Ade Jona Prasetyo (Analisadaily/Istimewa)
Oleh: Ade Jona Prasetyo, S.H., M.H., M.M.
Anggota DPR-RI 2024-2029, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2025.
Pendahuluan
Sektor pertambangan merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia, namun pengelolaannya memicu dilema antara menarik investasi dan menjaga lingkungan. Pada tahun 2020, pemerintah mereformasi regulasi melalui UU No. 3 Tahun 2020 (revisi UU Minerba 2009) dan UU No. 11 Tahun 2020 (Omnibus Law/Cipta Kerja) untuk meningkatkan kepastian hukum dan kemudahan berusaha bagi investor (Gumilang et al. 2022; Firdaus et al. 2022, p. 4). Langkah ini mencakup sentralisasi perizinan tambang ke pemerintah pusat, penyederhanaan birokrasi, serta perpanjangan otomatis izin hingga 20 tahun bagi pemegang kontrak karya yang dikonversi ke IUPK (Raharja & Hanim, 2025). Kebijakan pro-investasi ini diharapkan mendorong masuknya modal asing dengan mengurangi ketidakpastian regulasi.
Reformasi tersebut menuai kritik tajam dari masyarakat sipil dan pakar lingkungan. Kritikan tersebut terkait dengan penilaian terhadap UU Minerba 2020 dan Omnibus Law yang terlalu berpihak pada kepentingan korporasi tambang, sembari mengendurkan standar perlindungan lingkungan dan hak masyarakat lokal (Transparency International, 2025).
Misalnya, Omnibus Law menghapus izin lingkungan sebagai instrumen mandiri (menggabungkannya ke dalam perizinan berusaha) sehingga dikhawatirkan melemahkan proses AMDAL dan pengawasan lingkungan (Febriyanti et al. 2021). Penelitian akademis menunjukkan bahwa meskipun UU Cipta Kerja masih mensyaratkan AMDAL dan RKL-RPL, terdapat konseksi yang menurunkan standar perlindungan sebelumnya yang berpotensi menyebabkan degradasi lingkungan akibat pengawasan yang lemah dan partisipasi publik terbatas (Wildanu et al. 2023). Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan juga tetap marak terjadi dari tambang batubara terbengkalai di Kalimantan yang mencemari sungai (Mongabay, 2021), hingga pelanggaran lingkungan oleh perusahaan besar seperti PT Freeport Indonesia di Papua (Astuti, 2018).
Kontradiksi antara dorongan investasi dan konservasi lingkungan ini mencerminkan dilema hukum pertambangan nasional. Para pengkritik khawatir bahwa deregulasi demi investasi justru menggerus payung perlindungan lingkungan dan melemahkan posisi komunitas lokal (Firdaus et al. 2022). Di sisi lain, pemerintah berargumen kemudahan usaha diperlukan untuk meningkatkan daya saing Indonesia secara global. Tugas beratnya adalah mencapai keseimbangan, sebagaimana prinsip “pertambangan berkelanjutan” yang diamanatkan undang-undang: memastikan kepastian usaha sekaligus menjamin kelestarian lingkungan dan keadilan sosial. Pasca-Omnibus Law, pertanyaan kunci yang muncul: dapatkah Indonesia menjamin kepastian hukum bagi investor tanpa mengorbankan lingkungan?
Standar ESG dan Tekanan Internasional terhadap Industri Tambang
Globalisasi membawa standar internasional yang semakin menekan praktik usaha pertambangan di Indonesia. Di tingkat global, muncul arus kuat tuntutan ESG (Environmental, Social, Governance) yang mengharuskan bisnis tambang mengintegrasikan aspek lingkungan dan sosial dalam operasinya (Shea, 2024). Organisasi multilateral dan asosiasi industri telah menciptakan berbagai framework untuk “responsible mining”. OECD, menerbitkan Guidelines for Multinational Enterprises dan Due Diligence Guidance for Responsible Business Conduct yang meminta perusahaan tambang mengidentifikasi serta memitigasi dampak sosial-lingkungan dari kegiatannya[18][19]. Bahkan pada 2019 OECD merilis Handbook on Environmental Due Diligence in Mineral Supply Chains sebagai panduan bagi korporasi dan investor dalam menilai risiko lingkungan sepanjang rantai pasok mineral (OECD, 2023).
