Ketua KPPU M Fanshurullah Asa (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan urgensi perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI pada Kamis (6/11), Ketua KPPU M Fanshurullah Asa menekankan bahwa pembaruan regulasi ini menjadi langkah strategis untuk menjawab tantangan baru di era ekonomi digital, terutama dalam mencegah dan menangani fenomena algorithmic collusion atau kolusi algoritma.
Menurut Ketua KPPU, revisi undang-undang ini sangat penting agar Indonesia memiliki landasan hukum yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan model bisnis modern.
“Bentuk-bentuk dominasi pasar baru, seperti penyalahgunaan data pengguna, diskriminasi algoritmik, dan praktik predatory pricing berbasis kecerdasan buatan (AI), tidak lagi bisa dijangkau dengan instrumen hukum lama,” ujarnya.
Ia menambahkan, kolusi algoritma kini dapat terjadi tanpa kesepakatan eksplisit antar pelaku usaha, ketika sistem harga otomatis saling menyesuaikan melalui pemantauan algoritmik.
“Akibatnya harga pasar bisa seragam tanpa ada pertemuan, dan ini sulit dibuktikan secara hukum,” jelasnya.
KPPU menilai, tanpa reformasi hukum yang adaptif, potensi penyalahgunaan data dan algoritma dapat menimbulkan ketimpangan pasar, menghambat inovasi, dan mengunci konsumen dalam ekosistem digital yang monopolistik.
Karena itu, lembaga ini mengusulkan perluasan definisi “pasar bersangkutan” atau “penyalahgunaan posisi dominan” agar mencakup dominasi berbasis data dan algoritma.
Selain itu, KPPU mendorong penguatan sistem pembuktian dalam perkara persaingan usaha melalui pengakuan terhadap indirect evidence atau bukti tidak langsung berupa data ekonomi dan komunikasi digital. Langkah ini penting untuk menyesuaikan penegakan hukum dengan karakteristik kasus di pasar digital yang sering kali bersifat nonkonvensional.
Isu mendesak lain yang perlu menjadi prioritas adalah pengaturan aspek kesekretariatan, kepegawaian, maupun mekanisme penegakan hukum, agar posisi KPPU sebagai lembaga independen di bawah rumpun eksekutif memiliki struktur birokrasi yang akuntabel dan efektif. Khususnya melalui pemisahan fungsi yang jelas antara organ administratif dan organ fungsional. Serta pentingnya keberadaan kantor perwakilan di tingkat provinsi sebagai bentuk nyata dari desentralisasi dan dekonsentrasi dalam pelayanan publik.
Dengan demikian, penegakan hukum persaingan usaha dapat dilakukan secara lebih merata, responsif, dan sesuai dengan dinamika ekonomi daerah.
Dalam kesempatan yang sama, KPPU menegaskan bahwa amandemen ini tidak hanya soal regulasi, tetapi juga arah besar kebijakan ekonomi nasional.
“Pertumbuhan ekonomi modern tidak bisa lagi hanya mengandalkan akumulasi modal dan tenaga kerja. Daya saing bangsa ditentukan oleh kemampuan berinovasi dalam sistem ekonomi yang kompetitif dan terbuka,” kata Ifan, sapaan Ketua KPPU, mengutip gagasan dari pemenang Nobel Ekonomi 2025, Joel Mokyr, Philippe Aghion, dan Peter Howitt yang menghubungkan antara inovasi, persaingan, dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan reformasi hukum yang tepat, KPPU yakin amandemen ini akan memperkuat keadilan ekonomi, membuka ruang bagi pelaku usaha kecil dan menengah untuk naik kelas, serta menciptakan iklim investasi yang sehat dan berkelanjutan.
“Pembaruan UU ini bukan semata kepentingan kelembagaan, melainkan kebutuhan nasional agar Indonesia siap menghadapi tantangan ekonomi digital global,” tutupnya.
(REL/RZD)