Roni Prima Panggabean, Kuasa Hukum, Tiarma Sitorus usai mendatangi Dit Reskrimum Poldasu. (Analisadaily/istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Sebuah kasus yang sudah dinyatakan berhenti, tiba-tiba dihidupkan kembali tanpa penjelasan gamblang dan bukti baru yang bisa meyakinkan publik. Publik pun geleng-geleng kepala. Untuk apa mengusik perkara Tiarma boru Sitorus yang sudah dingin di liang waktunya?
Apakah ini pertunjukan baru di panggung penegakan hukum, atau sekadar uji kesabaran rakyat terhadap logika keadilan yang makin sulit dicerna?
"Langkah Polda Sumut ini menimbulkan lebih banyak tanya daripada jawaban. Mengapa kasus yang sempat ditutup rapi kini diusik lagi?," tegas Roni Prima, kuasa hukum Tiarma boru Sitorus saat menghadiri undangan penyidik Ditreskrimum Polda Sumut bersama Lisnawati Boru Hutabarat, menantu dari kliennya, Rabu, (5/11/2025).
Karena itu, kata Roni, siapa yang memerintahkan, dan untuk kepentingan siapa? "Hingga kini penjelasan resmi belum juga terdengar gamblang dari pihak Polda," kata Roni.
Menurut Roni, tindakan ini bukan sekadar kejanggalan prosedur, melainkan potret buram dari wajah penegakan hukum di Sumatera Utara. "Publik mulai bertanya-tanya, apakah hukum kini bisa dihidup-matikan sesuka hati, seperti saklar lampu di ruang gelap?" ucap Roni.
Ia menilai, perkara Tiarma bukan sekadar kasus pidana biasa. "Ini adalah cermin kusam sistem hukum kita, di mana keadilan bisa 'dibangkitkan' kapan saja, bahkan setelah lama dikubur tanpa nisan," kata Roni.
Roni mengungkap, dugaan ketidakprofesionalan penyidik Unit IV/Subdit II Harda Bangtah Ditreskrimum Polda Sumut sudah dilaporkan ke Divisi Propam Mabes Polri sejak Mei 2025 dan kini sedang ditindaklanjuti.
"Kalau penyidik memang berniat membangkitkan 'mayat', ya silakan tahan saja klien kami. Biar publik menilai apakah benar mereka menjalankan semangat Presisi yang digaungkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, atau hanya sekadar jargon kosong," tantang Roni.
Tiarma boru Sitorus, yang usianya kini mendekati 80 tahun, sebelumnya kembali dipanggil polisi atas laporan dugaan pemalsuan dokumen.
Ironisnya, kasus ini bukan hal baru. Sebelumnya, Tiarma pernah diperiksa atas laporan Saut Maruli Manurung pada 2024 silam dengan tuduhan pemalsuan dokumen Pasal 263 KUHP. Kasus itu telah dihentikan setelah gelar perkara pada 13 Maret 2025 karena dinilai bukan peristiwa pidana.
Namun, tak lama berselang, muncul laporan baru dari Hiras Sitorus, adik kandung Tiarma sendiri, dengan pasal dan objek perkara yang sama. Polisi kembali membuka penyelidikan. "Betapa ironisnya. Kasus sama, pelapor sama, pasal sama. Tapi entah mengapa, tiba-tiba hidup lagi," kata Roni.
Ia mengingatkan asas hukum nebis in idem, seseorang tidak dapat diadili dua kali untuk perkara yang sama. "Kalau asas ini pun diabaikan, lalu apa yang tersisa dari kepastian hukum?" ujarnya.
Roni menambahkan, perkara yang menyeret nama Tiarma sejatinya sudah lama bergulir di ranah perdata. Pada 2019, Pengadilan Negeri Lubukpakam telah menolak gugatan Saut Maruli Manurung, Mangatur Manurung, dan Hiras Sitorus terhadap Tiarma melalui putusan No. 32/Pdt.G/2019/PN.Lbp. "Gugatan mereka dinyatakan Niet Ontvankelijk Verklaard tidak dapat diterima," jelasnya.
Dengan kata lain, kasus ini telah selesai baik secara perdata maupun pidana. Namun entah dari mana datangnya semangat baru itu, penyidik kembali memanggil Tiarma, seolah-olah hukum bisa dilipat seperti kertas origami, dibentuk, diulang, dan dihidupkan sesuka hati.
Roni menegaskan, pihaknya akan melaporkan kembali penyidik Unit IV/Subdit II Harda Bangtah ke Karowassidik dan Divisi Propam Mabes Polri bila kasus ini tidak segera dihentikan.
"Kita tidak ingin melihat hukum jadi panggung sandiwara. Kalau pun mereka mau memaksakan diri, silakan. Tapi biarlah masyarakat yang menilai siapa sebenarnya yang tidak profesional," ujarnya.
Dalam pernyataan penutupnya, Roni menyindir pedas dengan narasi 'jangan sampai nanti ada cerita opung-opung berusia 80 tahun harus melawan Polda Sumut'. Kasus ini, kata Roni, bukan hanya soal hukum, tapi juga soal akal sehat.
Sebab kalau kasus yang telah dinyatakan selesai bisa dihidupkan kembali tanpa dasar hukum yang jelas, maka barangkali nanti setiap orang pun bisa 'dibangkitkan' dari arsip lama, cukup dengan satu laporan dan sedikit niat.
Berkaca dari kasus ini, publik hanya bisa menggeleng. Kapolri lewat jargon Presisinya mungkin tengah menggantang asap, mencoba menggenggam sesuatu yang tak bisa digenggam.
Sebab keadilan, kalau sudah mati dan dikubur tanpa doa, tak semestinya dipaksa bangkit hanya demi mempertontonkan kuasa.
(YY)