Dorongan ESG juga datang dari investor global dan konsumen. Lebih dari 80% perusahaan tambang besar kini melaporkan kinerja ESG mereka secara terbuka (Shea, 2024). Standar pelaporan seperti Global Reporting Initiative (GRI), sertifikasi Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA), hingga program Towards Sustainable Mining (TSM) dari Kanada, semakin diterapkan sebagai tolok ukur industri (Shea, 2024). Bahkan asosiasi pertambangan di 13 negara telah mengadopsi TSM yang mewajibkan verifikasi independen atas isu seperti keterlibatan masyarakat adat dan pengelolaan tailing (Shea, 2024). Demikian pula, International Council on Mining and Metals (ICMM) menetapkan 10 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan bagi anggotanya, mencakup etika bisnis, HAM, keselamatan kerja, kinerja lingkungan, hingga tanggung jawab sosial (ICMM-ASI, 2020). Prinsip-prinsip ini diperbarui tahun 2020 menjadi patokan internasional bagi praktik tambang yang baik, meski belum semua korporasi tambang di Indonesia berpartisipasi dalam skema ini (ICMM-ASI, 2020).
Bagi Indonesia, tekanan standar global ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, adopsi ESG dan norma internasional dapat menjadi nilai tambah: perusahaan yang menerapkan praktik keberlanjutan akan lebih mudah menarik pendanaan dan tidak dicap sebagai penghasil komoditas “kotor” yang merusak lingkungan. Produk mineral Indonesia perlu memenuhi ekspektasi pasar dunia yang makin sensitif terhadap isu lingkungan; jika tidak, ekspor bisa terancam hambatan atau boikot pasar. Contohnya, permintaan nikel untuk baterai kendaraan listrik dunia disertai syarat bahwa nikel tersebut ditambang secara lestari. Perusahaan raksasa tambang di Indonesia pun mulai bergerak: laporan keberlanjutan (sustainability report) dengan standar GRI dan ESG kini rutin diterbitkan oleh PT Vale Indonesia, PT Freeport Indonesia, hingga BUMN tambang seperti MIND ID, sebagai bukti keseriusan menuju sustainable mining. Integrasi ESG dipandang menguntungkan semua pihak untuk melestarikan lingkungan dan komunitas sekaligus mengurangi risiko jangka panjang bagi investor.
Di sisi lain, penyesuaian terhadap standar global tentu membebani pelaku usaha yang abai. Perusahaan tambang yang selama ini lolos dari kewajiban reklamasi atau abai pada emisi karbon kini mendapat sorotan tajam. Jika regulasi domestik tertinggal dari standar ESG, perusahaan bisa menghadapi tekanan langsung dari pasar internasional. Benchmark ICMM menunjukkan bahwa apabila hukum nasional Indonesia diselaraskan dengan prinsip global, misalnya, perusahaan akan diwajibkan mengelola limbah tailing dan mengurangi jejak ekologis secara lebih ketat terhadap area yang selama ini lemah penegakannya (ICMM, 2025). Tantangan bagi pemerintah adalah mengintegrasikan best practices internasional ini ke dalam kerangka hukum nasional tanpa kehilangan konteks lokal. Artinya, standar global perlu diakomodasi dengan tetap mempertimbangkan kondisi Indonesia, agar tujuan keberlanjutan tercapai tanpa mengorbankan kedaulatan pengaturan nasional.
Menariknya, kalangan legislatif pun menyadari urgensi tren global ini. Sugeng Suparwoto, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, menegaskan bahwa Indonesia “harus menerapkan prinsip pertambangan berkelanjutan sesuai ESG guna menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan” (Antara, 2025). Ia mengingatkan bahwa tambang yang tidak dikelola dengan prinsip ESG justru akan menghancurkan peradaban karena sifatnya yang tidak terbarukan (Antara, 2025). Pernyataan ini menunjukkan bahwa tekanan ESG bukan sekadar tuntutan asing, melainkan telah diinternalisasi dalam wacana kebijakan nasional. Kunci ke depan adalah sinergi: regulasi domestik pasca-Omnibus perlu diperkuat lagi aspek lingkungan dan sosialnya, sejalan dengan standar global, sehingga investasi yang masuk merupakan investasi bertanggung jawab. Globalisasi standar pertambangan jangan dilihat sebagai ancaman semata, tapi sebagai peluang meningkatkan daya saing jangka panjang industri ekstraktif Indonesia.
