi. Seperti dikutip dari Science Alert, April 2024, riset tersebut mewawancara secara mendalam delapan keluarga yang memiliki anak kelas 3 SD, kelas di mana tes dan tugas matematika standar diberikan pertama kali.
Meski lingkup survei kecil, hasilnya sesuai dengan pandangan umum. Bahwa, pelajaran matematika tidak disukai dan pemberian PR menyulitkan orang tua dan anak. Mereka pun melewatkan waktu bersama sebagai keluarga.
Penelitian itu menunjukkan keterlibatan yang berdampak kuat terhadap prestasi akademik, khususnya dalam matematika, bukanlah pemberian PR dan bantuan untuk mengerjakannya. Boleh dikata, PR yang baik bukan lagi “pekerjaan rumah”, melainkan perbincangan ringan.
PR: Perbincangan Ringan, Bukan Pekerjaan Rumah
Hasil penelitian Tanoto Foundation bersama J-PAL South East Asia menunjukkan diskusi kecil atau interaksi sederhana di ruang-ruang keluarga terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan akademik. Orang tua dapat bertanya tentang pelajaran hari ini, meninjau kembali konsep-konsep yang sulit, atau sekadar memantik obrolan yang melibatkan angka di sekitar anak.
Pendekatan ini menjadikan pembelajaran sebagai bagian alami dari percakapan sehari-hari. “Bincang numerasi” pun mengikat angka pada realitas, mulai soal uang saku, jarak rumah ke sekolah, dan berbagai contoh lain dari aktivitas harian. Matematika tak lagi mengacu pada lembar-lembar soal yang kering dan sumbernya antah berantah.
Namun, sesuai temuan Tanoto Foundation pula, untuk memulai asyiknya “perbincangan numerik” itu, orang tua kerap menghadapi kendala. Mereka kesulitan menemukan materi untuk membuka diskusi dan mendampingi anak serta kurang percaya diri.
Guna mengatasi masalah ini, intervensi sederhana dapat dilakukan untuk memantik ide orang tua dalam menciptakan percakapan numerik dalam kehidupan sehari-hari.
Misal, pesan singkat dari gawai yang dikirim tiap pekan untuk memandu orang tua membuat percakapan mengenai mengukur kadar bahan-bahan masakan di dapur atau menghitung porsi makan yang dibutuhkan untuk keluarga.
Atau ide untuk belajar di pasar dengan membandingkan harga, menaksir kembalian, atau menghitung diskon.
Atau juga pesan yang disampaikan saat keluarga berwisata, dengan belajar memperkirakan jarak tempuh atau durasi perjalanan atau permainan menjumlahkan nomor plat kendaraan.
Hal ini yang dilakukan Tanoto Foundation dalam membantu orang tua membuat“perbincangan numerik” sederhana tadi. Pesan singkat dirancang dan dikirim untuk membantu menciptakan perbincangan yang mudah dipratikkan, berlangsung singkat kurang dari 30 menit, dan relevan dengan rutinitas keluarga.
Kunci keberhasilan aktivitas ini adalah selarasnya percakapan dengan materi pembelajaran di sekolah. Orang tua tidak perlu mengajarkan teknik baru dan menjadi guru pengganti di rumah. Mereka cukup menguatkan pemahaman tentang pembelajaran dan membantu anak lebih percaya diri mengerjakan soal matematika.
Pendekatan ini berdampak nyata dan menunjukkan hasil menggembirakan di berbagai negara. Di Indonesia, program ini layak diterapkan dan diharapkan mampu mengubah cara pandang kita dan para siswa dalam melihat matematika. Matematika bukan lagi beban atau momok, tapi menjadi bagian keseharian, bahkan dicintai.
Dengan menjadikan percakapan ringan sebagai jantung dari gerakan numerasi, kita tak hanya memperbaiki skor PISA, tetapi juga meningkatkan prestasi dan membangun generasi yang lebih baik. Alhasil, makin tekun anak-anak kita belajar matematika, makin percaya diri mereka dalam menghadapi tantangan masa depan.
* Penulis meruopakan Field Technical Unit Coordinator Tanoto Foundation
(DEL)