Dari Uang Receh ke QRIS: Kisah Fadlan, Pedagang Pasar yang Kini Melek Digital

Dari Uang Receh ke QRIS: Kisah Fadlan, Pedagang Pasar yang Kini Melek Digital
Foto ilustrasi kecerdasan buatan (AI) di pasar (Analisa/istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Pagi baru saja beranjak naik, matahari juga semakin menunjukkan terik, jam di ponsel tepat menunjukkan pukul 08.00 WIB, namun lorong-lorong pasar di Pasar Sei Kambing Medan masih saja sesak oleh aktivitas pedagang dan calon pembeli. Suara teriakan pedagang yang menawarkan dagangan, bercampur dengan suara tebasan pisau besar beradu dengan telenan kayu memotong ikan kerapu ukuran sedang.

"Cetasshh, srek,,,cetash,,,,sreekkk," begitu suara pisau membelah perut kerapu segar dan mengeluarkan isi kotoran.

Seketika, aroma ikan segar yang baru diturunkan dari mobil pikap, raungan suara mesin parut kelapa, hingga bau ayam yang baru dipotong, berpadu menjadi simfoni khas pasar tradisional. Tentu hal ini tidak akan didapatkan jika kita berbelanja di pasar modern.

Di antara hiruk pikuk itu, ada satu nama yang kerap disapa Fadlan, lelaki asal Aceh itu telah delapan tahun menetap di Medan, menjadikan pasar sebagai panggung perjuangannya. Dari lapak ikan basah hingga ayam potong, Fadlan meniti hidup dengan tekun dan konsisten.

Tangannya lincah menimbang ikan kerapu yang baru saja ia potong dan bersihkan sisiknya, sementara mulutnya tak berhenti menyapa pelanggan.

"Ayo ikan segar nya kak, buk. Murah aja baru turun dari mobil ini, ayam juga ada," ucap Fadlan dengan logat ala Acehnya yang masih terasa kental.

Senyumnya ramah, meski peluh mulai menetes di antara dahinya. Di sekelilingnya, ada empat karyawan bekerja saling bantu. Ada yang membersihkan ayam, ada yang menyusun udang di atas bongkahan es, ada pula yang sibuk mengangkat keranjang penuh hasil laut.

"Bang, aku bayarnya kayak biasa ya, pake QRIS, lagi tidak bawa cash (uang tunai), " ucap Melly, salah satu pembeli setia di kios Fadlan.

"Aman, beres kak, yang penting kakak tunjukkan bukti pembayaran sukses ya," sahut Fadlan.

Melly merupakan ibu millenial yang kini memiliki tiga anak. Namun kebiasaan Gen Z yang tidak pernah memiliki uang tunai, dan kerap memakai kemudahan QRIS telah menjadi kebiasaan pada dirinya sejak setahun terakhir ini. Kebiasaan Melly, dan sebagian pembeli lainnya ini ditanggapi positif pula oleh Fadlan. Lapak dirinya berjualan sudah enam bulan terkahir ini juga dilengkapi dengan fasilitas QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard)

"Sebenarnya udah kebiasaan sih gak megang uang cash, apalagi kalau beli ikan basah begini kan juga pakai uang kembalian, kadang uang nya lecek, basah. Kalau di QRIS kan kan lebih praktis. Tidak perlu pakai uang kembalian," kata Melly.

Lidya, pembeli lainnya di tempat Fadlan juga demikian, setelah lebih dari 10 menit memilih sendiri ukuran ikan "dencis pulpen". Tak lama, ikan sortiran nya diserahkan ke Fadlan untuk dibersihkan insang dan isi perut nya.

"Dencis kayak biasa kan bang?, Rp20 ribu. Nanti dari total belanjaanku, ku QRIS lebih kan Rp50 ribu ya, biar Rp30 ribunya abang kasi cash, mau beli sayur dan bumbu di warung sebelah," kata Lidya.

"Kami yang generasi Z yang baru menikah dan punya satu anak ini, terkadang mau praktis, malas ke ambil duit ke ATM, kalo belanja ya pindai QRIS aja, biar praktis, kadang pun awak ambil duit cash disini sama Bang Fadlan," ucap Lidya sambil tersenyum.

Sementara itu. Merchant Relation Officer EDC Bank CIMB Niaga Fifi mengatakan jumlah pengguna QRIS di lingkup pedagang asongan, UMKM, termasuk pedagang pasar tradisional di Kota Medan kini menunjukkan tren yang baik dibanding tahun lalu.

"Angka pengguna dan pemohon QRIS naik signifikan, termasuk juga penggunaan QRIS-tap, kalau data nasional pada kuartal II tahun 2025 ini, jumlah transaksi QRIS CIMB Niaga meningkat 85 persen, ditambah lagi kita juga sudah meluncurkan aplikasi OCTO Merchant, yang dirancang untuk memudahkan transaksi digital bagi UMKM melalui fitur-fitur seperti pembuatan QRIS instan dan pelaporan transaksi real-time," katanya.

Delapan tahun lalu, Fadlan datang ke Medan dengan modal keberanian. Ia merantau dari tanah kelahirannya di Aceh, membawa tekad sederhana “Asal bisa hidup layak, sudah sukur"

Namun jalan tak selalu mulus. Persaingan keras, modal tipis, dan tuntutan hidup sempat membuatnya ragu. Ia pernah merasakan rugi, pernah bangun dini hari tanpa kepastian dagangan laku. Tapi di situlah ia belajar, bahwa kejujuran dan ketekunan adalah modal terbesar seorang pedagang.

Kini, jerih payah itu terbayar. Omzet usahanya kini bisa menembus Rp10 juta per hari. Rp3 juta di antaranya masuk otomatis ke rekeningnya, karena fitur QRIS.

Namun Fadlan enggan berpuas diri. Baginya, angka hanyalah hasil dari sebuah proses panjang yang penuh doa dan keringat. “Uang bisa dicari, tapi kepercayaan orang itu jauh lebih mahal,” katanya singkat.

Fadlan bukan sekadar pedagang dan pekerja keras. Ia adalah wajah dari banyak perantau yang menjadikan Kota Medan ini ladang rezeki. Ia juga menjadi bukti nyata bahwa pemuda dari perkampungan di Aceh, kini juga mampu melek digital perbankan.

(NS/BR)

Baca Juga

Rekomendasi