ISDS dan Perjanjian Investasi: Ujian bagi Kedaulatan Hukum
Tekanan global lainnya datang melalui mekanisme sengketa investor atau Investor-State Dispute Settlement (ISDS) dalam perjanjian investasi internasional. Ketika Indonesia mengubah kebijakan tambang demi kepentingan nasional, investor asing dapat menggugat melalui arbitrase internasional berdasarkan perjanjian bilateral/multilateral. Ini menimbulkan friksi antara kedaulatan regulasi negara dan kewajiban internasional. Salah satu contoh nyata adalah sengketa Newmont: pada Juli 2014, PT Newmont Nusa Tenggara – pengelola tambang tembaga-emas di Sumbawa – mengajukan gugatan arbitrase ICSID terhadap pemerintah Indonesia (Zaki et al. 2022, p. 48). Gugatan itu dipicu oleh kebijakan pemerintah melarang ekspor konsentrat mineral dan memberlakukan bea keluar tinggi, sesuai UU Minerba yang mewajibkan pengolahan mineral di dalam negeri. Newmont beralasan kebijakan tersebut melanggar hak mereka dalam Kontrak Karya dan Bilateral Investment Treaty (BIT) Indonesia-Belanda (p. 48-9). Meskipun akhirnya gugatan Newmont dicabut setelah negosiasi (perusahaan memilih menyelesaikan secara damai) (p. 49), kasus ini menjadi preseden bahwa upaya Indonesia mendorong hilirisasi tambang bisa tersandung klaim hukum investor asing.
Tak hanya itu, Indonesia juga menghadapi gugatan melalui forum WTO. Uni Eropa pada 2021 menggugat Indonesia atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah (Zaki et al. 2022). Kebijakan larangan ekspor ini diterapkan pemerintah sejak 2020 untuk menjaga cadangan nikel nasional dan memaksa pembangunan smelter dalam negeri. Bagi Indonesia, ini soal kedaulatan pengelolaan SDA strategis; namun bagi UE, kebijakan tersebut dianggap bentuk proteksionisme yang merugikan industri mereka. UE mendalilkan larangan ekspor itu melanggar aturan perjanjian perdagangan internasional karena memberikan keuntungan sepihak bagi industri logam domestik Indonesia (Zaki et al. 2022, p. 49). Sengketa ini masih bergulir, mencerminkan benturan antara strategi pembangunan nasional vs. komitmen global di bidang perdagangan/investasi.
Pengalaman menghadapi gugatan investor bernilai besar membuat Indonesia lebih waspada terhadap isi perjanjian investasi. Pada 2014, Pemerintah bahkan menyatakan niat untuk mengakhiri atau meninjau ulang 67 perjanjian BIT yang dimiliki Indonesia (Trakman & Sharma, 2014). Nota diplomatik ke Belanda disampaikan untuk tidak memperpanjang BIT Indonesia–Belanda per 2015, sebagian didorong oleh kekhawatiran atas gugatan Churchill Mining Plc yang menuntut Indonesia US$1 miliar terkait pencabutan izin tambang di Kalimantan (Trakman & Sharma, 2014). Langkah ini menandai upaya Indonesia merebut kembali ruang regulasi. Beberapa kalangan bahkan mendesak Indonesia keluar dari ICSID dan berhati-hati terhadap ISDS, dengan alasan pemerintah harus leluasa membuat aturan demi kepentingan umum tanpa dibayangi ancaman klaim investor (Trakman & Sharma, 2014). Pandangan ini menyiratkan bahwa sebagai negara yang ekonominya kian kuat, Indonesia tak perlu lagi “menggadaikan” kedaulatan hukumnya hanya demi menarik modal asing (Trakman & Sharma, 2014).
