
Analisadaily.com, Batu Bara - Pendidikan berbasis Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) semakin dianggap penting untuk menyiapkan generasi masa depan yang kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah. Namun, penerapannya di sekolah-sekolah dasar hingga menengah pertama masih menghadapi beragam tantangan, mulai dari keterbatasan sarana prasarana hingga pemahaman guru tentang pendekatan ini.
Salah satu guru SD Negeri 29 Sukaraja Kecamatan Air Putih Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, juga aktif menjadi Fasilitator Daerah Tanoto Foundation, Siti Najaliyah berbagi praktek baik, hingga mendapatkan penghargaan dari pemerintah daerah untuk menjadi utusan kab. batu bara mengikuti program kementrian pendidikan dengan belajar STEM di Universitas NUS Singapura.
Kepada Analisadaily, Siti menceritakan pengalamannya setelah mengikuti pelatihan STEM di Singapura. Menurutnya, pelatihan itu membuka wawasan bahwa praktik STEM sebenarnya sudah kerap dilakukan di sekolah-sekolah, meski tanpa disadari para guru. “Hal-hal sederhana seperti membuat mobil-mobilan dari botol bekas dan balon, atau membuat alat penjernih air, sebenarnya sudah masuk dalam pendekatan STEM. Bedanya, setelah ikut pelatihan, kami lebih memahami bahwa kegiatan itu bukan sekadar prakarya, tapi melibatkan sains, matematika, seni, dan rekayasa dalam satu rangkaian,” jelas Siti.
Praktik STEM di Kelas
Sepulang dari Singapura, Siti mencoba menerapkan pembelajaran STEM di kelas 1 SD, meski idealnya pendekatan ini diperuntukkan bagi kelas yang lebih tinggi. Ia memanfaatkan bahan-bahan sederhana dan barang bekas, seperti botol plastik, karet, dan balon, untuk mengajarkan konsep transportasi.
“Anak-anak sangat antusias. Mereka belajar bukan hanya dari teori, tapi dengan praktik langsung. Saat membuat mobil-mobilan dari botol, mereka paham bahwa ukuran balon atau bentuk roda bisa memengaruhi kecepatan. Itu proses berpikir kritis yang lahir secara alami,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mengajarkan penjernihan air sederhana bersama murid-muridnya. Meski tidak sampai pada tahap mengukur pH seperti di tingkat SMP atau SMA, siswa sudah bisa melihat perubahan air keruh menjadi lebih jernih.
“STEM itu kan berangkat dari masalah nyata di sekitar kita. Dari sana anak-anak diajak mencari solusi dengan berpikir ilmiah dan kreatif. Jadi bukan sekadar teori di buku, tapi nyata di kehidupan mereka,” tambahnya.
Meski begitu, penerapan STEM di sekolah dasar di Batu Bara masih menghadapi kendala. Minimnya sarana dan prasarana, seperti laboratorium lengkap atau perangkat digital, membuat praktik STEM tidak bisa maksimal.
“Kalau mengikuti teori idealnya memang harus ada alat ukur, mikroskop, dan perangkat lain. Tapi di SD, kami terbatas, jadi pakai cara sederhana saja. Itu pun sudah membuat anak-anak lebih kritis dan kreatif,” ungkap Siti.
Selain itu, banyak guru belum familiar dengan istilah STEM. Padahal, tanpa disadari, mereka sudah sering mengintegrasikan pendekatan serupa dalam pembelajaran.
Inisiatif
Tidak berhenti di ruang kelas, Siti dan beberapa rekannya yang pernah ikut pelatihan ke Singapura berinisiatif untuk menularkan pengetahuan mereka kepada guru-guru lain di Batu Bara. “Kami merasa ilmu ini tidak boleh berhenti di kami. Jadi kami adakan pelatihan gratis bagi guru-guru. Waktu itu ada 14 sekolah yang ikut, pelatihannya berlangsung selama tiga hari di salah satu sekolah di Kecamatan Sei Suka,” tutur Siti.
Pelatihan ini dilakukan tanpa dukungan dana dari pemerintah daerah, murni dari inisiatif kelompok guru yang menamakan diri Guru Bisa. Mereka menggunakan media sosial untuk membuka pendaftaran dan memastikan semua peserta bisa mengikuti tanpa biaya.
“Semua guru harus punya kesempatan memahami STEM. Kami ingin mereka tahu bahwa STEM bukan sesuatu yang rumit, tapi pendekatan praktis yang bisa dimulai dari masalah sehari-hari di sekitar siswa,” tegasnya.
Bagi Siti, harapan terbesar dari praktik STEM bukan hanya menghasilkan anak-anak cerdas secara akademik, melainkan generasi yang mampu memecahkan masalah nyata.
“Kalau anak-anak terbiasa sejak dini, mereka akan tumbuh jadi generasi penemu, yang tidak hanya bisa menjawab soal ujian, tapi juga menjawab tantangan di lingkungannya,” katanya.
Dengan adanya pelatihan gratis untuk guru, ia berharap semakin banyak pendidik di Batu Bara yang percaya diri mengintegrasikan STEM ke dalam pembelajaran sehari-hari, meski dengan keterbatasan fasilitas.
“Yang penting bukan alat canggihnya, tapi bagaimana anak-anak bisa berpikir kritis, kreatif, dan tidak takut mencoba,” tutup Siti.
(DEL)