Ribuan Massa Tuntut Gubernur Sumut Tutup TPL, Tuduhan Perampasan Tanah Adat di Danau Toba (Analisadaily/Jafar Wijaya)
Analisadaily.com, Medan - Ribuan massa aksi yang menamakan diri Gerakan Tutup PT TPL (Toba Pulp Lestari) memadati Kantor Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Senin (10/11).
Mereka datang untuk mendesak Gubernur Sumut, Bobby Nasution, agar segera menutup operasional PT TPL yang dituduh telah merampas tanah adat di kawasan Danau Toba dan menindas masyarakat setempat.
Massa aksi merupakan gabungan dari masyarakat adat yang menjadi korban dan mahasiswa dari HKBP Nommensen. Aksi unjuk rasa ini diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama sebagai simbol perjuangan mereka.
Dalam aksinya, massa membentangkan berbagai spanduk yang berisi tuntutan keras, di antaranya: "TPL Harus Angkat Kaki dari Tano Batak", "Tutup TPL", dan "Pemerintah Sumut Takut dengan Pengusaha". Aksi tersebut dijaga ketat oleh puluhan aparat kepolisian.
Koordinator Aksi, Roki Pasaribu, dalam orasinya menegaskan bahwa masyarakat adat sudah bertahun-tahun merasakan penindasan yang dilakukan oleh PT TPL.
"PT TPL merampas tanah masyarakat adat demi keuntungannya. Dan itu sudah diperlihatkan di berbagai daerah, bagaimana pohon-pohon kita ditebang dan diganti dengan eukaliptus," ujar Roki di hadapan ribuan peserta aksi.
Ia juga menyoroti dampak buruk yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut.
"Perlu saya sampaikan sejak PT TPL berdiri di kawasan Danau Toba telah banyak orang yang meninggal karena mempertahankan tanah kita," katanya.
"Mereka sudah banyak mencari keuntungan. Sedangkan kita hanya mencari makan, bukan cari kaya," sambung Roki.
Salah satu tuntutan utama massa adalah bertemu langsung dengan Gubernur Sumut, Bobby Nasution. Namun, hingga berita ini diturunkan, Bobby Nasution tidak kunjung menemui pengunjuk rasa. Hal ini memicu kekecewaan dan orasi yang lebih keras dari massa.
"Kami menuntut Gubernur Sumut Bobby Nasution menemui kami. Kantor Gubernur yang kau duduki bukan dibangun TPL tapi dibangun dari pajak masyarakat," seru Roki Pasaribu.
Menurut Roki, gerakan ini adalah kesadaran kolektif dari para korban. Ia meminta komitmen dan keberpihakan Gubernur Sumut untuk membela hak-hak masyarakat adat yang tertindas.
"Sangat miris melihat etika politik Gubernur Sumut di saat masyarakat adat mengalami kekerasan tindakan semena-mena, justru Gubernur Sumut tak mau menemui kita. Apa komitmen gubernur atas tuntutan kita. Kita ingin menguji keberpihakan gubernur terhadap korban TPL," tegasnya.
Seorang korban PT TPL yang merupakan warga Sihaporas juga turut berorasi, menuntut agar perusahaan tersebut segera ditutup.
"TPL musuh rakyat. Kita harus mengupayakan tutup TPL. Karena jelas TPL itu merusak lingkungan, meracuni air, merampas ruang hidup untuk pertanian, memukuli rakyat, memenjarakan rakyat," ungkapnya.
Ia menyampaikan penderitaan yang dialami masyarakat adat, termasuk diusir dari tanah leluhur mereka.
"Yang paling sadis, kami datang di sini karena kami diusir di tanah sendiri. Kami butuh tanah untuk berladang menghidupi anak cucu kami," tutupnya dengan nada pilu.
Hingga saat ini, aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumut masih berlangsung, dan massa tetap bertahan menuntut audiensi dengan Gubernur Bobby Nasution.
(JW/RZD)