Meski begitu, Indonesia tidak lantas anti-investasi atau menolak semua perjanjian. Sikap resmi pemerintah adalah menegosiasi ulang BIT agar lebih seimbang, misalnya memasukkan klausul yang mempertegas hak negara mengatur untuk tujuan kesehatan, lingkungan, dan kepentingan publik lainnya (Trakman & Sharma, 2014). Hal ini terlihat dalam perjanjian-perjanjian baru Indonesia, yang cenderung mencantumkan carve-outs untuk kebijakan publik dan memperbaiki definisi investasi serta mekanisme sengketa agar tidak disalahgunakan investor. Di tingkat regional, Indonesia tetap terikat pada ASEAN Comprehensive Investment Agreement dan perjanjian seperti RCEP, yang mengandung perlindungan investor tetapi juga pengecualian regulasi tertentu (Trakman & Sharma, 2014). Dengan kata lain, tantangannya adalah mencapai titik tengah: memberikan kepastian dan perlindungan bagi investor asing yang bonafide, sembari menjaga hak prerogatif negara untuk mengubah aturan demi rakyat dan lingkungan.
Fenomena ISDS ini mencerminkan sisi gelap globalisasi hukum: kebijakan nasional yang demokratis bisa dibatalkan di forum tertutup arbitrase yang diinisiasi investor. Bagi Indonesia, penting untuk memperkuat legal drafting perjanjian investasi agar tidak mengorbankan kedaulatan. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan kekayaan alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Amanat konstitusi ini tidak boleh dikesampingkan oleh tekanan investor global. Pengalaman sengketa tambang mengajarkan bahwa keterlibatan dalam ekonomi global mesti disertai kesiapan hukum domestik yang tangguh. Pemerintah dan DPR perlu lebih cermat mensyaratkan standar ESG compliance bagi investor dan memastikan adanya perlindungan hak negara di setiap perjanjian internasional.
Menyelaraskan Regulasi Tambang Berkelanjutan dan Kedaulatan Nasional
Globalisasi hukum pertambangan menempatkan Indonesia di persimpangan: antara memenuhi ekspektasi dan aturan global, dengan mempertahankan kendali atas nasib sumber dayanya. Kedaulatan regulasi nasional bukan berarti menolak standar internasional, melainkan mengimplementasikannya dengan versi yang sesuai kepentingan nasional. Setelah UU Cipta Kerja dikritik melemahkan perlindungan lingkungan, pemerintah telah berupaya melakukan perbaikan (termasuk melalui peraturan turunan dan revisi pasca putusan MK). Ke depan, regulasi pertambangan perlu lebih progresif mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan yang diakui global, tanpa menunggu tekanan eksternal. Misalnya, memperkuat kewajiban reklamasi, transparansi rantai pasok mineral, dan penegakan hukum lingkungan yang tegas, sehingga standar ESG bukan cuma “tekanan global”, tetapi jiwa dari hukum nasional.
Dari sudut pandang investor yang bertanggung jawab, kepastian hukum jangka panjang justru tercapai jika aturan domestik selaras dengan best practice internasional[32]. Perusahaan tambang multinasional cenderung mengikuti standar tinggi di manapun mereka beroperasi; karenanya, Indonesia tidak perlu ragu menetapkan aturan ketat. Penguatan penegakan hukum (misalnya dengan membentuk Ditjen Penegakan Hukum di Kementerian ESDM (Antara, 2025)) dan peningkatan transparansi perizinan (Antara, 2025) akan menciptakan iklim investasi kondusif sekaligus berkelanjutan. Integrasi norma global seperti ESG ke dalam hukum nasional dapat dilihat sebagai upaya meningkatkan reputasi dan nilai tambah sektor pertambangan Indonesia di mata dunia.
Penutup
Pada akhirnya, ketegangan antara kedaulatan nasional dan tekanan global harus disikapi secara bijak dengan paradigma “smart sovereignty”. Artinya, Indonesia tetap memegang kendali atas kebijakan pertambangannya, namun secara cerdas mengakomodasi aspirasi global demi kebaikan bersama. Hukum dan globalisasi bukanlah zero-sum game: dengan regulasi yang tepat, investasi asing dapat diarahkan mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan Indonesia. Sebagai anggota DPR sekaligus akademisi hukum, penulis berpandangan sinergi ini mutlak: regulatory sovereignty tidak boleh menjadi alasan menolak kemajuan standar global, dan sebaliknya, partisipasi dalam ekonomi global jangan sampai mengebiri kedaulatan hukum Indonesia. Dalam sektor pertambangan, mari wujudkan kedaulatan yang inklusif, berdaulat mengatur sumber daya alam sendiri, namun juga bertanggung jawab sesuai norma-norma global demi masa depan bumi dan bangsa yang lebih baik.
(JW/RZD)